Wednesday, March 9, 2016

THE ANALYSIS OF THE INDONESIAN CAPITAL AND FINANCIAL ACCOUNTS PERFORMANCE DURING THE FINANCIAL CRISIS




Abstrak
Selama kurun waktu 1990-2013 terdapat tiga episode krisis keuangan yang mempengaruhi kinerja transaksi modal dan finansial Indonesia yaitu Krisis Keuangan Asia 1997/1998, Krisis Keuangan Global 2007-2009 serta Krisis Utang Eropa dan pengurangan stimulus moneter AS (tapering off) 2010-2013.  Kajian ini bertujuan untuk menganalisis kinerja transaksi modal dan finansial pada neraca pembayaran Indonesia selama tiga periode krisis tersebut serta faktor-faktor yang terkait krisis keuangan yang mempengaruhi kinerja transaksi modal dan finansial. Metodologi kajian dilakukan dengan analisis deskriptif dengan menggunakan data sekunder. Hasil kajian menunjukkan bahwa krisis keuangan Asia 1997/1998 berdampak negatif yang signifikan terhadap semua komponen transaksi modal dan finansial yaitu investasi langsung, investasi portofolio dan investasi lainnya. Sementara itu, krisis keuangan global, krisis utang Eropa dan tapering off dampak negatifnya lebih terlihat pada komponen investasi portofolio. Faktor lain yang terkait krisis keuangan yang mempengaruhi kinerja transaksi modal dan finansial adalah peringkat utang Indonesia dan stabilitas ekonomi makro. Berdasarkan hasil kajian dapat disimpulkan bahwa setiap krisis keuangan mempunyai dampak yang berbeda-beda terhadap kinerja transaksi modal dan finansial tergantung kedalaman krisis keuangan tersebut.  Rekomendasi utama diantaranya adalah Pemerintah harus memanfaatkan setiap peluang terkait aliran masuk modal asing termasuk mengelola risikonya serta menjadikan stabilitas ekonomi makro sebagai tujuan utamanya.
Kata kunci: neraca pembayaran, transaksi berjalan, transaksi modal dan finansial, sektor eksternal, aliran modal masuk, aliran modal keluar, krisis keuangan, krisis keuangan Asia, krisis keuangan global, krisis utang Eropa, tapering off

Abstract
During the period 1990-2013 there were three episodes of financial crisis affecting the performance of the Indonesia capital and financial account, the Asian Financial Crisis 1997/1998 , the Global Financial Crisis of 2007-2009 and the European Debt Crisis and U.S. monetary stimulus reduction (tapering off) 2010-2013. This study aims to analyze the performance of the capital and financial account of the Indonesian balance of payments during the three periods of crises as well as factors related to the financial crisis affecting the capital and financial account’s performance. The methodology of this study is descriptive analysis using secondary data. The results of the study shows that the Asian financial crisis of 1997/1998 has a significant negative impact on all components of capital and financial account, namely direct investment, portfolio investment and other investment. Meanwhile, the global financial crisis, the European debt crisis and tapering off have more noticeable negative impact on the portfolio investment component. Another factor related to the financial crisis affecting the performance of the capital and financial account is Indonesia's debt rating and macroeconomic stability. Based on the results of the study it can be concluded that every financial crisis has different impact on the capital and financial account’s performance depends on the depth of the financial crisis. The main recommendations are the Government should take advantage of every opportunity in terms of capital inflows, including managing the risks and make the macro-economic stability as the primary objective.
Keywords: balance of payments, current account, capital and financial account, external sector, capital inflows, capital outflows, financial crisis, Asian financial crisis, global financial crisis, European debt crisis, tapering off

JEL Classifications: F21, F32, G01

I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia telah menerapkan rezim devisa bebas sejak 1970 yang membuka secara lebar transaksi modal dan finansial. Keterbukaan ini pada satu sisi berdampak positif bagi Indonesia dalam hal meningkatnya kepercayaan investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Tetapi, pada sisi yang lain, keterbukaan ini akan menyebabkan ekonomi Indonesia lebih rentan terhadap gejolak pasar finansial global.
Selama kurun waktu 1990-2013 terdapat tiga episode krisis keuangan yang mempengaruhi kinerja transaksi modal dan finansial Indonesia yaitu Krisis Keuangan Asia 1997/1998, Krisis Keuangan Global 2007-2009 serta Krisis Utang Eropa dan pengurangan stimulus moneter AS (tapering off) 2010-2013. Krisis keuangan menular ke Indonesia baik melalui transmisi sektor keuangan maupun sektor riil. Pada krisis keuangan Asia 1997/1998 nilai tukar rupiah terdepresiasi cukup dalam sehingga terjadi perubahan rezim nilai tukar dari rezim nilai tukar tetap (fixed rate) menjadi rezim nilai tukar mengambang (floating rate). Depresiasi nilai tukar rupiah ini telah mendorong peningkatan ekspor pada semester kedua 1997 karena produk ekspor Indonesia relatif lebih murah di pasar dunia. Akan tetapi kenaikan ekspor ini tidak berlangsung lama yang kemudian diikuti dengan penurunan ekspor karena kesulitan pada sisi produksi atau sisi penawaran akibat bahan baku dan barang modal yang semakin mahal. Sementara itu, depresiasi nilai tukar rupiah pada krisis keuangan global 2007-2009 tidak mampu mendorong kinerja ekspor karena eskpor justru mengalami penurunan akibat penurunan permintaan dunia.
  Kinerja neraca transaksi modal dan finansial yang dikaitkan dengan posisi surplus atau defisit selalu menjadi perhatian para pengambil kebijakan ekonomi karena jika terjadi tekanan pada neraca transaksi modal dan finansial akan mempengaruhi posisi cadangan devisa yang pada gilirannya bisa mengganggu stabilitas nilai tukar rupiah.
Sehungan dengan hal tersebut di atas, penulis ingin memaparkan bagaimana krisis keuangan mempengaruhi kinerja transaksi modal dan finansial serta faktor-faktor yang mempengaruhinya yang kemudian memberikan kesimpulan dan rekomendasi sebagai bahan masukan bagi perumusan kebijakan di bidang transaksi modal dan finansial.
1.2. Permasalahan
Pokok permasalahan dalam tulisan ini adalah bagaimana krisis keuangan yang terjadi dalam periode 1990-2013 serta faktor-faktor lain yang terkait krisis keuangan mempengaruhi kinerja transaksi modal dan finansial.
1.3.Tujuan
Tulisan ini bertujuan untuk memaparkan dan menerangkan bagaimana krisis keuangan serta faktor-faktor lain yang terkait krisis keuangan mempengaruhi kinerja transaksi modal dan finansial selama kurun waktu 1990-2013.
1.4. Metodologi
Tulisan ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan sumber datanya adalah data sekunder yang diperoleh melalui berbagai sumber informasi seperti Bloomberg, CEIC dan melalui dokumentasi berupa laporan yang diperoleh dari Bank Indonesia, Badan Pusat Statistik, dan Kementerian Keuangan.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Transaksi Modal dan Finansial
Menurut Bank Indonesia (2008) komponen neraca modal dan finansial (capital and financial account) yang terdapat pada neraca pembayaran (balance of payment) meliputi transaksi modal dan transaksi finansial. Transaksi modal meliputi transaksi transfer modal (capital transfer) dan pembelian atau penjualan aset bukan finansial tak terbarukan (acquisition or disposal of non-produced, non-financial assets). Sementara itu, transaksi finansial meliputi semua transaksi yang terkait dengan perubahan kepemilikan aset dan kewajiban finansial luar negeri Indonesia pada periode tertentu. Transaksi finansial terdiri dari investasi langsung (direct investment), investasi portofolio (portfolio investment), investasi lainnya (other investment) dan cadangan devisa (reserve assets).
Komposisi transaksi modal dan finansial sangat penting dalam menentukan kondisi transaksi modal dan finansial. Arus masuk modal yang bersumber dari investasi portofolio cenderung lebih bergejolak dibandingkan dengan investasi langsung karena investasi portofolio cenderung merupakan arus masuk modal jangka pendek (hot money). Sumber pembiayaan berupa investasi langsung cenderung lebih berkesinambungan dibandingkan investasi portofolio yang bisa berbalik arah menjadi arus keluar modal jika kondisi pasar keuangan bergejolak.
2.2. Pengertian Krisis dan Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Transaksi Modal dan Finansial
Menurut Tambunan (2011) krisis ekonomi dibedakan menjadi dua berdasarkan proses terjadinya. Pertama, guncangan ekonomi tak terduga yaitu krisis ekonomi yang terjadi secara tiba-tiba, tanpa adanya tanda peringatan seperti krisis harga minyak tahun 1974 dan krisis keuangan Asia 1997-1998. Kedua, krisis yang terjadi melalui suatu proses akumulasi yang cukup panjang seperti krisis ekonomi global tahun 2008-2009.
            Kemudian Tambunan (2011) mendefinisikan krisis ekonomi sebagai suatu situasi di mana ekonomi sebuah negara mengalami penurunan secara mendadak yang disebabkan oleh krisis keuangan. Selanjutnya, krisis keuangan terjadi pada saat jumlah permintaan uang melebihi jumlah penawaran uang di mana lembaga keuangan mengalami kesulitan atau kehabisan likuiditas.
            Tambunan (2011) juga membagi krisis ekonomi berdasarkan sumbernya yaitu krisis ekonomi yang berasal dari dalam negara/kawasan, dan yang berasal dari luar negara/kawasan yang tidak bisa dikendalikan/dipengaruhi oleh negara/kawasan tersebut. Jenis krisis yang berasal dari dalam adalah krisis produksi, krisis perbankan, krisis nilai tukar. Sedangkan jenis krisis yang berasal dari luar adalah krisis perdagangan (ekspor dan impor) dan krisis investasi/modal.
Tulisan ini membatasi pengertian krisis keuangan yang mempengaruhi transaksi modal dan finansial pada tiga jenis krisis keuangan yaitu krisis keuangan Asia (Asian financial crisis) 1997/1998, krisis keuangan global (global financial crisis) 2008/2009, seerta krisis utang Eropa (European debt crisis) dan pengurangan stimulus moneter AS (tapering off) 2010-2013.
Terkait dengan faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja transaksi modal dan finansial, Ogawa (2006) menyebutkan beberapa faktor yang mempengaruhi arus masuk modal ke AS seperti ekspektasi inflasi negara-negara yang menanamkan modalnya di AS, suku bunga riil di AS, pergerakan suku bunga internasional, kelebihan tabungan negara-negara lain, ekspektasi yang tinggi terhadap pertumbuhan ekonomi AS yang akan semakin membaik, dan kepercayaan investor asing atas keselamatan aset-aset mereka di AS.
III. PEMBAHASAN
3.1 Transaksi Modal dan Finansial Selama Krisis Keuangan Asia 1997/1998
Krisis keuangan Asia dimulai pada 2 Juli 1997 ketika Thailand mendevaluasi mata uang baht. Krisis yang berlangsung 1997-1998 ini disebabkan oleh aliran modal asing yang besar ke negara-negara Asia sehingga mereka dapat melakukan impor jauh lebih besar dibandingkan ekspor. Jatuhnya kepercayaan investor asing terhadap ekonomi Asia menyebabkan beberapa negara Asia seperti Thailand, Indonesia, Malaysia dan Korea Selatan mengalami pembalikan mendadak (sudden reversal) aliran modal internasional (Krugman dan Obstfeld, 2006).
Menurut Boediono (2009) kepanikan yang terjadi pada awal krisis disebabkan oleh ketidakseimbangan antara permintaan dan pasokan devisa akibat penurunan aliran modal yang mendoron tekanan terhadap mata uang rupiah.
Stiglitz (2003) percaya bahwa faktor utama yang menyebabkan krisis adalah liberalisasi neraca modal (capital account liberalization) di mana modal bisa secara bebas keluar masuk suatu negara tanpa bisa dicegah. Risiko yang berasal dari pembalikan aliran modal dari aliran masuk yang besar diikuti dengan aliran keluar besar secara cepat dapat menimbulkan krisis. Hal ini terjadi pada Thailand dengan pembalikan yang mencapai 7,0% dari PDB pada 1997, meningkat menjadi 12,3% dari PDB dan 7% dari PDB pada semester pertama 1999.
Menurut Krugman (2000) pada 1990 aliran modal swasta ke negara-negara berkembang mencapai US$42 miliar. Jumlah ini meningkat enam kali lipatnya menjadi US$256 miliar pada 1997 yang sebagian besarnya masuk ke negara-negara Asia Tenggara.
Gambar 1 menunjukkan bahwa sebelum krisis Asia, defisit transaksi berjalan ditopang oleh investasi langsung yang positif. Pasca krisis Asia, surplus transaksi berjalan diikuti oleh investasi langsung yang negatif.[1] Selama periode 1992-1996[2] investasi portofolio menunjukkan arus masuk modal yang semakin besar dari US$1,0 miliar (1992) menjadi US$5,0 miliar (1996). Akan tetapi krisis keuangan Asia menyebabkan terjadinya pembalikan arus modal sehingga selama periode 1997-2001 terjadi arus keluar modal. Dengan semakin pulihnya ekonomi, investasi portofolio kembali positif pada tahun 2002.
Gambar 1: Transaksi Berjalan dan Transaksi Modal & Finansial 1990-2003
Sumber: Bank Indonesia
Mulai tahun 1990 surplus investasi langsung mampu melampaui US$1,0 miliar yaitu sebesar US$1,1 miliar. Nilai ini terus mengalami peningkatan dan mencapai puncaknya pada 1996 dengan nilai US$6,2 miliar. Akan tetapi krisis keuangan Asia menyebabkan terjadi penurunan investasi langsung. Pada tahun 1997 nilai investasi langsung masih positif US$4,7 miliar. Untuk pertama kalinya pada tahun 1998 investasi langsung membukukan nilai negatif sebesar US$0,21 miliar dan mencapai puncaknya pada tahun 2000 dengan nilai defisit US$4,5 miliar. Tren investasi langsung yang negatif terus berlangsung hingga tahun 2001. Walapun tahun 2002 investasi langsung sempat positif, pada tahun 2003 investasi langsung kembali negatif.
Untuk investasi lainnya, selama kurun waktu 1990-1993 mencatat arus masuk modal yang cukup besar setiap tahun dengan nilai rata-rata sebesar US$3,3 miliar. Sebagian besar arus masuk modal ini bersumber dari pinjaman luar negeri pemerintah dan swasta. Akan tetapi sejak 1996 sampai dengan 2003 investasi langsung menunjukkan arus keluar modal (defisit) yang semakin besar dari US$0,3 miliar (1996) menjadi US$2,7 miliar (2003) dengan arus keluar modal terbesar terjadi pada tahun 1998 sebesar US$7,5 miliar. Sumber arus keluar modal ini adalah pelunasan pokok utang luar negeri pemerintah dan swasta yang jatuh tempo.
Dampak krisis keuangan Asia sangat signifikan yang dapat ditunjukkan oleh kinerja transaksi modal dan finansial yang mengalami defisit selama tujuh tahun berturut-turut yaitu dari tahun 1997 s.d. tahun 2003 dengan nilai defisit keseluruhan mencapai sebesar US$33,6 miliar yang mencerminkan aliran keluar modal asing bersih (net outflow) yang sangat besar pada waktu itu.
3.2. Transaksi Modal dan Finansial Selama Krisis Keuangan Global 2008/2009
Krisis keuangan global bermula dengan krisis kredit perumahan murah (subprime mortgage crisis) di Amerika Serikat (AS) pada Agustus 2007. Krisis ini disebabkan oleh gelembung (bubble) harga perumahan karena sangat mudahnya memperoleh kredit perumahan.  Gelembung ini akhirnya meledak (bubble burst) yang mendorong banyaknya kredit perumahan yang macet. Krisis ini semakin parah yang mendorong beberapa lembaga keuangan AS harus diselamatkan atau mengalami kebangkrutan dan mencapai puncaknya dengan kejatuhan bank investasi besar Lehman Brothers pada September 2008. Krisis ini kemudian menular ke seluruh dunia karena proses sekuritisasi kredit perumahan murah AS ini dimiliki oleh sebagian besar lembaga keuangan dunia.
Krisis keuangan global yang semakin dalam sejak September 2008 memberikan tekanan yang cukup signifikan pada kinerja Neraca Pembayaran Indonesia (NPI). Selama 2008 NPI mengalami defisit sebesar US$1,9 miliar, berbeda dari tahun 2007 yang mencatat surplus US$12,7 miliar. Namun demikian, transaksi berjalan masih mampu mencatat surplus sebesar US$0,1 miliar atau turun dibandingkan surplus pada 2007 yang sebesar US$10,5 miliar.
Pada 2008, defisit neraca transaksi berjalan terjadi selama tiga triwulan berturut-turut yaitu triwulan II, III, dan IV dengan nilai defisit masing-masing sebesar US$1,0 miliar, US$0,97 miliar, dan US$0,64 miliar. Ini merupakan defisit neraca transaksi berjalan yang pertama kali terjadi dimana sejak triwulan II 2004 s.d. triwulan I 2008 neraca transaksi berjalan selalu membukukan surplus.
Sementara itu, transaksi modal dan finansial mengalami defisit US$1,9 miliar, setelah pada tahun 2007 mencatat surplus sebesar US$3,6 miliar. Sejalan dengan perkembangan di atas, jumlah cadangan devisa pada akhir periode turun sebesar US$5,3 miliar dari US$56,9 miliar menjadi US$51,6 miliar.
Gambar 2 menunjukkan bahwa pada tahun 2005 investasi langsung kembali mencatat surplus cukup besar US$5,3 miliar dari sebelumnya defisit sebesar US1,5 miliar pada tahun 2004. Kemudian, surplus investasi langsung turun pada tahun 2006 menjadi US$2,2 miliar dan terus mengalami kenaikan menjadi US$3,4 miliar pada tahun 2008. Akan tetapi krisis keuangan global mendorong kinerja investasi langsung turun menjadi surplus US$2,6 miliar pada tahun 2009.
Selama krisis keuangan global, investasi portofolio mengalami tekanan sehingga kinerjanya turun sebesar 68% dari surplus US$5,6 miliar (2007) menjadi surplus US$1,8 miliar (2008). Pada tahun 2009 investasi portofolio mengalami peningkatan yang sangat besar 486% dengan nilai US$10,3 miliar yang disebabkan oleh suku bunga domestik yang tinggi dan kondisi makroekonomi dimestik yang stabil. Perbaikan kinerja investasi portofolio pada tahun 2009 turut menopang surplus transaksi modal & finansial.
Kinerja investasi lainnya selama 2004-2009 masih mengalami defisit yang cukup besar dengan defisit terbesar pada tahun 2005 sebesar US$9,4 miliar serta tahun 2008 dan 2009 masing-masing sebesar US$7,3 miliar dan US$8,1 miliar.
Gambar 2: Transaksi Berjalan dan Transaksi Modal & Finansial 2004-2009
Sumber: Bank Indonesia
            Dampak krisis keuangan global 2007-2009 cukup signifikan walaupun tidak sebesar krisis keuangan Asia 1997/1998 karena hanya pada tahun 2008 saja kinerja transaksi modal dan finansial mengalami defisit sebesar US$1,8 miliar akibat defisit investasi lain sebesar US$7,3 miliar sedangkan investasi langsung dan investasi portofolio masih mencatat surplus masing-masing sebesar US$3,4 miliar dan US$1,8 miliar.
3.3. Transaksi Modal dan Finansial Selama Krisis Utang Eropa dan Pengurangan Stimulus Moneter AS (Tapering of Quantitative Easing) 2010-2013
Krisis utang Eropa diawali oleh pemberian dana bail-out oleh Uni Eropa dan IMF kepada Yunani pada musim Semi tahun 2010 sebesar 110 miliar euro yang setara dengan US$163 miliar. Krisis ini disebabkan oleh utang publik negara-negara Eropa yang melebihi ketentuan minimal sebesar 60% dari PDB dan defisit fiskal 3% dari PDB. Krisis keuangan global 2007-2009 dan utang publik yang besar mendorong investor meminta imbal hasil (yield) yang lebih tinggi atas surat utang yang diterbitkan negara-negara Eropa sehingga beberapa negara Eropa seperti Portugal, Irlandia, Itali, Yunani (Greece) dan Spanyol atau PIIGS mengalami kesulitan menjual surat utang mereka sehingga memerlukan bail-out. Beberapa negara Eropa yang telah mengalami resesi ekonomi karena krisis utang Eropa adalah Yunani, Italia, Spanyol, Portugal, dan Perancis yang mengalami kontraksi ekonomi selama dua kuartal berturut-turut.
Sementara itu, isu penghentian stimulus moneter the Fed (taper off) mulai menpengaruhi pasar keuangan global ketika pada 22 Mei 2013 Gubernur Bank Sentral AS Ben Bernanke berbicara di depan Kongres AS tentang kemungkinan the Fed untuk menghentikan secara bertahap program stimulus moneter (quantitative easing) dari sebelumnya sekitar US$85 miliar per bulan menunju nilai yang lebih rendah. Pidato Bernanke ini berdampak negatif cukup signifikan sehingga pasar modal dunia mengalami guncangan.
Gambar 3 menunjukkan bahwa transaksi berjalan dari sebelumnya berkinerja surplus berbalik menjadi defisit pada tahun 2012 dan 2013. Sementara itu, memasuki tahun 2010 kinerja transaksi modal dan finansial mengalami surplus yang cukup besar di mana investasi portofolio masih dominan sebagai sumber surplus. Akan tetapi pada tahun 2011 akibat dampak krisis utang Eropa pasar keuangan Indonesia mengalami tekanan sehingga terjadi aliran keluar modal asing (capital outflow) pada investasi portofolio sebesar US$4,6 miliar pada triwulan III 2011. Kemudian dampak krisis utang Eropa masih berlanjut pada triwulan IV 2011 di mana investasi portofolio hanya sebesar US$245 juta akibat capital outflow masih berlanjut pada surat utang sektor publik yaitu dari US$4,3 miliar pada triwulan III 2011 menjadi US$2,3 miliar pada triwulan IV 2011. Capital outflow terbesar bersumber dari instrumen Sertifikat Bank Indonesia (SBI) yang mencapai US$2,4 miliar dan US$3,7 miliar masing-masing pada triwulan III dan IV 2011.
Adapun dampak Fed tapering off terlihat jelas pada pasar saham Indonesia yang mengalami capital outflow mulai triwulan II s.d. IV 2013 masing-masing dengan nilai US$2,0 miliar, US$0,8 miliar dan US$1,0 miliar. Hal ini dikonfirmasi oleh pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang mencapai nilai tertinggi sebesar 5214,98 pada 20 Mei 2013 yang kemudian turun menjadi 3967,84 pada 27 Agustus 2013 atau turun sebesar 24% akibat dampak isu tapering off.
Selama periode tahun 2010-2013 kinerja investasi langsung semakin membaik yaitu dari US$9,8 miliar pada tahun 2010 menjadi US$14,8 miliar pada tahun 2014. Dominasi investasi langsung sebagai penopang surplus transaksi modal & finansial juga semakin besar. Hal ini merupakan indikator yang positif di tengah transaksi berjalan yang mengalami defisit sehingga diperlukan sumber pembiayaan yang bersifat jangka panjang dan tidak bergejolak.
Gambar 3: Transaksi Berjalan dan Transaksi Modal & Finansial 2010-2013
Sumber: Bank Indonesia
            Secara keseluruhan dampak krisis utang Eropa dan tapering off terhadap kinerja transaksi modal dan finansial tidak terlalu besar yang ditunjukkan oleh kinerja transaksi modal dan finansial yang masih surplus selama periode 2010-2013. Tekanan terhadap kinerja investasi portofolio sempat terjadi yang mendorong adanya alira keluar modal asing (capital outflow) yang bersifat sementara yang mencerminkan reaksi pasar atas krisis tersebut.
3.4. Kinerja Peringkat Utang
Kinerja peringkat utang (sovereign credit rating) dapat mempengaruhi kinerja transaksi modal dan finansial sebagai berikut bahwa kenaikan peringkat utang memberikan persepsi kepada investor asing bahwa risiko berinvestasi di Indonesia menjadi lebih rendah sehingga investor akan meminta imbal hasil (yield) yang lebih rendah yang akan menurunkan biaya penerbitan utang. Sebaliknya penurunan peringkat utang akan menyebabkan imbal hasil yang diminta oleh investor asing atas penerbitan utang semakin tinggi. Peringkat utang tidak hanya mempengaruhi pasar utang tetapi juga mempengaruhi investasi di pasar saham dan investasi langsung (PMA) karena peringkat utang mencerminkan risiko berinvestasi pada aset-aset di Indonesia.
Gambar 4 menunjukkan kinerja peringkat utang dan transaksi modal dan finansial untuk periode 1992-2012. Sebelum krisis keuangan Asia, baik S&P maupun Moody’s memberikan peringkat utang layak investasi (investment grade) yang diikuti oleh kenaikan yang tinggi pada investasi portofolio pada tahun 1993 dan 1994 masing-masing sebesar 72% dan 115%. Kemudian pada April 1995 S&P menaikkan satu peringkat di atas layak investasi dari BBB- menjadi BBB. Kenaikan peringkat ini diiringi dengan kenaikan investasi langsung sebesar 102% dan 41% masing-masing pada tahun 1995 dan 1996. Investasi lainnya juga mengalami peningkatan drastis dari defisit US$2,1 miliar pada tahun 1994 menjadi surplus US$2,1 miliar. Pembalikan dari defisit menjadi surplus pada investasi lain menunjukkan terjadi penarikan utang luar negeri dalam jumlah besar. Kinerja fundamental ekonomi Indonesia yang bagus menjadi sebab utama kenaikan peringkat utang tersebut. Bahkan satu bulan sebelum krisis keuangan Asia terjadi, Fitch memberikan peringkat BBB- pada Juni 1997.
Gambar 4: Kinerja Peringkat Utang dan Transaksi Modal & Finansial (US$ miliar) 1992-2013
Sumber: Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan RI
Keterangan: Peringkat utang Indonesia dikuantifikasikan dengan memberikan nilai dari satu untuk peringkat terendah  s.d. 24 untuk peringkat tertinggi. Misalkan peringkat layak investasi (investment grade) BBB- (S&P dan Fitch) atau Baa3 (Moody’s) diberi nilai 15.
Krisis keuangan Asia yang semakin parah yang juga menulari Indonesia mendorong ketiga lembaga kredit tersebut menurunkan peringkat utang Indonesia hingga di bawah layak investasi (investment grade). Penurunan peringkat utang di bawah layak investasi (investment grade) menyebabkan Indonesia dikeluarkan oleh manajer investasi asing dari daftar negara-negara yang layak investasi. Dampaknya sangat besar yaitu aliran modal keluar (capital outflow) dalam jumlah besar. Pada tahun 1997 investasi portofolio dan lainnya mengalami defisit masing-masing sebesar US$2,6 miliar walaupun investasi langsung masih surplus sebesar US$4,7 miliar. Pada tahun 1997 investasi portofolio turun drastis dari surplus US$5,0 miliar pada tahun 1996 menjadi defisit US$2,6 miliar. Mulai tahun 1998 terjadi pembalikan pada investasi langsung dari surplus menjadi defisit. Aliran modal keluar yang besar ini terus berlanjut hingga tahun 2003.
Setelah mengalami penurunan peringkat yang cukup tajam, pada tahun 2002 S&P dan Fitch kembali menaikkan peringkat sehingga terjadi pembalikan dari defisit menjadi surplus pada investasi langsung dan investasi portofolio walaupun transaksi modal dan finansial masih defisit. Akan tetapi pada tahun 2003 dan 2004 investasi langsung kembali defisit walaupun S&P dan Fitch menaikkan peringkat utang Indonesia.
Sementara itu, krisis keuangan global 2008/2009 tidak berdampak besar terhadap ekonomi Indonesia sehingga ketiga lembaga peringkat tidak menurunkan peringkat Indonesia. Bahkan investasi langsung dan investasi portofolio masih surplus pada tahun 2008 dan 2009.
Sejak penurunan peringkat utang layak investasi pada tahun 1997 Indonesia membutuhkan waktu yang cukup lama untuk kembali ke layak investasi. Fitch memerlukan waktu 14 tahun untuk menaikan Indonesia ke layak investasi  yang baru terjadi pada tahun 2011, Moody’s membutuhkan waktu 15 tahun  di mana pada tahun 2012 Moody’s memasukkan Indonesia ke dalam daftar negara layak investasi sedangkan S&P sampai akhir tahun 2013 belum menaikan rating Indonesia ke layak investasi (investment grade).
3.5. Stabilitas Ekonomi Makro
Indikator stabilitas ekonomi makro yang menjadi perhatian investor asing adalah nilai tukar dan inflasi. Nilai tukar rupiah yang stabil akan meningkatkan kepercayaan investor asing terhadap prospek ekonomi Indonesia sehingga mereka bersedia menaruh modal mereka untuk diinvestasikan di Indonesia. Sebaliknya volatilitas nilai tukar rupiah yang tinggi akan mengurangi kepercayaan investor asing terhadap kredibilitas Pemerintah mempertahankan stabilitas ekonomi makronya. Nilai tukar rupiah yang sangat berfluktuasi akan mempersulit para pengusaha dalam membuat perencanaan dan keputusan investasi. Selain itu, nilai tukar riil akan berpengaruh terhadap daya saing ekspor Indonesia. Penguatan nilai tukar riil rupiah akan berdampak negatif terhadap ekspor dan sebaliknya pelemahan nilai tukar riil rupiah akan berdampak positif terhadap ekspor. Gangguan pada ekspor akan mempengaruhi minat investor asing untuk menanamkan modal pada sektor-sektor yang berorientasi ekspor. Jika prospek sektor-sektor yang berorientasi ekspor tidak menarik lagi maka investor asing tidak akan menanamkan modalnya pada sektor tersebut.
Perkembangan transaksi modal dan finansial serta nilai tukar riil rupiah terhadap US$ selama periode 1990-2013 disajikan pada Gambar 5. Sejak awal 1990-an Bank Indonesia mempertahankan stabilitas rupiah dengan mengelola pergerakan rupiah terhadap sekeranjang mata uang. Setelah rupiah stabil selama sepuluh tahun, nilai tukar rupiah terhadap US$ menjadi terlalu kuat (overvalued). Sehingga, selama krisis keuangan Asia 1997, Bank Indonesia tidak dapat mempertahankan kestabilan rupiah. Pada pertengahan Agustus 1997, Bank Indonesia mengakhiri pita intervensi nilai tukar yang diadopsi pada 1992 dan melaksanakan rezim nilai tukar mengambang bebas (free floating exchange rate system).
Gambar 5 juga menunjukkan bahwa pada periode di mana terjadi volatilitas nilai tukar riil yang tinggi seperti pada krisis keuangan Asia terjadi aliran keluar modal asing yang besar sedangkan pada periode di mana nilai tukar riil relatif stabil akan diikuti dengan aliran masuk modal asing.
Gambar 5: Transaksi Modal & Finansial dan Nilai Tukar Riil[3] Rp/US$ 1990-2013
Sumber: Bank Indonesia dan CEIC
Inflasi sebagai salah satu indikator stabilitas ekonomi makro selain nilai tukar selalu menjadi perhatian investor asing karena inflasi berkaitan dengan suku bunga riil yang mencerminkan risiko berinvestasi. Jika inflasi Indonesia tinggi maka investor asing akan melihat bagaimana Pemerintah dan Bank Indonesia dalam mengendalikan inflasi yang tinggi tersebut agar risiko berinvestasi di Indonesia dapat terkendali. Gambar 6 menunjukkan bahwa pada periode di mana inflasi mengalami peningkatan yang tinggi selalu ditandai dengan terjadinya aliran modal asing keluar (capital outflow) seperti yang terjadi pada tahun 1997-2003 akibat dampak krisis keuangan Asia, mini krisis tahun 2005 akibat kenaikan BBM (Imansyah, 2009) dan tahun 2008 yang pada saat bersamaan terjadi krisis keuangan global.
Gambar 6: Transaksi Modal & Finansial dan Inflasi 1990-2013
Sumber: Bank Indonesia dan Badan Pusat Statistik

Gambar 7 menunjukkan perkembangan suku bunga riil dan transaksi modal dan finansial untuk kurun waktu 1990-2013. Pemerintah pada prinsipnya menginginkan suku bunga domestik berada pada tren yang menurun untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang didukung oleh ketersediaan likuiditas di pasar keuangan. Akan tetapi, seiring dengan masih tingginya kebutuhan modal asing di tengah likuiditas pasar keuangan global yang semakin ketat, Pemerintah berusaha agar suku bunga domestik tetap kompetitif terhadap suku bunga asing. Secara riil, suku bunga domestik masih akan positif sepanjang inflasi terkendali. Jika inflasi tidak terkendali maka suku bunga riil domestik berada pada wilayah negatif seperti yang terjadi pada tahun 1998-1999 (episode krisis keuangan Asia) dan 2008 (episode krisis keuangan global) yang diiringi dengan aliran keluar modal asing (capital outflow).

Gambar 7: Suku Bunga Riil dan Transaksi Modal dan Finansial 1990-2013

Sumber: Bank Indonesia dan CEIC

 IV. PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa setiap krisis keuangan mempunyai dampak yang berbeda-beda terhadap kinerja transaksi modal dan finansial tergantung kedalaman krisis keuangan tersebut.  Krisis keuangan Asia 1997/1998 berdampak negatif yang signifikan terhadap semua komponen transaksi modal dan finansial yaitu investasi langsung, investasi portofolio dan investasi lainnya. Sementara itu, krisis keuangan global, krisis utang Eropa dan tapering off dampak negatifnya lebih terlihat pada komponen investasi portofolio karena investasi ini bersifat jangka pendek dan sangat bergejolak (volatile). Faktor lain yang terkait krisis keuangan yang mempengaruhi kinerja transaksi modal dan finansial adalah peringkat utang Indonesia dan stabilitas ekonomi makro yang dipengaruhi oleh nilai tukar, inflasi dan suku bunga.
4.2 Rekomendasi
Rekomendasi kebijakan yang dapat diberikan adalah Pemerintah harus memanfaatkan setiap peluang terkait aliran masuk modal asing termasuk mengelola risikonya, seperti untuk investasi jangka panjang dalam rangka mendorong akselerasi pertumbuhan ekonomi dan mengurangi risiko pembalikan modal tiba-tiba (sudden reversal). Selain itu, Pemerintah harus menjadikan stabilitas ekonomi makro sebagai tujuan utamanya agar gejolak yang terjadi pada nilai tukar dan inflasi sampai menyebabkan krisis keuangan dan sebaliknya krisis keuangan yang bersumber dari luar tidak berdampak terlalu besar pada kinerja transaksi modal dan finansial.
DAFTAR ACUAN
Boediono (2009), Ekonomi Indonesia, Mau ke Mana?: Kumpulan Esai Ekonomi, KPG: Jakarta.
Imansyah, Muhammad Handry (2009), Krisis Keuangan di Indonesia: Dapatkah Diramalkan? PT Elex Media Komputindo: Jakarta.
Krugman, Paul (2000), The Return of Depression Economics, W. W. Norton & Company: New York.
Krugman, Paul E. dan Obstfeld, Maurice (2006), International Economics: Theory & Policy, Edisi ke-7, Pearson Addison Wesley: Boston.
Ogawa, Eiji (2006), Study Report on U.S. Current Account Deficit: Unsustainable imbalance calls for urgent action to restore fiscal health Possibility of drastic dollar depreciation looms closer. http://www.rieti.go.jp/en/papers/contribution/ogawa/01.html.
Stiglitz, Joseph E. (2003), Globalization and Its Discontents, W. W. Norton & Company: New York.
Tambunan, Tulus (2011), Memahami Krisis: Siasat Membangun Kebijakan Ekonomi, LP3ES: Jakarta


[1] Investasi langsung pada neraca pembayaran meliputi investasi langsung bukan penduduk di Indonesia dan investasi langsung penduduk di luar negeri. Investasi langsung (neto) negatif berarti lebih banyak penduduk yang melakukan investasi langsung di luar negeri.
[2] Data investasi portofolio periode 1980-1991 tidak tersedia.
[3] Nilai tukar riil dihitung dengan rumus e*(USCPI/INDCPI) di mana e adalah nilai tukar nominal Rp/USD, USCPI adalah indeks harga konsumen Amerika Serikat dengan tahun dasar 2005 dan INDCPI adalah indeks harga konsumen Indonesia dengan tahun dasar 2005.

No comments: