Wednesday, March 9, 2016

SUSTAINABILITY ANALYSIS OF INDONESIAN CURRENT ACCOUNT BALANCE: 1980-2010



SUSTAINABILITY ANALYSIS OF INDONESIAN CURRENT ACCOUNT BALANCE: 1980-2010


Abstract
This paper attempt to analyze the sustainability of current account in Indonesia. Sustainability analysis of current account is conducted by analysing factors affecting the sustainability of current account for some particular periods. The factors affecting current account sustainability include external debt, debt service ratio, export, real exchange rate, domestic saving and investment, fiscal surplus deficit, economy growth, and capital inflow. The result shows that during period of 1980-2010 current account sustainability facing some disturbances indicated by some factors affecting current account sustainability are lying above the warning level.
Keywords: current account sustainability, balance of payment, external sector, Indonesia
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kinerja transaksi berjalan yang masih surplus pada 1980 mulai berbalik arah menjadi defisit. Pada awal tahun 1980-an pendapatan minyak mengalami penurunan karena runtuhnya pasar minyak dunia saat harga minyak jatuh pada tahun 1983 dan 1986. Krisis minyak ini menimbulkan tekanan pada neraca pembayaran di mana transaksi berjalan mencatat defisit pada periode 1981-1991. Untuk mengurangi dampak negatif krisis minyak tersebut terhadap ekonomi nasional, di bidang manajemen nilai tukar, pemerintah mendevaluasi nilai tukar rupiah terhadap US$ sebanyak dua kali yaitu pada Maret 1983 dan September 1986.
Krisis Keuangan Asia yang menyerang Indonesia pada Juli 1997 juga telah memberikan tekanan pada transaksi berjalan sehingga rupiah dibiarkan mengambang pada tahun yang sama. Sebelum Krisis Keuangan Asia 97/98, kinerja transaksi berjalan selalu defisit untuk mendukung pertumbuhan ekonomi domestik yang sangat pesat dimana selama periode 1992-1996 PDB mengalami pertumbuhan rata-rata 7,3%. Sumber defisit transaksi berjalan berasal dari surplus neraca perdagangan yang rendah di bawah US$10 miliar serta defisit neraca jasa-jasa dan pendapatan. Trauma krisis mendorong negara-negara Asia mengakumulasi cadangan devisa, tanpa kecuali Indonesia yang mengakumulasi cadangan devisa melalui kinerja transaksi berjalan yang surplus yang bersumber dari surplus neraca perdagangan.
Pasca krisis keuangan Asia, kinerja transaksi berjalan dihadapkan oleh beberapa peristiwa penting. Pada tahun 2004 Indonesia menjadi negara pengimpor bersih minyak mentah yang diikuti dengan kenaikan harga BBM dua kali selama tahun 2005. Pertama, pada 1 Maret 2005 harga BBM dinaikkan dengan kenaikan rata-rata 29% dan kedua, pada 1 Oktober 2005 harga BBM dinaikan dengan kenaikan rata-rata 114%. Kemudian krisis keuangan global yang terjadi pada tahun 2008/2009 serta masih dirasakan hingga 2010 sangat mempengaruhi kinerja transaksi berjalan.
Krisis keuangan global yang semakin dalam sejak September 2008 memberikan tekanan yang cukup signifikan pada kinerja Neraca Pembayaran Indonesia (NPI). Selama 2008 NPI mengalami defisit sebesar US$1,9 miliar, berbeda dari tahun 2007 yang mencatat surplus US$12,7 miliar. Namun demikian, transaksi berjalan masih mampu mencatat surplus sebesar US$0,1 miliar atau turun dibandingkan surplus pada 2007 yang sebesar US$10,5 miliar.
Pada 2008, defisit transaksi transaksi berjalan terjadi selama tiga triwulan berturut-turut yaitu triwulan II, III, dan IV dengan nilai defisit masing-masing sebesar US$1,0 miliar, US$0,97 miliar, dan US$0,64 miliar. Ini merupakan defisit transaksi transaksi berjalan yang pertama kali terjadi dimana sejak triwulan II 2004 s.d. triwulan I 2008 transaksi berjalan selalu membukukan surplus.
Sementara itu, transaksi modal dan finansial mengalami defisit US$1,8 miliar, setelah pada tahun 2007 mencatat surplus sebesar US$3,6 miliar. Sejalan dengan perkembangan di atas, jumlah cadangan devisa pada akhir periode turun sebesar US$5,3 miliar dari US$56,9 miliar menjadi US$51,6 miliar.
Seiring dengan membaiknya prospek ekonomi global dan domestik, kinerja neraca pembayaran tahun 2009 dan 2010 mengalami perbaikan. Transaksi berjalan pada tahun 2009 dan 2010 masing-masing mencatat surplus US$10,2 miliar dan US$6,3 miliar. Neraca transaksi modal dan finansial pada tahun 2009 dan 2010 masing-masing mencatat surplus sebesar US$5,0 miliar dan US$26,2 miliar.
Transaksi berjalan selalu menjadi perhatian serius pemerintah karena jika terjadi tekanan pada transaksi berjalan akan mempengaruhi posisi cadangan devisa yang pada gilirannya bisa mengganggu stabilitas nilai tukar rupiah. Sehungan dengan hal tersebut di atas, penulis ingin menganalisis kenimbungan (sustainability) transaksi berjalan di Indonesia selama periode 1980-2010, serta memberikan kesimpulan dan rekomendasi sebagai bahan masukan bagi pembuatan kebijakan di bidang transaksi berjalan.
1.2. Permasalahan
Pokok permasalahan dalam tulisan ini adalah apakah kondisi transaksi berjalan di Indonesia selama periode 1980-2010 telah menunjukkan kesinambungan sehinga mampu memberikan sumbangan yang positif pada ekonomi domestik? Pada periode yang mana kesinambungan transaksi berjalan mengalami tekanan? Faktor-faktor apa saja yang dapat mempengaruhi kesinambungan transaksi berjalan?
1.3.Tujuan Penulisan
Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui kesinambungan transaksi berjalan di Indonesia selama periode 1980-2010, serta memberikan usulan rekomendasi bagi kebijakan di bidang transaksi berjalan.
1.4. Metode Penelitian
Analisis kesinambungan transaksi berjalan dilakukan dengan menggunakan pendekatan analisis deskriptif. Data yang digunakan adalah data sekunder yang bersumber dari Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, IMF, Bank Dunia, ADB, CEIC dan Bloomberg. Untuk melengkapi analisis, juga dipergunakan data kualitatif yang dikumpulkan dari berbagai sumber seperti makalah ilmiah, majalah, surat kabar maupun sumber lainnya yang relevan.
II. KERANGKA TEORI
2.1. Pengertian Neraca Pembayaran dan Transaksi Berjalan
IMF (1996) mendefinisikan neraca pembayaran (balance of payment (BOP)) sebagai laporan statistik yang meringkas secara sistematis, selama periode waktu tertentu, transaksi ekonomi suatu negara dengan negara-negara lainnya. Transaksi antara penduduk (residents) dengan bukan penduduk (nonresidents) meliputi barang, jasa, pendapatan, tranfer serta klaim finansial atas dan kewajiban finansial kepada negara-negara lain.
Tujuan pembuatan statistik Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) adalah untuk memperoleh informasi tentang: (1) peranan dan dampak sektor eksternal terhadap perekonomian domestik; (2) aliran sumber daya dari/ke negara lain; (3) struktur ekonomi dan perdagangan internasional; (4) permasalahan utang luar negeri baik pemerintah maupun swasta; (5) perubahan posisi cadangan devisa dan potensi tekanan terhadap nilai tukar; (6) sumber data dan informasi untuk menyusun angaran devisa; serta (7) sumber data dalam penyusunan statistik neraca nasional (Bank Indonesia 2008).
Menurut Bank Indonesia (2008) transaksi berjalan (current account) mengukur penerimaan dan pengeluaran Indonesia yang berasal dari transaksi barang dan jasa (goods and services), pendapatan (income), dan transfer berjalan (current transfer) dengan bukan penduduk. Komponen transaksi berjalan adalah neraca perdagangan, jasa-jasa, pendapatan, dan transfer berjalan.
Neraca perdagangan adalah transaksi ekspor dan impor barang (komoditas). Sedangkan ekspor dan impor jasa masuk ke dalam neraca jasa-jasa. Neraca jasa-jasa meliputi transaksi penyediaan jasa oleh penduduk kepada bukan penduduk (arus masuk) dan oleh bukan penduduk kepada penduduk (arus keluar).
Jasa adalah transaksi penyediaan jasa antara penduduk dan bukan penduduk. Ada 11 jenis jasa yang tercantum dalam Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) yaitu jasa transportasi, travel, jasa komunikasi, jasa kontruksi, jasa asuransi, jasa keuangan, jasa komputer dan informasi, royalti dan imbalan lisensi, jasa personal, kultural, dan rekreasi, jasa pemerintah, dan jasa bisnis lainnya.
Pendapatan adalah hasil yang timbul dari penyediaan faktor produksi tenaga kerja dan modal finansial. Pendapatan terdiri dari kompensasi tenaga kerja (compensation of employees) dan pendapatan investasi (investment income). Kompensasi tenaga kerja bersumber dari pekerja musiman yang bekerja kurang dari satu tahun. Pendapatan investasi terbagi tiga yaitu pendapatan investasi langsung (direct investment income), pendapatan investasi portofolio (portfolio investment income), dan pendapatan investasi lainya (other investment income).
Transfer berjalan mencatat transaksi sepihak yang melibatkan penyerahan sumber daya tanpa timbal balik (contoh hadiah atau hibah). Unsur terbesar pada neraca transfer berjalan adalah remitansi tenaga kerja (workers’ remittances). Transfer ini adalah transfer tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri.
2.2. Hubungan Neraca Pembayaran dan Neraca Pendapatan Nasional
Posisi surplus atau defisit transaksi berjalan dapat dilihat dari hubungan antara neraca pembayaran dan pendapatan nasional. Neraca pendapatan nasional (national account) dapat ditulis dalam persamaan identitas berikut:
......................................................................................................(1)
di mana Y = Produk domestik bruto, C = konsumsi swasta, G = konsumsi pemerintah, I = pembentukan modal tetap bruto, dan X - M = neraca perdagangan barang & jasa.
Dengan asumsi transaksi berjalan (CA) hanya merupakan neraca perdagangan barang & jasa, persamaan (1) dapat disusun ulang menjadi:
Kemudian, disusun ulang sebagai berikut:
Jika , dimana S = Tabungan, sehingga dapat diperoleh:
atau....................................................................................................(2)
Persamaan (2) merupakan persamaan identitas yang menunjukkan bahwa jika terjadi surplus transaksi berjalan, investasi lebih kecil daripada tabungan, sehingga kebutuhan investasi dapat ditutup melalui tabungan. Sedangkan pada kondisi defisit transaksi berjalan, investasi lebih besar daripada tabungan. Untuk kebutuhan investasi yang besar sedangkan tabungan domestik tidak mencukupi untuk menutup kebutuhan investasi tersebut, diperlukan sumber pendanaan dari luar negeri. Sumber pendanaan luar negeri dalam bentuk utang ini akan dicatat pada pos transaksi finansial. Adapun hubungan antara transaksi berjalan dan transaksi finansial adalah:
CA + KFA = Saldo Neraca Pembayaran = Perubahan Cadangan Devisa ............................(3)
Persamaan (3) memiliki arti sebagai berikut: jika Saldo Neraca Pembayaran surplus maka cadangan devisa akan bertambah. Sebaliknya jika Saldo Neraca Pembayaran mengalami defisit maka cadangan devisa akan berkurang.
2.3. Pengertian Kesinambungan Transaksi Berjalan
Milesi-Ferretti dan Razin (1996) merumuskan kesinambungan (sustainability) transaksi berjalan sebagai berikut: jika kebijakan saat ini tetap dipertahankan, apakah titik balik dari defisit perdagangan menuju surplus perdagangan terjadi dengan lancar (yaitu, tanpa perubahan besar pada konsumsi dan kegiatan ekonomi)? Jika jawabannya ya,  maka kebijakan saat ini berkesinambungan (sustainable). Sebaliknya, jika kebijakan saat ini pada akhirnya akan menyebabkan pergeseran kebijakan yang drastik (besar) untuk membalik posisi neraca perdagangan (seperti kebijakan pengetatan secara mendadak menyebabkan resesi), atau menuju krisis keuangan (seperti kejatuhan nilai tukar sehingga tidak mampu membayar utang luar negeri yang jatuh tempo), kita menghadapi masalah ketidaksinambungan (unsustainability).
Milesi-Ferretti dan Razin (1996) juga menyebutkan beberapa indikator ekonomi makro yang dapat digunakan sebagai indikator kesinambungan transaksi berjalan. Indikator tersebut adalah pertama, indikator struktural yang meliputi (a) tabungan dan investasi, (b) pertumbuhan ekonomi, (c) keterbukaan dan perdagangan, (d) komposisi kewajiban eksternal, (e) struktur finansial, dan (f) rejim transaksi modal. Kedua, indikator kebijakan makroekonomi yang terdiri dari (a) tingkat fleksibilitas nilai tukar dan kebijakan nilai tukar dan (b) saldo fiskal. Ketiga, indikator yang menunjukkan ketidakstabilan politik, ketidakpastian kebijakan, dan kredibilitas. Terakhir, indikator yang mencerminkan ekspektasi pasar.
Menurut Mann (2002) defisit transaksi berjalan akan berkesinambungan jika arus masuk modal asing maupun posisi investasi internasional bersih yang negatif  tidak cukup besar untuk mendorong perubahan signifikan pada variabel ekonomi, seperti konsumsi, investasi, suku bunga atau nilai tukar.
Menurut Opoku-Afari (2005) ada dua model kesinambungan transaksi berjalan. Model pertama adalah Optimal Benchmark Inter-Temporal Model yang digunakan untuk memproyeksikan transaksi berjalan yang optimal (yang menjadi acuan) dan membandingkannya dengan transaksi berjalan aktual untuk menilai apakah terdapat deviasi besar dan apakah deviasi ini bersifat sistemik. Model yang menggunakan fungsi utilitas intertemporal seseorang (yang memperlihatkan ekspektasi rasional) pada ekonomi terbuka yang kecil tanpa hambatan likuiditas (kemampuan meminjam dan meminjamkan untuk menghaluskan konsumsi) disajikan dalam persamaan matematika berikut ini:
 .............................................................................................(4)
dimana  adalah transaksi berjalan optimal,  adalah operator ekspektasi, r adalah suku bunga utang luar negeri,  adalah arus kas nasional bersih yang diperoleh dari rumus  dimana  pendapatan nasional kotor riil,  investasi riil, dan  konsumsi pemerintah riil. Persamaan (4) menunjukkan bahwa sebuah ekonomi akan mempunyai surplus transaksi berjalan jika ekonomi tersebut mengharapkan arus kas bersihnya akan turun temporer di masa depan. Sebaliknya ekonomi akan mencatat defisit transaksi berjalan jika arus kas berih akan naik secara temporer di masa datang. Jika defisit transaksi berjalan aktual secara signifikan lebih tinggi daripada defisit transaksi berjalan optimal maka defisit transaksi berjalan tersebut tidak berkesinambungan (unsustainable) (Ogus dan Sohrabji, 2006).
Model kedua adalah pendekatan akuntansi untuk kesinambungan transaksi berjalan (accounting approach to current account sustainability) yang memfokuskan pada analisis rasio utang terhadap PDB. Secara matematis, model ini disajikan sebagai berikut:
 ................................................................................................(5)
dimana  adalah rasio utang terhadap PDB,  adalah suku bunga,  adalah tingkat pertumbuhan PDB, dan  adalah rasio neraca perdagangan terhadap PDB. Persamaan (5) menunjukkan bahwa jika neraca perdagangan seimbang (x – m = 0), perubahan rasio utang terhadap PDB akan tergantung pada selisih antara suku bunga utang luar negeri dan pertumbuhan PDB. Jika g < i maka rasio utang terhadap PDB akan naik. Sebaliknya, jika g > i maka pertumbuhan ekonomi mampu mengatasi kenaikan stok utang luar negeri. Transaksi berjalan akan berkesinambungan jika defisit tersebut tidak menghasilkan tumpukan utang (yaitu dengan mempertahankan rasio utang tertentu), yang berarti bahwa neraca perdagangan harus surplus agar cukup untuk menutup pertumbuhan stok utang.
Dengan menggunakan pendekatan akuntansi untuk kesinambungan transaksi berjalan, Yoshitomi, Liu, dan Thorbecke (2005) menggunakan persamaan berikut untuk menganalisis kesinambungan defisit transaksi berjalan:
 ....................................................................................................................... (6)
dimana n* adalah rasio utang luar negeri neto terhadap PDB dalam jangka panjang, c adalah rasio defisit transaksi berjalan terhadap PDB, g adalah pertumbuhan PDB nominal, dan r adalah suku bunga nominal neto atas utang luar negeri neto.
III. KINERJA TRANSAKSI BERJALAN 1980-2010
Kinerja transaksi berjalan yang ditunjukkan oleh surplus atau defisit dapat berdampak positif atau negatif terhadap kesinambungan transaksi berjalan. Defisit transaksi berjalan akan menambah utang luar negeri. Jika defisit transaksi berjalan digunakan untuk investasi maka selain akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi, hasil investasi dapat digunakan untuk melunasi utang luar negeri sehingga stok utang luar negeri tidak semakin membesar sehingga kesinambungan transaksi berjalan dapat terjaga. Akan tetapi jika defisit transaksi berjalan digunakan untuk konsumsi, defisit transaksi berjalan akan menambah stok utang luar negeri sehingga dapat menganggu kesinambungan transaksi berjalannya. Sebaliknya surplus transaksi berjalan akan mengurangi utang luar negeri dan meningkatkan tabungan. Akan tetapi tingkat tabungan yang semakin meningkatkan menunjukkan indikasi bahwa tingkat investasi masih di bawah tingkat optimal sehingga pertumbuhan ekonomi tidak akan mencapai tingkat optimalnya.
Gambar 1 menunjukkan kinerja neraca pembayaran Indonesia periode 1980-2010. Selama periode 1980-1997 transaksi berjalan selalu mencatat defisit kecuali pada tahun 1980 yang mencatat surplus. Selama Krisis Asia 97/98, defisit transaksi berjalan semakin membesar. Trauma krisis menyebabkan negara-negara Asia termasuk Indonesia mengakumulasi cadangan devisa melalui surplus transaksi berjalan. Kondisi yang berbeda terjadi pada periode 1998-2010 dimana transaksi berjalan mampu membukukan surplus yang cukup besar. Gambar 1 memperlihatkan bahwa transaksi berjalan adalah gambar cermin (mirror image) dari transaksi modal dan finansial. Atau dengan kata lain, surplus transaksi modal dan finansial diperlukan untuk membiayai defisit transaksi berjalan dan sebaliknya surplus transaksi berjalan digunakan untuk menutup defisit transaksi modal dan finansial.
Gambar 1
Neraca Pembayaran Indonesia 1980 – 2010 (US$ juta)
Sumber: Bank Indonesia
Sebelum krisis keuangan Asia 97/98, sumber defisit transaksi berjalan bersumber dari defisit neraca jasa-jasa dan pendapatan yang melebihi surplus neraca perdagangan. Setelah krisis Asia, surplus transaksi berjalan bersumber dari surplus neraca perdagangan (Gambar 2). Neraca perdagangan selama kurun waktu 1980-2010 menunjukkan kinerja yang baik dengan menyumbangkan surplus pada transaksi berjalan. Sampai dengan tahun 1996 nilai neraca perdagangan masih berada pada tingkat di bawah US$10 miliar. Sejak 1997 neraca perdagangan terus mengalami peningkatan yang pesat hingga berada di atas US$10 miliar dengan puncaknya pada tahun 2010 dengan nilai US$31,1 miliar.
Sementara itu neraca jasa-jasa dan pendapatan menunjukkan defisit yang semakin membesar. Defisit transaksi berjalan yang terjadi selama periode 1981-1997 bersumber dari defisit yang terjadi pada neraca jasa-jasa dan neraca pendapatan. Neraca jasa-jasa secara historis selalu defisit yang menunjukkan sektor jasa Indonesia belum mampu melakukan ekspor jasa yang cukup signifikan untuk membalik menjadi surplus, bahkan defisit cenderung semakin membesar. Sebelum tahun 2000, defisit neraca jasa-jasa masih di bawah US$10 miliar akan tetapi defisit tersebut semakin membesar dari US$9,8 miliar (2000) menjadi US$13,0 miliar (2009), walaupun terjadi sedikit penurunan pada tahun 2009 dan 2010 masing-masing sebesar US$9,7 miliar dan US$9,5 miliar.
Hal yang sama juga terjadi pada neraca pendapatan yang secara historis menunjukkan defisit yang semakin membesar. Hal ini disebabkan oleh semakin besarnya kepemilikan asing di Indonesia. Sebelum tahun 2004 defisit neraca pendapatan masih di bawah US$10 miliar dan terus membesar dari US$10,9 miliar (2004) menjadi US$20,3 miliar (2010).
Gambar 2
Komponen Transaksi Berjalan 1980 – 2010 (US$ juta)
Sumber: Bank Indonesia
IV. PEMBAHASAN
Analisis kesinambungan transaksi berjalan menggunakan beberapa indikator ekonomi makro yang digunakan oleh Milesi-Ferretti dan Razin (1996). Adapun indikator ekonomi makro yang dapat digunakan untuk melihat kesinambungan transaksi berjalan adalah (a) utang luar negeri, (b) beban pembayaran bunga utang luar negeri, (c) ekspor, (d) nilai tukar riil, (e) tabungan dan investasi domestik, (f) surplus (defisit) fiskal, (g) pertumbuhan ekonomi, dan (h) arus masuk modal.
Kemudian analisis tersebut di atas dibagi ke dalam beberapa episode sebagai berikut a) defisit transaksi berjalan dan penyesuaian terhadap penurunan harga minyak, 1980—1989; b) defisit transaksi berjalan dan liberalisasi,1990-1996; c) krisis keuangan Asia, 1997—1999; d) surplus transaksi berjalan, 2000—07; dan e) krisis keuangan global, 2008—10.

4.1 Utang Luar Negeri
Selama era bom minyak[2] (1973 – 1982) sebagian besar investasi pemerintah dibiayai melalui pendapatan pajak minyak dan pinjaman luar negeri. Metode pembiayaan ini tidak memiliki dampak langsung terhadap investasi swasta dalam persaingan untuk memperoleh sumber dana finansial dalam negeri. Akan tetapi, efek crowding out masih dapat terjadi melalui efek inflasi dari defisit anggaran pemerintah. Pasca era bom minyak, pemerintah Indonesia memutuskan untuk tidak tergantung pada pinjaman luar negeri dan akan mengandalkan pendapatan PPh dan PPN melalui reformasi pajak 1984 sebagai sumber utama biaya pembangunan. Akan tetapi, karena pendapatan dari pajak tidak mencukupi dan rendahnya investasi proyek infrastruktur setelah krisis keuangan Asia 1997-1998, pemerintah menerbitkan surat utang negara (SUN) sebagai alternatif sumber pembiayaan belanja modal sebagai konsekuensi pembubaran kelompok negara kreditor atau CGI (Consultative Group on Indonesia) pada 2007. Pemerintah telah berjanji untuk terus mengurangi pinjaman luar negeri dan menggantinya dengan memaksimalkan pemanfaatan sumber pembiayaan domestik. Akan tetapi, pemerintah harus mempertimbangkan kemungkinan crowding-out di pasar utang dalam negeri, kondisi yang akan menyebabkan kenaikan suku bunga sehingga sektor swasta harus menawarkan imbal hasil surat utang yang lebih tinggi agar dapat bersaing dengan surat utang pemerintah.
Defisit transaksi berjalan memungkinkan Indonesia memiliki belanja investasi yang lebih tinggi dibandingkan jika hanya mengandalkan pada tabungan domestik. Akan tetapi arus modal asing yang masuk itu sebagian besar dalam bentuk pinjaman yang mencerminkan klaim atas pendapatan nasional di masa depan. Sehingga terdapat imbangan (trade-off) antara investasi yang lebih tinggi dan utang luar negeri yang lebih tinggi juga. Dana investasi asing menaikkan stok modal Indonesia yang akan mendorong kenaikan PDB Indonesia di masa depan sehingga mampu membayar utang luar negeri yang jatuh tempo. Untuk menutup defisit transaksi berjalan, Indonesia menggunakan pinjaman luar negeri untuk menaikkan konsumsi dan investasi publik untuk meningkatkan produktivitas. Surplus transaksi berjalan yang terjadi pasca krisis keuangan Asia mendorong penarikan pinjaman luar negeri semakin berkurang (Gambar 3).
Gambar 3
Transaksi Berjalan dan Penarikan Pinjaman Luar Negeri Pemerintah 1980 – 2010 (US$ juta)
Sumber: Bank Indonesia
Surplus transaksi berjalan yang terjadi sejak 1998 telah membantu mengurangi rasio utang selama periode 2000-2007 walaupun masih dalam tingkat yang mengkhawatirkan sebesar rata-rata 62%. Selama episode krisis keuangan global 2008-2010 rasio utang luar negeri turun setengahnya menjadi rata-rata 30%. Angka ini relatif aman untuk kesinambungan transaksi berjalan.
Gambar 4
Transaksi Berjalan dan Stok Utang Luar Negeri (% PDB) 1980 – 2010
Sumber: Hill (2000) dan BI
Dari sisi struktur jatuh tempo, komponen utang luar negeri jangka pendek selama 1980-an jarang melampaui 12% dari total utang luar negeri. Akan tetapi selama tahun 1990-an utang luar negeri jangka pendek mengalami peningkatan tajam hingga mencapai 21,6% dari total utang luar negeri (Hill, 2000). Rasio utang jangka pendek terhadap total utang selama 2004-2010 mengalami peningkatan dari 5,6% (2004) menjadi 15,4% (2010). Peningkatan rasio ini telah menambah risiko terhadap kesinambungan transaksi berjalan.
Dari sisi komposisi mata uang, utang luar negeri masih didominasi oleh dua mata uang yaitu USD dan yen Jepang. Hal ini sempat menimbulkan kesulitan dalam manajemen utang luar negeri terutama tahun 1986-87 ketika terjadi apresiasi Yen (dengan total Yen exposure sebesar 40%) yang meningkatkan utang luar negeri sebesar US$9,7 miliar (Hill 2000). Pada tahun 2010 komposisi mata uang USD mencerminkan 56% dan yen Jepang 20% dari total utang luar negeri. Risiko terhadap kesinambungan transaksi berjalan akan membesar jika terjadi apresiasi terhadap mata uang USD atau Yen.
Analisis kesinambungan transaksi berjalan dapat dilakukan dengan menggunakan persamaan (6) dengan proksi r adalah selisih antara suku bunga acuan Bank Indonesia (BI rate) dengan suku bunga acuan bank sentral AS (Fed fund rate) sebesar 6,5 persen dan PDB deflator sebesar 10 persen.  Tabel 1 menunjukkan bahwa pada PDB riil sebesar 7 persen, rasio utang luar negeri terhadap PDB mencapai titik bahaya pada saat defisit transaksi berjalan sebesar 6 persen dari PDB atau defisit transaksi berjalan di bawah 6 persen dari PDB masih berkesinambungan (sustainable). Jika PDB riil turun menjadi 3 persen, tingkat kesinambungan transaksi berjalan mengalami penurunan, yaitu rasio utang luar negeri terhadap PDB mencapai 62 persen pada saat defisit transaksi berjalan sebesar 4 persen dari PDB.
Tabel 1 Rasio Utang Luar Negeri Jangka Panjang (n*)
n*=c/(g-r)
Rasio Utang Luar Negeri
c
Rasio Defisit Transaksi Berjalan
g
Pertumbuhan PDB Nominal
r
Suku Bunga Utang Luar Negeri
PDB Riil
57
6
17
6.5
7
53
5
16
6.5
6
59
5
15
6.5
5
53
4
14
6.5
4
62
4
13
6.5
3
4.2 Beban Pembayaran Bunga Utang Luar Negeri
Indikator kesinambungan transaksi berjalan yang kedua adalah beban pembayaran bunga utang luar negeri yang ditunjukkan oleh rasio pembayaran utang terhadap ekspor (debt service ratio) atau DSR. Tingkat DSR yang perlu mendapat perhatian adalah sekitar 20%. Selama periode 1980-1989 tingkat DSR mulai mengkhawatirkan karena telah mencapai 27% dan terus mengalami peningkatan menjadi 33% selama kurun waktu 1990-1996 dan mencapai puncaknya selama krisis keuangan Asia tahun 1998 yang sebesar 58%. Dengan perubahan kinerja transaksi berjalan dari defisit ke surplus dan turunnya rasio utang luar negeri, DSR terus mengalami penurunan dari 30% selama episode 2000-2007 menjadi 21% selama episode krisis keuangan global 2008-2010 sehingga tidak mengganggu kesinambungan transaksi berjalan (Gambar 5).
Gambar 5
Rasio Pembayaran Utang terhadap Ekspor (Debt Service Ratio) 1980 – 2010
Sumber: Hill (2000) dan BI
4.3 Ekspor
Indikator berikutnya adalah rasio ekspor terhadap PDB. Sebagai negara dengan ekonomi terbuka, Indonesia mengandalkan ekspor sebagai sumber valuta asing.  Devisa dari ekspor dapat digunakan untuk membayar bunga dan melunasi utang luar negeri. Semakin besar ekspor tentunya akan semakin mudah suatu negara membayar bunga dan melunasi utang luar negeri.
Gambar 6 menunjukkan rasio ekspor barang dan jasa terhadap PDB kurun waktu 1980-2010. Selama periode 1980-1989, rasio ekspor terhadap PDB mencapai rata-rata 25%. Rasio ini kemudian mengalami kenaikan menjadi 27% selama kurun waktu 1990-1996. Bahkan selama episode krisis keuangan Asia yaitu periode 1997-1999, sektor ekspor mencapai rata-rata 39% dari PDB. Hal ini menunjukkan ekonomi Indonesia semakin terbuka. Perhatikan bahwa pada tahun 1998 rasio ekspor terhadap PDB mencapai 53% karena sektor ekspor (eksternal) tidak mengalami resesi sedangkan ekonomi dalam negeri mengalami penurunan ekonomi. Sebaliknya pada tahun 2009 dan 2010 terjadi resesi pada sejumlah negara yang merupakan mitra dagang utama Indonesia sedangkan pertumbuhan ekonomi domestik masih cukup bagus yang didukung oleh konsumsi sehingga rasio ekspor relatif rendah (24%).
Gambar 6
Ekspor Barang dan Jasa (% PDB) 1980 – 2010
Sumber: BPS
Semakin terbuka suatu ekonomi, semakin rentan ekonomi tersebut terhadap guncangan ekonomi global. Dengan rasio ekspor terhadap PDB yang relatif rendah dibandingkan dengan negara-negara anggota ASEAN lainnya seperti Malaysia atau Singapura, guncangan terhadap ekonomi global tidak akan terlalu mempengaruhi ekonomi domestik.
Selain itu, semakin terdiversifikasi komposisi komoditas ekspor suatu negara, kerentanan eksternal akan semakin berkurang. Fluktuasi harga komoditas memiliki dampak yang besar pada terms of trade pada negara-negara yang tidak terdiversifikasi dengan baik dan jika sangat tergantung pada impor bahan baku, negara tersebut akan menghadapi masalah kesinambungan transaksi berjalan.
Diversifikasi produk ekspor Indonesia masih rendah. Pada tahun 1980-an Indonesia adalah negara yang ekonominya sangat tergantung pada minyak sehingga sangat rentan terhadap fluktuasi harga minyak. Saat ini peranan ekspor migas terhadap total ekspor sekitar 17%. Akan tetapi ekspor nonmigas yang mengambil peran sekitar 83% dari total ekspor masih mengandalkan produk unggulan komoditas seperti bahan bakar mineral (batu bara); lemak & minyak hewan/nabati (CPO); karet; bijih, kerak, dan abu logam; serta kayu. Tentunya kondisi ini sangat rentan terhadap fluktuasi harga komoditas sehingga bisa menganggu kesinambungan transaksi berjalan jika terjadi gejolak pada harga komoditas internasional.
4.4 Nilai Tukar Riil
Fleksibilitas nilai tukar dalam menghadapi guncangan eksternal bisa mempengaruhi kesinambungan transaksi berjalan. Pada rezim nilai tukar tetap cenderung menjadi target serangan spekulatif yang dapat memicu krisis keuangan.
Apresiasi nilai tukar rupiah dalam jangka pendek akan menyebabkan ketidakstabilan. Sedangkan apresiasi nilai tukar yang berkelanjutan akan menurunkan daya saing Indonesia yang akan memberikan tekanan terhadap transaksi berjalan. Apresiasi dapat memperparah ketidakseimbangan eksternal sehingga mengganggu kesinambungan transaksi berjalan.
Gambar 7 menunjukan nilai tukar riil rupiah terhadap US$ selama kurun waktu 1980-2010. Selama kurun waktu 1980-1989 terjadi dua kali devaluasi yaitu pada Maret 1983 dan September 1986 akibat krisis minyak yang menimbulkan tekanan pada neraca pembayaran (transaksi berjalan). Pada periode 1990-1996 nilai tukar riil relatif stabil dimana cadangan devisa digunakan untuk menstabilkan nilai tukar rupiah. Pada kurun waktu 1980-1996 nilai tukar riil mengalami depresiasi sehingga dapat mempertahankan daya saing produk Indonesia.
Pada episode 1997-1999 terjadi krisis keuangan Asia yang mengganggu kestabilan rupiah dan mendorong pemerintah mengadopsi nilai tukar mengambang agar cadangan devisa tidak terkuras habis untuk mempertahankan kestabilan rupiah. Pada periode 2000-2010 nilai tukar riil rupiah cenderung menguat (apresiasi). Kecenderungan apresiasi ini harus diwaspadai karena akan memperlemah daya saing sektor ekspor yang pada gilirannya akan menekan kinerja transaksi berjalan dan mengurangi cadangan devisa. Apresiasi rupiah menyebabkan barang-barang Indonesia lebih mahal sehingga berakibat penurunan ekspor; serta barang luar negeri lebih murah sehingga impor naik. Akibatnya adalah penurunan surplus transaksi berjalan atau defisit transaksi berjalan.
Gambar 7
Neraca Pembayaran, Nilai Tukar Riil Rp/USD dan Cadangan Devisa 1980-2010
Sumber: Bank Indonesia & CEIC
4.5 Tabungan dan Investasi Domestik
Persamaan (2) menunjukkan bahwa saldo transaksi berjalan merupakan selisih antara tabungan dan investasi domestik. Defisit transaksi berjalan disebabkan oleh tingkat tabungan domestik yang lebih rendah daripada tingkat investasi. Utang luar negeri dari defisit transaksi berjalan relatif aman sepanjang digunakan untuk membiayai investasi, bukan untuk konsumsi yang menurunkan tabungan. Tingkat investasi yang tinggi akan meningkatkan produktifitas dan ekspor.
Gambar 8 memperlihatkan celah tabungan-investasi (saving-investment gap) selama periode 1990-2010. Celah tabungan-investasi yang negatif hanya terjadi pada 1995-1997 dan 2003. Dalam kurun waktu 1995-1997 tersebut defisit transaksi berjalan mampu menutup celah tabungan-investasi yang negatif agar kebutuhan investasi terpenuhi.
Pasca krisis keuangan Asia 97/98 surplus transaksi berjalan menyebabkan kenaikan tabungan domestik sehingga celah tabungan-investasi menjadi positif. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 1 dimana pada episode 1990-1996, celah tabungan-investasi mencapai 1,2% dari PDB. Pada episode krisis keuangan Asia 1997-1999, celah tabungan-investasi meningkat menjadi 5,9% dari PDB (Hal ini terjadi karena kegiatan investasi menurun drastis selama krisis. Bahkan pada episode krisis keuangan global 2008-2010, celah tabungan-investasi masih positif cukup besar yaitu 2% dari PDB.
Perubahan celah tabungan-investasi dari negatif menjadi positif menunjukkan terjadinya penurunan investasi dari tingkat optimalnya walaupun setiap tahun investasi mengalami pertumbuhan. Turunnya investasi akan menyebabkan turunnya pendapatan nasional sehingga tabungan nasional juga lebih rendah dibanding tingkat optimalnya.
Gambar 8
Celah Tabungan-Investasi dan Transaksi Berjalan 1990-2010 (miliar Rp)
Sumber: Bank Indonesia, ADB, dan BPS
4.6 Surplus (Defisit) Fiskal
Defisit fiskal yang besar dan berkepanjangan akan menyebabkan akumulasi utang luar negeri pada tingkat yang tidak berkesinambungan. Gambar 9 menunjukkan surplus (defisit) APBN dan transaksi berjalan sebagai persentase dari PDB untuk periode 1980-2010. Selama kurun waktu yang panjang (1980-1997) Indonesia mengalami beberapa kali defisit kembar (twin deficits) yaitu defisit fiskal dan defisit transaksi berjalan secara bersamaan. Defisit kembar ini menyebabkan tingkat tabungan domestik relatif rendah dibandingkan terhadap tingkat investasi karena terjadi penurunan tingkat tabungan menyeluruh, hasil dari penurunan komponen tabungan publik yang disebabkan oleh defisit APBN selama periode tersebut.
Selama krisis keuangan Asia terjadi defisit fiskal yang signifikan terutama tahun 1999 yang mencapai 4% dari PDB, yang melebihi ambang batas defisit fiskal 3% PDB. Banyak pihak yang menyoroti masalah kesinambungan fiskal yang bisa mempengaruhi keberlangsungan pelaksanaan program-program dan proyek-proyek pemerintah. Beruntung bahwa defisit fiskal ini tidak diikuti oleh defisit transaksi berjalan. Selama episode krisis keuangan Asia, kinerja transaksi berjalan menunjukkan surplus yang cukup besar sehingga tidak sampai menimbulkan masalah defisit kembar.
Selama episode surplus transaksi berjalan 2000—07, pemerintah berhasil mengurangi defisit fiskal dari 2,4% (2001) menjadi 0,5% (2005). Akan tetapi pada 2007, defisit fiskal membengkak lagi menjadi 1,3%. Walaupun pemerintah belum berhasil membalik defisit fiskal menjadi surplus, kondisi ekonomi tidak memburuk karena didukung oleh kinerja transaksi berjalan yang mencatat surplus 2,8% PDB selama peride 2000—07. 
Krisis keuangan global 2008/09 mendorong pemerintah untuk menggelontorkan paket stimulus fiskal pada tahun 2009 untuk merangsang pertumbuhan ekonomi. Hasilnya adalah defisit fiskal kembali membengkak dari 0,1% (2008) menjadi 1,6% (2009).
Selama episode krisis keuangan global, transaksi berjalan mengalami defisit selama tiga triwulan berturut-turut yaitu triwulan II, III, dan IV dengan nilai defisit masing-masing sebesar US$1,0 miliar, US$0,97 miliar, dan US$0,64 miliar. Akan tetapi, keseluruhan tahun 2008 transaksi berjalan membukukan surplus 0,02% PDB.
Gambar 9
Surplus (Defisit) APBN dan Transaksi Berjalan 1980 – 2010 (% dari PDB)
Sumber: Kementerian Keuangan, BPS, dan BI
4.7 Pertumbuhan Ekonomi
Gambar 10 menunjukkan pada periode 1981-1997 pertumbuhan ekonomi domestik yang tinggi (rata-rata 6,1%) diringi oleh defisit transaksi berjalan rata-rata 2,9% dari PDB. Kesinambungan defisit transaksi berjalan akan tergantung pada selisih antara suku bunga utang luar negeri dan pertumbuhan PDB. Berdasarkan persamaan (5), jika g < i maka rasio utang terhadap PDB akan naik. Sebaliknya, jika g > i maka pertumbuhan ekonomi mampu mengatasi kenaikan stok utang luar negeri. Defisit transaksi berjalan akan berkesinambungan jika defisit tersebut tidak menghasilkan tumpukan utang.
Krisis keuangan Asia 97/98 memberikan gangguan yang cukup besar terhadap kesinambungan transaksi berjalan. Walaupun transaksi berjalan menunjukkan surplus 4% dari PDB pada tahun 1998 akan tetapi dengan pertumbuhan ekonomi yang negatif sebesar 13,1%, rasio utang luar negeri yang tinggi sebesar 146% dari PDB, rasio pembayaran utang luar negeri sebesar 58%, nilai tukar riil Rp/USD terdepresiasi 120%, surplus transaksi berjalan bisa dikatakan tidak berkesinambungan (unsustainable). Hal ini dapat dikonfirmasi dengan menggunakan persamaan (5) di mana pada tahun 1998 dan 1999 kondisi yang terjadi adalah g < i.[3]
Pasca krisis keuangan Asia, ekonomi Indonesia semakin pulih yang ditunjukkan oleh pertumbuhan ekonomi rata-rata sebesar 5,1% selama periode 2000-2007 yang dibarengi dengan surplus transaksi berjalan dengan rasio rata-rata terhadap PDB sebesar 2,8%. Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi ini menyebabkan rasio utang luar negeri terhadap PDB mengalami penurunan dari 104,3% pada periode 1997-1999 menjadi 62,1% pada periode 2000-2007. Penurunan rasio utang yang cukup signifikan ini terjadi karena pada periode 2000-2007 terdapat kondisi g > i.
Periode 2008-2010 ditandai oleh sejumlah krisis seperti krisis subprime mortgage di AS yang kemudian diikuti oleh krisis keuangan global dan krisis utang Eropa. Krisis yang melanda negara-negara maju ini telah memberi tekanan terhadap transaksi berjalan dimana surplus transaksi berjalan mengalami penurunan dari 2,8% dari PDB pada periode 2000-2007 menjadi 0,9% pada periode 2008-2010. Hal ini terjadi karena rasio ekspor terhadap PDB mengalami penurunan dari 33,7% (2000-2007) menjadi 26,2% (2008-2010). Yang menarik adalah pertumbuhan ekonomi masih cukup tinggi rata-rata sebesar 5,6% karena ditopang oleh konsumsi dalam negeri yang masih cukup kuat. Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi ini juga berdampak pada turunnya rasio utang luar negeri menjadi 30,1% yang berada pada posisi yang mendukung kesinambungan transaksi berjalan.
Gambar 10
Pertumbuhan Ekonomi dan Transaksi Berjalan 1980-2010
Sumber: BPS dan BI
4.8 Dampak Transaksi Modal dan Finansial pada Kesinambungan Transaksi Berjalan
Indonesia telah menerapkan rezim devisa bebas sejak 1970 yang membuka secara lebar transaksi modal dan finansial. Keterbukaan ini pada satu sisi berdampak positif bagi Indonesia dalam hal meningkatnya kepercayaan investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Tetapi, pada sisi yang lain, keterbukaan ini akan menyebabkan ekonomi Indonesia lebih rentan terhadap gejolak pasar finansial global.
Beberapa paket kebijakan reformasi sektor moneter dan finansial dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia dalam rangka memobilisasi dana bagi sektor swasta dan meningkatkan efisiensi pasar keuangan yang akan mengurangi biaya transaksi dan ketergantungan bantuan asing. Paket pertama adalah paket Juni 1983 yang menghilangkan batas atas kredit bank, membiarkan suku bunga bergerak mengikuti kekuatan pasar, memberikan peran yang lebih besar kepada bank swasta, menghidupkan kembali pasar saham. Paket Oktober 1988 mereformasi perbankan dan deregulasi dengan menghilangkan hambatan masuk kedalam industri perbankan (Deregulasi perbankan). Paket Desember 1988 mengatur kegiatan lembaga keuangan bukan bank, membolehkan investor asing masuk ke perusahaan sekuritas, dan membatasi perlakuan khusus pada bank investasi BUMN.
Komposisi transaksi modal dan finansial sangat penting dalam menentukan kesinambungan transaksi berjalan. Arus masuk modal yang bersumber dari investasi portofolio cenderung lebih bergejolak dibandingkan dengan investasi langsung karena investasi portofolio cenderung merupakan arus masuk modal jangka pendek (hot money). Defisit transaksi berjalan yang dibiayai oleh investasi langsung cenderung lebih berkesinambungan dibandingkan investasi portofolio yang bisa berbalik arah menjadi arus keluar modal jika kondisi pasar keuangan bergejolak. Selain itu, utang luar negeri yang bersumber dari negara-negara kreditor dan lembaga keuangan multilateral (sektor publik) cenderung lebih aman dibandingkan arus modal dari sektor swasta.
Gambar 11 menunjukkan bahwa sebelum krisis Asia, defisit transaksi berjalan ditopang oleh investasi langsung yang positif. Pasca krisis Asia, surplus transaksi berjalan diikuti oleh investasi langsung yang negatif.[4] Selama periode 1992-1996[5] investasi portofolio menunjukkan arus masuk modal yang semakin besar dari US$1,0 miliar (1992) menjadi US$5,0 miliar (1996). Akan tetapi krisis keuangan Asia menyebabkan terjadinya pembalikan arus modal sehingga selama periode 1997-2001 terjadi arus keluar modal. Dengan semakin pulihnya ekonomi, investasi portofolio kembali positif pada tahun 2002. Selama krisis keuangan global, investasi portofolio mengalami penurunan sebesar 68% dari US$5,6 miliar (2007) menjadi US$1,8 miliar (2008). Pada tahun 2009 investasi portofolio mengalami peningkatan yang sangat besar 486% dengan nilai US$10,3 miliar dan pada tahun 2010 investasi portofolio masih meningkat sebesar 47% menjadi US$15,2 miliar.
Selama 1980-1989 investasi langsung membukukan surplus walaupun surplus masih di bawah US$1,0 miliar setiap tahunnya. Mulai tahun 1990 surplus investasi langsung mampu melampaui US$1,0 miliar yaitu sebesar US$1,1 miliar. Nilai ini terus mengalami peningkatan dan mencapai puncaknya pada 1996 dengan nilai US$6,2 miliar
Akan tetapi krisis keuangan Asia menyebabkan terjadi penurunan investasi langsung. Pada tahun 1997 nilai investasi langsung masih positif US$4,7 miliar. Untuk pertama kalinya pada tahun 1998 investasi langsung membukukan nilai negatif sebesar US$0,21 miliar dan mencapai puncaknya pada tahun 2000 dengan nilai defisit US$4,5 miliar. Tren investasi langsung yang negatif terus berlangsung hingga tahun 2001. Walapun tahun 2002 investasi langsung sempat positif, pada tahun 2003 dan 2004 investasi langsung kembali negatif. Baru pada tahun 2005 investasi langsung mencatat surplus cukup besar US$5,3 miliar. Kinerja investasi langsung selama 2006-2009 masih belum memuaskan dengan hanya membukukan surplus rata-rata per tahun sebesar US$2,5 miliar. Akan tetapi memasuki tahun 2010 kinerja investasi langsung mengalami kenaikan yang signifikan sebesar 274% menjadi US$9,8 miliar.
Untuk investasi lainnya, selama kurun waktu 1980-1993 mencata arus masuk modal yang cukup besar setiap tahun dengan nilai rata-rata sebesar US$3,3 miliar. Sebagian besar arus masuk modal ini bersumber dari pinjaman luar negeri pemerintah dan swasta. Akan tetapi sejak 1996 sampai dengan 2009 investasi langsung menunjukkan arus keluar modal (defisit) yang semakin besar dari US$0,3 miliar (1996) menjadi US$8,1 miliar (2009). Sumber arus keluar modal ini adalah pelunasan pokok utang luar negeri pemerintah dan swasta yang jatuh tempo. Akan tetapi memasuki tahun 2010 kinerja investasi lainnya mengalami pembalikan menjadi surplus US$1,1 miliar.
Aliran masuk modal melalui transaksi modal dan finansial seperti pedang bermata dua, di satu sisi aliran masuk modal diperlukan untuk menyeimbangkan defisit transaksi berjalan, tetapi di sisi yang lain aliran masuk modal memiliki potensi atas aliran keluar yang besar di masa depan dalam bentuk pembayaran bunga, laba, dan dividen yang akan dicatat pada neraca pendapatan (income balance) sehingga akan memberikan tekanan pada transaksi berjalan. Misalkan pada tahun 2010 transaksi modal dan finansial mengalami surplus sebesar US$26,2 miliar atau naik sebesar 424% dari tahun 2009 sebesar US$5,0 miliar. Kenaikan surplus ini juga diikuti oleh kenaikan defisit neraca pendapatan dari US$15,1 miliar pada tahun 2009 menjadi US$20,3 miliar pada tahun 2010 atau naik sebesar 34%. Tekanan pada transaksi berjalan ini yang akan berpotensi menuju defisit transaksi berjalan yang akan memberikan sinyal negatif kepada investor asing karena defisit transaksi berjalan yang semakin melebar menunjukkan risiko investasi yang semakin besar.
Gambar 11
Transaksi Berjalan dan Investasi 1980 – 2010 (US$ juta)
Sumber: Bank Indonesia
Ringkasan indikator ekonomi makro yang mempengaruhi kesinambungan transaksi berjalan dapat dilihat pada Tabel 2. Terdapat tahun dan periode dimana kesinambungan transaksi berjalan mengalami gangguan karena indikator yang melewati tanda bahaya. Defisit transaksi berjalan yang melewati ambang batas bahaya 4%-5% terjadi pada tahun 1982 dengan defisit 5,6%, tahun 1983 (7,4%), dan tahun 1986 (4,9%). Defisit fiskal yang melewati batas bahaya 3% terjadi pada tahun 1986 dengan defisit 3,6% dan tahun 1999 (4,0%). Defisit kembar (twin deficit) terjadi pada periode 1981-1989 dan 1991-1993. Rasio utang luar negeri yang melewati ambang batas bahaya terjadi pada periode 1986-1995 dan 1997-2004. Rasio pembayaran utang luar negeri yang melewati tanda bahaya terjadi pada periode 1984-2004, tahun 2006 dan 2009-2010.
Tabel 2 Indikator Kesinambungan Transaksi Berjalan
Sumber: Kementerian Keuangan, BPS, BI, dan ADB
4.9 Prospek Kesinambungan Transaksi Berjalan
Surplus transaksi berjalan diperkirakan menyempit pada tahun 2011. Dengan pertumbuhan ekonomi yang semakin tinggi, pembalikan dari surplus menuju defisit transaksi berjalan diperkirakan mulai terjadi pada tahun 2012. Untuk melihat tingkat defisit transaksi berjalan yang diperkirakan aman untuk mencapai pertumbuhan 7%, kita dapat menggunakan persamaan (6). Dengan menggunakan proksi r adalah selisih antara suku bunga acuan Bank Indonesia (BI rate) dengan suku bunga acuan bank sentral AS (Fed fund rate) sebesar 6,5 persen, PDB deflator sebesar 10 persen, dan rasio utang luar negeri terhadap PDB yang cukup aman sebesar 30%, defisit transaksi berjalan akan berada pada tingkat 3,15% dari PDB. Transaksi berjalan tetap berkesinambungan (sustainable) walaupun defisit sebesar 3,15% dari PDB karena rasio utang luar negeri terhadap PDB yang masih berada pada level yang aman (lebih rendah daripada tingkat bahaya 50%-80%)
Di lain pihak, pembalikan dari surplus menjadi defisit transaksi berjalan tentu menimbulkan kekhawatiran. Beberapa indikator kesinambungan transaksi berjalan masih dalam posisi yang mengkhawatirkan seperti rasio pembayaran utang luar negeri yang masih tinggi, rasio ekspor yang masih rendah, dan nilai tukar riil yang mengalami apresiasi. Defisit transaksi berjalan ini juga merupakan risiko besar bagi posisi cadangan devisa. Akan tetapi sepanjang defisit ini bersumber dari kenaikan impor barang modal yang akan digunakan untuk investasi jangka panjang, kekhawatiran tersebut tidak perlu terjadi karena investasi ini akan mendorong pertumbuhan ekonomi lebih pesat sehingga lebih banyak lapangan pekerjaan yang tersedia.
V. PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Kesinambungan transaksi berjalan dipengaruhi oleh beberapa faktor ekonomi seperti utang luar negeri, beban pembayaran utang luar negeri, ekspor, nilai tukar riil, tabungan dan investasi domestik, surplus (defisit) fiskal, serta arus masuk modal. Berdasarkan hasil analisa pada bagian IV, dapat disimpulkan bahwa kesinambungan transaksi berjalan selama periode 1980-2010 mengalami beberapa gangguan yang ditunjukkan oleh beberapa indikator kesinambungan transaksi berjalan dalam posisi yang mengkhawatirkan seperti rasio utang luar negeri, rasio pembayaran utang luar negeri yang masih tinggi, rasio ekspor yang masih rendah, dan nilai tukar riil yang mengalami apresiasi.
5.2 Rekomendasi Kebijakan
Di bawah ini adalah beberapa rekomendasi kebijakan yang dapat diberikan untuk meningkatkan kesinambungan transaksi berjalan:
a.       Iklim investasi harus terus diperbaiki terutama ketersediaan infrastruktur untuk menarik investasi langsung di Indonesia (FDI). Selain itu, kinerja peringkat utang Indonesia harus selalu ditingkatkan untuk menarik arus masuk modal asing baik jangka pendek maupun jangka panjang.
b.      Arus masuk modal yang besar perlu mendapat perhatian bukan hanya karena potensi pembalikan yang tiba-tiba (sudden reversal) tetapi juga potensi yang akan memberikan tekanan pada transaksi berjalan melalui defisit neraca pendapatan yang semakin membesar.
c.       Diversifikasi produk ekspor harus terus ditingkatkan untuk mengurangi risiko yang bersumber dari volatilitas harga komoditas.

DAFTAR PUSTAKA
Bank Indonesia, Neraca Pembayaran Indonesia dan Posisi Investasi Internasional Indonesia: Konsep, Sumber Data, dan Metode, Jakarta: Direktorat Statistik Ekonomi dan Moneter, Bank Indonesia, 2008.
International Monetary Fund (IMF), Balance of Payments Textbook, Washington, DC, USA: IMF, 1996.
Mann, C.L., Perspectives on the U.S. Current Account Deficit and Sustainability, The Journal of Economic Perspectives, Vol. 16, No. 13 (Summer, 2002), 131-152.
Milesi-Ferretti, G.M. dan Razin, A., Current Account Sustainability: Selected East Asian and Latin American Experiences, NBER Working Paper 5791, October 1996.
Ogus, Ayla dan Niloufer Sohrabji, An Intertemporal Benchmark Model for Turkey’s Current Account, Working Paper # 06/01, July 2006, Izmir University of Economics.
Opoku-Afari, Maxwell, Capital Flows and Current Account Sustainability: The Ghanaian Experience, CREDIT Research Paper No. 07/07, Centre for Research in Economic Development and International Trade, University of Nottingham, 2005.



[2] Bom minyak terjadi dua kali saat harga minyak dunia meningkat dari US$1,67/barel pada 1970 menjadi US$11,7/barel pada 1973 dari dari US$15,65/barel pada 1979 menjadi US$29,5/barel-US$35/barel selama kurun waktu 1980-1982.
[3] g adalah pertumbuhan PDB riil dan i diproksikan dengan menggunakan suku bunga LIBOR USD 12 bulan yang di-riil-kan dengan menggunakan tingkat inflasi Amerika Serikat.
[4] Investasi langsung pada neraca pembayaran meliputi investasi langsung bukan penduduk di Indonesia dan investasi langsung penduduk di luar negeri. Investasi langsung (neto) negatif berarti lebih banyak penduduk yang melakukan investasi langsung di luar negeri.
[5] Data investasi portofolio periode 1980-1991 tidak tersedia.

No comments: