SUSTAINABILITY
ANALYSIS OF INDONESIAN CURRENT ACCOUNT BALANCE:
1980-2010
Abstract
This paper attempt to analyze the sustainability of current account in
Indonesia. Sustainability analysis of current account is conducted by analysing
factors affecting the sustainability of current account for some particular
periods. The factors affecting current account sustainability include external
debt, debt service ratio, export, real exchange rate, domestic saving and
investment, fiscal surplus deficit, economy growth, and capital inflow. The
result shows that during period of 1980-2010 current account sustainability
facing some disturbances indicated by some factors affecting current account
sustainability are lying above the warning level.
Keywords: current account sustainability, balance of payment, external sector,
Indonesia
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kinerja transaksi
berjalan yang masih surplus pada 1980 mulai berbalik arah menjadi defisit. Pada
awal tahun 1980-an pendapatan minyak mengalami penurunan karena runtuhnya pasar
minyak dunia saat harga minyak jatuh pada tahun 1983 dan 1986. Krisis minyak
ini menimbulkan tekanan pada neraca pembayaran di mana transaksi berjalan mencatat defisit pada periode 1981-1991. Untuk
mengurangi dampak negatif krisis minyak tersebut terhadap ekonomi nasional, di
bidang manajemen nilai tukar, pemerintah mendevaluasi nilai tukar rupiah
terhadap US$ sebanyak dua kali yaitu pada Maret 1983 dan September 1986.
Krisis Keuangan
Asia yang menyerang Indonesia pada Juli 1997 juga telah memberikan tekanan pada
transaksi berjalan sehingga rupiah dibiarkan mengambang pada tahun yang sama. Sebelum
Krisis Keuangan Asia 97/98, kinerja transaksi berjalan selalu defisit untuk
mendukung pertumbuhan ekonomi domestik yang sangat pesat dimana selama periode
1992-1996 PDB mengalami pertumbuhan rata-rata 7,3%. Sumber defisit transaksi
berjalan berasal dari surplus neraca perdagangan yang rendah di bawah US$10
miliar serta defisit neraca jasa-jasa dan pendapatan. Trauma krisis mendorong
negara-negara Asia mengakumulasi cadangan devisa, tanpa kecuali Indonesia yang
mengakumulasi cadangan devisa melalui kinerja transaksi berjalan yang surplus
yang bersumber dari surplus neraca perdagangan.
Pasca krisis
keuangan Asia, kinerja transaksi berjalan dihadapkan oleh beberapa peristiwa
penting. Pada tahun 2004 Indonesia menjadi negara pengimpor bersih minyak
mentah yang diikuti dengan kenaikan harga BBM dua kali selama tahun 2005.
Pertama, pada 1 Maret 2005 harga BBM dinaikkan dengan kenaikan rata-rata 29%
dan kedua, pada 1 Oktober 2005 harga BBM dinaikan dengan kenaikan rata-rata
114%. Kemudian krisis keuangan global yang terjadi pada tahun 2008/2009 serta
masih dirasakan hingga 2010 sangat mempengaruhi kinerja transaksi berjalan.
Krisis keuangan
global yang semakin dalam sejak September 2008 memberikan tekanan yang cukup
signifikan pada kinerja Neraca Pembayaran Indonesia (NPI). Selama 2008 NPI mengalami defisit sebesar US$1,9 miliar, berbeda dari
tahun 2007 yang mencatat surplus US$12,7 miliar. Namun demikian, transaksi
berjalan masih mampu mencatat surplus sebesar US$0,1 miliar atau turun dibandingkan
surplus pada 2007 yang sebesar US$10,5
miliar.
Pada 2008, defisit transaksi transaksi berjalan terjadi selama tiga
triwulan berturut-turut yaitu triwulan II, III, dan IV dengan nilai defisit
masing-masing sebesar US$1,0 miliar, US$0,97 miliar, dan US$0,64 miliar. Ini
merupakan defisit transaksi transaksi berjalan yang pertama kali terjadi dimana
sejak triwulan II 2004 s.d. triwulan I 2008 transaksi berjalan selalu
membukukan surplus.
Sementara itu, transaksi modal dan finansial mengalami defisit US$1,8
miliar, setelah pada tahun 2007 mencatat surplus sebesar US$3,6 miliar. Sejalan
dengan perkembangan di atas, jumlah cadangan devisa pada akhir periode turun sebesar
US$5,3 miliar dari US$56,9 miliar menjadi US$51,6 miliar.
Seiring dengan membaiknya prospek ekonomi global dan domestik, kinerja
neraca pembayaran tahun 2009 dan 2010 mengalami perbaikan. Transaksi berjalan
pada tahun 2009 dan 2010 masing-masing mencatat surplus US$10,2
miliar dan US$6,3 miliar. Neraca transaksi modal dan finansial pada tahun 2009 dan
2010 masing-masing mencatat surplus sebesar US$5,0 miliar dan US$26,2 miliar.
Transaksi berjalan selalu menjadi perhatian serius pemerintah karena jika terjadi tekanan pada
transaksi berjalan akan mempengaruhi posisi cadangan devisa yang pada gilirannya bisa
mengganggu stabilitas nilai
tukar rupiah. Sehungan dengan hal tersebut di atas, penulis ingin menganalisis
kenimbungan (sustainability) transaksi
berjalan di Indonesia selama periode 1980-2010, serta memberikan kesimpulan dan
rekomendasi sebagai bahan masukan bagi pembuatan kebijakan di bidang transaksi
berjalan.
1.2. Permasalahan
Pokok permasalahan dalam tulisan ini adalah apakah kondisi transaksi berjalan di Indonesia selama periode 1980-2010 telah menunjukkan kesinambungan sehinga
mampu memberikan sumbangan yang positif pada ekonomi domestik? Pada periode yang mana kesinambungan
transaksi berjalan mengalami tekanan? Faktor-faktor apa saja yang dapat
mempengaruhi kesinambungan transaksi berjalan?
1.3.Tujuan Penulisan
Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui kesinambungan transaksi berjalan di
Indonesia selama periode 1980-2010, serta memberikan usulan rekomendasi bagi
kebijakan di bidang transaksi berjalan.
1.4. Metode Penelitian
Analisis kesinambungan
transaksi berjalan dilakukan dengan
menggunakan pendekatan
analisis deskriptif. Data yang digunakan adalah data sekunder yang
bersumber dari Kementerian Keuangan, Bank
Indonesia, IMF, Bank Dunia, ADB, CEIC
dan Bloomberg. Untuk melengkapi analisis, juga dipergunakan data kualitatif
yang dikumpulkan dari berbagai sumber seperti makalah ilmiah, majalah, surat
kabar maupun sumber lainnya yang relevan.
II. KERANGKA TEORI
2.1. Pengertian Neraca
Pembayaran dan Transaksi Berjalan
IMF (1996) mendefinisikan neraca pembayaran (balance of payment (BOP)) sebagai laporan statistik yang meringkas
secara sistematis, selama periode waktu tertentu, transaksi ekonomi suatu
negara dengan negara-negara lainnya. Transaksi antara penduduk (residents) dengan bukan penduduk (nonresidents) meliputi barang, jasa,
pendapatan, tranfer serta klaim finansial atas dan kewajiban finansial kepada
negara-negara lain.
Tujuan pembuatan statistik Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) adalah untuk
memperoleh informasi tentang: (1) peranan dan dampak sektor eksternal terhadap
perekonomian domestik; (2) aliran sumber daya dari/ke negara lain; (3) struktur
ekonomi dan perdagangan internasional; (4) permasalahan utang luar negeri baik
pemerintah maupun swasta; (5) perubahan posisi cadangan devisa dan potensi
tekanan terhadap nilai tukar; (6) sumber data dan informasi untuk menyusun
angaran devisa; serta (7) sumber data dalam penyusunan statistik neraca
nasional (Bank Indonesia 2008).
Menurut Bank Indonesia
(2008) transaksi berjalan (current
account) mengukur penerimaan dan pengeluaran Indonesia yang berasal dari
transaksi barang dan jasa (goods and
services), pendapatan (income),
dan transfer berjalan (current transfer)
dengan bukan penduduk. Komponen transaksi berjalan adalah neraca perdagangan,
jasa-jasa, pendapatan, dan transfer berjalan.
Neraca perdagangan adalah transaksi ekspor dan impor barang (komoditas).
Sedangkan ekspor dan impor jasa masuk ke dalam neraca jasa-jasa. Neraca jasa-jasa meliputi transaksi penyediaan jasa oleh penduduk kepada
bukan penduduk (arus masuk) dan oleh bukan penduduk kepada penduduk (arus
keluar).
Jasa adalah transaksi penyediaan jasa antara
penduduk dan bukan penduduk. Ada 11 jenis jasa yang tercantum dalam Neraca
Pembayaran Indonesia (NPI) yaitu jasa transportasi, travel, jasa komunikasi,
jasa kontruksi, jasa asuransi, jasa keuangan, jasa komputer dan informasi,
royalti dan imbalan lisensi, jasa personal, kultural, dan rekreasi, jasa
pemerintah, dan jasa bisnis lainnya.
Pendapatan adalah hasil yang timbul dari penyediaan
faktor produksi tenaga kerja dan modal finansial. Pendapatan terdiri dari
kompensasi tenaga kerja (compensation of
employees) dan pendapatan investasi (investment
income). Kompensasi tenaga kerja bersumber dari pekerja musiman yang
bekerja kurang dari satu tahun. Pendapatan investasi terbagi tiga yaitu
pendapatan investasi langsung (direct
investment income), pendapatan investasi portofolio (portfolio investment income), dan pendapatan investasi lainya (other investment income).
Transfer berjalan mencatat transaksi sepihak yang melibatkan penyerahan
sumber daya tanpa timbal balik (contoh hadiah atau hibah). Unsur terbesar pada
neraca transfer berjalan adalah remitansi tenaga kerja (workers’ remittances). Transfer ini adalah transfer tenaga kerja
Indonesia (TKI) di luar negeri.
2.2. Hubungan Neraca Pembayaran dan Neraca Pendapatan Nasional
Posisi surplus atau defisit transaksi berjalan dapat dilihat dari hubungan
antara neraca pembayaran dan pendapatan nasional. Neraca pendapatan nasional (national account) dapat ditulis dalam persamaan identitas berikut:
![](file:///C:\Users\lenovo\AppData\Local\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image002.gif)
di mana Y = Produk domestik bruto, C = konsumsi swasta, G = konsumsi pemerintah, I = pembentukan modal tetap bruto, dan X
- M = neraca perdagangan
barang & jasa.
Dengan asumsi transaksi berjalan (CA)
hanya merupakan neraca perdagangan barang & jasa, persamaan (1) dapat
disusun ulang menjadi:
![](file:///C:\Users\lenovo\AppData\Local\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image004.gif)
Kemudian, disusun ulang sebagai berikut:
![](file:///C:\Users\lenovo\AppData\Local\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image006.gif)
Jika
, dimana S = Tabungan, sehingga dapat diperoleh:
![](file:///C:\Users\lenovo\AppData\Local\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image008.gif)
![](file:///C:\Users\lenovo\AppData\Local\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image010.gif)
![](file:///C:\Users\lenovo\AppData\Local\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image012.gif)
Persamaan (2) merupakan
persamaan identitas yang menunjukkan bahwa jika terjadi surplus
transaksi berjalan, investasi lebih kecil daripada tabungan, sehingga
kebutuhan investasi dapat ditutup melalui tabungan. Sedangkan pada kondisi defisit transaksi berjalan,
investasi lebih besar daripada tabungan. Untuk kebutuhan investasi yang besar
sedangkan tabungan domestik tidak mencukupi untuk menutup kebutuhan
investasi tersebut,
diperlukan sumber pendanaan dari luar negeri. Sumber pendanaan luar negeri
dalam bentuk utang ini akan dicatat pada pos transaksi finansial. Adapun
hubungan antara transaksi berjalan dan transaksi finansial adalah:
CA + KFA =
Saldo Neraca Pembayaran = Perubahan
Cadangan Devisa ............................(3)
Persamaan (3) memiliki arti sebagai berikut: jika Saldo Neraca Pembayaran surplus maka cadangan devisa akan bertambah. Sebaliknya jika Saldo Neraca Pembayaran mengalami
defisit maka cadangan devisa akan berkurang.
2.3. Pengertian
Kesinambungan Transaksi Berjalan
Milesi-Ferretti dan Razin (1996) merumuskan kesinambungan (sustainability) transaksi berjalan
sebagai berikut: jika kebijakan saat ini tetap dipertahankan, apakah titik
balik dari defisit perdagangan menuju surplus perdagangan terjadi dengan lancar
(yaitu, tanpa perubahan besar pada konsumsi dan kegiatan ekonomi)? Jika
jawabannya ya, maka kebijakan saat ini
berkesinambungan (sustainable).
Sebaliknya, jika kebijakan saat ini pada akhirnya akan menyebabkan pergeseran
kebijakan yang drastik (besar) untuk membalik posisi neraca perdagangan
(seperti kebijakan pengetatan secara mendadak menyebabkan resesi), atau menuju
krisis keuangan (seperti kejatuhan nilai tukar sehingga tidak mampu membayar
utang luar negeri yang jatuh tempo), kita menghadapi masalah ketidaksinambungan
(unsustainability).
Milesi-Ferretti dan Razin (1996) juga menyebutkan beberapa indikator
ekonomi makro yang dapat digunakan sebagai indikator kesinambungan transaksi berjalan.
Indikator tersebut adalah pertama, indikator struktural yang meliputi (a) tabungan
dan investasi, (b) pertumbuhan ekonomi, (c) keterbukaan dan perdagangan, (d) komposisi
kewajiban eksternal, (e) struktur finansial, dan (f) rejim transaksi modal. Kedua,
indikator kebijakan makroekonomi yang terdiri dari (a) tingkat fleksibilitas
nilai tukar dan kebijakan nilai tukar dan (b) saldo fiskal. Ketiga, indikator
yang menunjukkan ketidakstabilan politik, ketidakpastian kebijakan, dan
kredibilitas. Terakhir, indikator yang mencerminkan ekspektasi pasar.
Menurut Mann (2002) defisit transaksi berjalan akan berkesinambungan jika
arus masuk modal asing maupun posisi investasi internasional bersih yang
negatif tidak cukup besar untuk
mendorong perubahan signifikan pada variabel ekonomi, seperti konsumsi,
investasi, suku bunga atau nilai tukar.
Menurut Opoku-Afari (2005) ada dua model kesinambungan transaksi berjalan.
Model pertama adalah Optimal Benchmark
Inter-Temporal Model yang digunakan untuk memproyeksikan transaksi berjalan
yang optimal (yang menjadi acuan) dan membandingkannya dengan transaksi
berjalan aktual untuk menilai apakah terdapat deviasi besar dan apakah deviasi
ini bersifat sistemik. Model yang menggunakan fungsi utilitas intertemporal
seseorang (yang memperlihatkan ekspektasi rasional) pada ekonomi terbuka yang
kecil tanpa hambatan likuiditas (kemampuan meminjam dan meminjamkan untuk menghaluskan
konsumsi) disajikan dalam persamaan matematika berikut ini:
![](file:///C:\Users\lenovo\AppData\Local\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image014.gif)
dimana
adalah transaksi
berjalan optimal,
adalah operator
ekspektasi, r adalah suku bunga utang
luar negeri,
adalah arus kas
nasional bersih yang diperoleh dari rumus
dimana
pendapatan nasional
kotor riil,
investasi riil, dan
konsumsi pemerintah
riil. Persamaan (4) menunjukkan bahwa sebuah ekonomi akan mempunyai surplus
transaksi berjalan jika ekonomi tersebut mengharapkan arus kas bersihnya akan
turun temporer di masa depan. Sebaliknya ekonomi akan mencatat defisit
transaksi berjalan jika arus kas berih akan naik secara temporer di masa
datang. Jika defisit transaksi berjalan aktual secara signifikan lebih tinggi
daripada defisit transaksi berjalan optimal maka defisit transaksi berjalan
tersebut tidak berkesinambungan (unsustainable)
(Ogus dan Sohrabji, 2006).
![](file:///C:\Users\lenovo\AppData\Local\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image016.gif)
![](file:///C:\Users\lenovo\AppData\Local\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image018.gif)
![](file:///C:\Users\lenovo\AppData\Local\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image020.gif)
![](file:///C:\Users\lenovo\AppData\Local\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image022.gif)
![](file:///C:\Users\lenovo\AppData\Local\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image024.gif)
![](file:///C:\Users\lenovo\AppData\Local\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image026.gif)
![](file:///C:\Users\lenovo\AppData\Local\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image028.gif)
Model kedua adalah pendekatan akuntansi untuk kesinambungan transaksi
berjalan (accounting approach to current
account sustainability) yang memfokuskan pada analisis rasio utang terhadap
PDB. Secara matematis, model ini disajikan sebagai berikut:
![](file:///C:\Users\lenovo\AppData\Local\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image030.gif)
dimana
adalah rasio utang
terhadap PDB,
adalah suku bunga,
adalah tingkat pertumbuhan
PDB, dan
adalah rasio neraca
perdagangan terhadap PDB. Persamaan (5) menunjukkan bahwa jika neraca
perdagangan seimbang (x – m = 0),
perubahan rasio utang terhadap PDB akan tergantung pada selisih antara suku
bunga utang luar negeri dan pertumbuhan PDB. Jika g < i maka rasio utang terhadap PDB akan naik. Sebaliknya, jika g > i maka pertumbuhan ekonomi mampu
mengatasi kenaikan stok utang luar negeri. Transaksi berjalan akan
berkesinambungan jika defisit tersebut tidak menghasilkan tumpukan utang (yaitu
dengan mempertahankan rasio utang tertentu), yang berarti bahwa neraca
perdagangan harus surplus agar cukup untuk menutup pertumbuhan stok utang.
![](file:///C:\Users\lenovo\AppData\Local\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image032.gif)
![](file:///C:\Users\lenovo\AppData\Local\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image026.gif)
![](file:///C:\Users\lenovo\AppData\Local\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image028.gif)
![](file:///C:\Users\lenovo\AppData\Local\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image036.gif)
Dengan menggunakan pendekatan akuntansi untuk kesinambungan transaksi
berjalan, Yoshitomi, Liu, dan
Thorbecke (2005) menggunakan persamaan
berikut untuk menganalisis kesinambungan defisit transaksi berjalan:
![](file:///C:\Users\lenovo\AppData\Local\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image038.gif)
dimana n* adalah rasio utang luar negeri neto terhadap
PDB dalam jangka panjang, c adalah
rasio defisit transaksi berjalan terhadap PDB, g adalah pertumbuhan PDB nominal, dan r adalah suku bunga nominal neto atas utang luar negeri neto.
III. KINERJA TRANSAKSI
BERJALAN 1980-2010
Kinerja transaksi berjalan yang ditunjukkan oleh surplus atau defisit dapat
berdampak positif atau negatif terhadap kesinambungan transaksi berjalan. Defisit
transaksi berjalan akan menambah utang luar negeri. Jika defisit transaksi
berjalan digunakan untuk investasi maka selain akan meningkatkan pertumbuhan
ekonomi, hasil investasi dapat digunakan untuk melunasi utang luar negeri
sehingga stok utang luar negeri tidak semakin membesar sehingga kesinambungan transaksi
berjalan dapat terjaga. Akan tetapi jika defisit transaksi berjalan digunakan
untuk konsumsi, defisit transaksi berjalan akan menambah stok utang luar negeri
sehingga dapat menganggu kesinambungan transaksi berjalannya. Sebaliknya
surplus transaksi berjalan akan mengurangi utang luar negeri dan meningkatkan
tabungan. Akan tetapi tingkat tabungan yang semakin meningkatkan menunjukkan
indikasi bahwa tingkat investasi masih di bawah tingkat optimal sehingga
pertumbuhan ekonomi tidak akan mencapai tingkat optimalnya.
Gambar 1 menunjukkan kinerja neraca pembayaran Indonesia periode 1980-2010.
Selama periode 1980-1997 transaksi berjalan selalu mencatat defisit kecuali
pada tahun 1980 yang mencatat surplus. Selama Krisis Asia 97/98, defisit transaksi berjalan semakin membesar.
Trauma krisis menyebabkan negara-negara Asia termasuk Indonesia mengakumulasi
cadangan devisa melalui surplus transaksi berjalan. Kondisi yang berbeda
terjadi pada periode 1998-2010 dimana transaksi berjalan mampu membukukan
surplus yang cukup besar. Gambar 1 memperlihatkan bahwa transaksi berjalan
adalah gambar cermin (mirror image)
dari transaksi modal dan finansial. Atau dengan kata lain, surplus transaksi
modal dan finansial diperlukan untuk membiayai defisit transaksi berjalan dan
sebaliknya surplus transaksi berjalan digunakan untuk menutup defisit transaksi
modal dan finansial.
Gambar 1
Neraca Pembayaran
Indonesia 1980 – 2010 (US$ juta)
![](file:///C:\Users\lenovo\AppData\Local\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image040.gif)
Sumber: Bank Indonesia
Sebelum krisis keuangan Asia 97/98, sumber defisit transaksi berjalan
bersumber dari defisit neraca jasa-jasa dan pendapatan yang melebihi surplus
neraca perdagangan. Setelah krisis Asia, surplus transaksi berjalan bersumber dari
surplus neraca perdagangan (Gambar 2). Neraca perdagangan selama kurun waktu
1980-2010 menunjukkan kinerja yang baik dengan menyumbangkan surplus pada
transaksi berjalan. Sampai dengan tahun 1996 nilai neraca perdagangan masih
berada pada tingkat di bawah US$10 miliar. Sejak 1997 neraca perdagangan terus mengalami
peningkatan yang pesat hingga berada di atas US$10 miliar dengan puncaknya pada
tahun 2010 dengan nilai US$31,1 miliar.
Sementara itu neraca jasa-jasa dan pendapatan menunjukkan defisit yang
semakin membesar. Defisit transaksi berjalan yang terjadi selama periode
1981-1997 bersumber dari defisit yang terjadi pada neraca jasa-jasa dan neraca
pendapatan. Neraca jasa-jasa secara historis selalu defisit yang menunjukkan
sektor jasa Indonesia belum mampu melakukan ekspor jasa yang cukup signifikan
untuk membalik menjadi surplus, bahkan defisit cenderung semakin membesar. Sebelum
tahun 2000, defisit neraca jasa-jasa masih di bawah US$10 miliar akan tetapi
defisit tersebut semakin membesar dari US$9,8 miliar (2000) menjadi US$13,0 miliar
(2009), walaupun terjadi sedikit penurunan pada tahun 2009 dan 2010
masing-masing sebesar US$9,7 miliar dan US$9,5 miliar.
Hal yang sama juga terjadi pada neraca pendapatan yang secara historis
menunjukkan defisit yang semakin membesar. Hal ini disebabkan oleh semakin
besarnya kepemilikan asing di Indonesia. Sebelum tahun 2004 defisit neraca
pendapatan masih di bawah US$10 miliar dan terus membesar dari US$10,9 miliar
(2004) menjadi US$20,3 miliar (2010).
Gambar 2
Komponen Transaksi
Berjalan 1980 – 2010 (US$ juta)
![](file:///C:\Users\lenovo\AppData\Local\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image042.gif)
Sumber: Bank Indonesia
IV. PEMBAHASAN
Analisis kesinambungan transaksi berjalan menggunakan beberapa indikator
ekonomi makro yang digunakan oleh Milesi-Ferretti dan Razin (1996). Adapun indikator
ekonomi makro yang dapat digunakan untuk melihat kesinambungan transaksi
berjalan adalah (a) utang luar negeri, (b) beban pembayaran bunga utang luar
negeri, (c) ekspor, (d) nilai tukar riil, (e) tabungan dan investasi domestik, (f)
surplus (defisit) fiskal, (g) pertumbuhan ekonomi, dan (h) arus masuk modal.
Kemudian analisis tersebut di atas dibagi ke dalam beberapa episode sebagai
berikut a) defisit transaksi berjalan dan penyesuaian terhadap penurunan harga
minyak, 1980—1989; b) defisit transaksi berjalan dan liberalisasi,1990-1996; c)
krisis keuangan Asia, 1997—1999; d) surplus transaksi berjalan, 2000—07; dan e)
krisis keuangan global, 2008—10.
4.1 Utang Luar Negeri
Selama era bom minyak[2] (1973 – 1982) sebagian besar
investasi pemerintah dibiayai melalui pendapatan pajak minyak dan pinjaman luar
negeri. Metode pembiayaan ini tidak memiliki dampak langsung terhadap investasi
swasta dalam persaingan untuk memperoleh sumber dana finansial dalam negeri.
Akan tetapi, efek crowding out masih
dapat terjadi melalui efek inflasi dari defisit anggaran pemerintah. Pasca era
bom minyak, pemerintah Indonesia memutuskan untuk tidak tergantung pada
pinjaman luar negeri dan akan mengandalkan pendapatan PPh dan PPN melalui
reformasi pajak 1984 sebagai sumber utama biaya pembangunan. Akan tetapi,
karena pendapatan dari pajak tidak mencukupi dan rendahnya investasi proyek
infrastruktur setelah krisis keuangan Asia 1997-1998, pemerintah menerbitkan
surat utang negara (SUN) sebagai alternatif sumber pembiayaan belanja modal
sebagai konsekuensi pembubaran kelompok negara kreditor atau CGI (Consultative Group on Indonesia) pada
2007. Pemerintah telah berjanji untuk terus mengurangi pinjaman luar negeri dan
menggantinya dengan memaksimalkan pemanfaatan sumber pembiayaan domestik. Akan
tetapi, pemerintah harus mempertimbangkan kemungkinan crowding-out di pasar
utang dalam negeri, kondisi yang akan menyebabkan kenaikan suku bunga sehingga
sektor swasta harus menawarkan imbal hasil surat utang yang lebih tinggi agar
dapat bersaing dengan surat utang pemerintah.
Defisit transaksi
berjalan memungkinkan Indonesia memiliki belanja investasi yang lebih tinggi dibandingkan jika hanya
mengandalkan pada tabungan domestik. Akan tetapi arus modal asing yang masuk
itu sebagian besar dalam bentuk pinjaman yang mencerminkan klaim atas
pendapatan nasional di masa depan. Sehingga terdapat imbangan (trade-off) antara investasi yang lebih
tinggi dan utang luar negeri yang lebih tinggi juga. Dana investasi asing
menaikkan stok modal Indonesia yang akan mendorong kenaikan PDB Indonesia di
masa depan sehingga mampu membayar utang luar negeri yang jatuh tempo. Untuk menutup
defisit transaksi berjalan, Indonesia menggunakan pinjaman luar negeri untuk
menaikkan konsumsi dan investasi publik untuk meningkatkan produktivitas. Surplus
transaksi berjalan yang terjadi pasca krisis keuangan Asia mendorong penarikan
pinjaman luar negeri semakin berkurang (Gambar 3).
Gambar 3
Transaksi Berjalan dan
Penarikan Pinjaman Luar Negeri Pemerintah 1980 – 2010 (US$ juta)
![](file:///C:\Users\lenovo\AppData\Local\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image044.gif)
Sumber: Bank Indonesia
Surplus transaksi berjalan
yang terjadi sejak 1998 telah membantu mengurangi rasio utang selama periode
2000-2007 walaupun masih dalam tingkat yang mengkhawatirkan sebesar rata-rata 62%.
Selama episode krisis keuangan global 2008-2010 rasio utang luar negeri turun
setengahnya menjadi rata-rata 30%. Angka ini relatif aman untuk kesinambungan
transaksi berjalan.
Gambar 4
Transaksi Berjalan dan Stok
Utang Luar Negeri (% PDB) 1980 – 2010
![](file:///C:\Users\lenovo\AppData\Local\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image046.gif)
Sumber: Hill (2000) dan BI
Dari sisi struktur jatuh tempo, komponen utang luar negeri jangka pendek
selama 1980-an jarang melampaui 12% dari total utang luar negeri. Akan tetapi
selama tahun 1990-an utang luar negeri jangka pendek mengalami peningkatan
tajam hingga mencapai 21,6% dari total utang luar negeri (Hill, 2000). Rasio
utang jangka pendek terhadap total utang selama 2004-2010 mengalami peningkatan
dari 5,6% (2004) menjadi 15,4% (2010). Peningkatan rasio ini telah menambah
risiko terhadap kesinambungan transaksi berjalan.
Dari sisi komposisi mata uang, utang luar negeri masih didominasi oleh dua
mata uang yaitu USD dan yen Jepang. Hal ini sempat menimbulkan kesulitan dalam
manajemen utang luar negeri terutama tahun 1986-87 ketika terjadi apresiasi Yen
(dengan total Yen exposure sebesar
40%) yang meningkatkan utang luar negeri sebesar US$9,7 miliar (Hill 2000). Pada
tahun 2010 komposisi mata uang USD mencerminkan 56% dan yen Jepang 20% dari
total utang luar negeri. Risiko terhadap kesinambungan transaksi berjalan akan
membesar jika terjadi apresiasi terhadap mata uang USD atau Yen.
Analisis
kesinambungan transaksi berjalan dapat dilakukan dengan menggunakan persamaan
(6) dengan proksi r adalah selisih
antara suku bunga acuan Bank Indonesia (BI rate)
dengan suku bunga acuan bank sentral AS (Fed fund rate) sebesar 6,5 persen dan PDB deflator sebesar 10
persen. Tabel 1 menunjukkan bahwa pada
PDB riil sebesar 7 persen, rasio utang luar negeri terhadap PDB mencapai titik bahaya pada saat defisit transaksi
berjalan sebesar 6 persen dari PDB atau defisit transaksi berjalan di bawah 6
persen dari PDB masih berkesinambungan (sustainable).
Jika PDB riil turun menjadi 3 persen, tingkat kesinambungan transaksi berjalan
mengalami penurunan, yaitu rasio utang luar negeri terhadap PDB mencapai 62
persen pada saat defisit transaksi berjalan sebesar 4 persen dari PDB.
Tabel
1 Rasio Utang Luar Negeri Jangka Panjang (n*)
n*=c/(g-r)
Rasio Utang Luar Negeri
|
c
Rasio Defisit Transaksi Berjalan
|
g
Pertumbuhan PDB Nominal
|
r
Suku Bunga Utang Luar Negeri
|
PDB
Riil
|
57
|
6
|
17
|
6.5
|
7
|
53
|
5
|
16
|
6.5
|
6
|
59
|
5
|
15
|
6.5
|
5
|
53
|
4
|
14
|
6.5
|
4
|
62
|
4
|
13
|
6.5
|
3
|
4.2 Beban Pembayaran Bunga
Utang Luar Negeri
Indikator kesinambungan transaksi berjalan yang kedua adalah beban
pembayaran bunga utang luar negeri yang ditunjukkan oleh rasio pembayaran utang
terhadap ekspor (debt service ratio)
atau DSR. Tingkat DSR yang perlu mendapat perhatian adalah sekitar 20%. Selama
periode 1980-1989 tingkat DSR mulai mengkhawatirkan karena telah mencapai 27%
dan terus mengalami peningkatan menjadi 33% selama kurun waktu 1990-1996 dan mencapai
puncaknya selama krisis keuangan Asia tahun 1998 yang sebesar 58%. Dengan
perubahan kinerja transaksi berjalan dari defisit ke surplus dan turunnya rasio
utang luar negeri, DSR terus mengalami penurunan dari 30% selama episode
2000-2007 menjadi 21% selama episode krisis keuangan global 2008-2010 sehingga
tidak mengganggu kesinambungan transaksi berjalan (Gambar 5).
Gambar 5
Rasio Pembayaran Utang
terhadap Ekspor (Debt Service Ratio)
1980 – 2010
![](file:///C:\Users\lenovo\AppData\Local\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image048.gif)
Sumber: Hill (2000) dan BI
4.3 Ekspor
Indikator berikutnya adalah rasio ekspor terhadap PDB. Sebagai negara
dengan ekonomi terbuka, Indonesia mengandalkan ekspor sebagai sumber valuta
asing. Devisa dari ekspor dapat
digunakan untuk membayar bunga dan melunasi utang luar negeri. Semakin besar
ekspor tentunya akan semakin mudah suatu negara membayar bunga dan melunasi
utang luar negeri.
Gambar 6 menunjukkan rasio ekspor barang dan jasa terhadap PDB kurun waktu
1980-2010. Selama periode 1980-1989, rasio ekspor terhadap PDB mencapai
rata-rata 25%. Rasio ini kemudian mengalami kenaikan menjadi 27% selama kurun
waktu 1990-1996. Bahkan selama episode krisis keuangan Asia yaitu periode 1997-1999,
sektor ekspor mencapai rata-rata 39% dari PDB. Hal ini menunjukkan ekonomi
Indonesia semakin terbuka. Perhatikan bahwa pada tahun 1998 rasio ekspor terhadap
PDB mencapai 53% karena sektor ekspor (eksternal) tidak mengalami resesi
sedangkan ekonomi dalam negeri mengalami penurunan ekonomi. Sebaliknya pada
tahun 2009 dan 2010 terjadi resesi pada sejumlah negara yang merupakan mitra
dagang utama Indonesia sedangkan pertumbuhan ekonomi domestik masih cukup bagus
yang didukung oleh konsumsi sehingga rasio ekspor relatif rendah (24%).
Gambar 6
Ekspor Barang dan Jasa (%
PDB) 1980 – 2010
![](file:///C:\Users\lenovo\AppData\Local\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image050.gif)
Sumber: BPS
Semakin terbuka suatu ekonomi, semakin rentan ekonomi tersebut terhadap
guncangan ekonomi global. Dengan rasio ekspor terhadap PDB yang relatif rendah
dibandingkan dengan negara-negara anggota ASEAN lainnya seperti Malaysia atau
Singapura, guncangan terhadap ekonomi global tidak akan terlalu mempengaruhi
ekonomi domestik.
Selain itu, semakin terdiversifikasi komposisi komoditas ekspor suatu
negara, kerentanan eksternal akan semakin berkurang. Fluktuasi harga komoditas
memiliki dampak yang besar pada terms of
trade pada negara-negara yang tidak terdiversifikasi dengan baik dan jika
sangat tergantung pada impor bahan baku, negara tersebut akan menghadapi
masalah kesinambungan transaksi berjalan.
Diversifikasi produk ekspor Indonesia masih rendah. Pada tahun 1980-an
Indonesia adalah negara yang ekonominya sangat tergantung pada minyak sehingga
sangat rentan terhadap fluktuasi harga minyak. Saat ini peranan ekspor migas
terhadap total ekspor sekitar 17%. Akan tetapi ekspor nonmigas yang mengambil
peran sekitar 83% dari total ekspor masih mengandalkan produk unggulan komoditas
seperti bahan bakar mineral (batu bara); lemak & minyak hewan/nabati (CPO);
karet; bijih, kerak, dan abu logam; serta kayu. Tentunya kondisi ini sangat
rentan terhadap fluktuasi harga komoditas sehingga bisa menganggu kesinambungan
transaksi berjalan jika terjadi gejolak pada harga komoditas internasional.
4.4 Nilai Tukar Riil
Fleksibilitas nilai tukar dalam menghadapi guncangan eksternal bisa
mempengaruhi kesinambungan transaksi berjalan. Pada rezim nilai tukar tetap
cenderung menjadi target serangan spekulatif yang dapat memicu krisis keuangan.
Apresiasi nilai tukar rupiah dalam jangka pendek akan menyebabkan
ketidakstabilan. Sedangkan apresiasi nilai tukar yang berkelanjutan akan
menurunkan daya saing Indonesia yang akan memberikan tekanan terhadap transaksi
berjalan. Apresiasi dapat memperparah ketidakseimbangan eksternal sehingga
mengganggu kesinambungan transaksi berjalan.
Gambar 7 menunjukan nilai tukar riil rupiah terhadap US$ selama kurun waktu
1980-2010. Selama kurun waktu 1980-1989 terjadi dua kali devaluasi yaitu pada
Maret 1983 dan September 1986 akibat krisis minyak yang menimbulkan tekanan
pada neraca pembayaran (transaksi berjalan). Pada periode 1990-1996 nilai tukar
riil relatif stabil dimana cadangan devisa digunakan untuk menstabilkan nilai
tukar rupiah. Pada kurun waktu 1980-1996 nilai tukar riil mengalami depresiasi sehingga
dapat mempertahankan daya saing produk Indonesia.
Pada episode 1997-1999 terjadi krisis keuangan Asia yang mengganggu
kestabilan rupiah dan mendorong pemerintah mengadopsi nilai tukar mengambang agar
cadangan devisa tidak terkuras habis untuk mempertahankan kestabilan rupiah.
Pada periode 2000-2010 nilai tukar riil rupiah cenderung menguat (apresiasi). Kecenderungan
apresiasi ini harus diwaspadai karena akan memperlemah daya saing sektor ekspor
yang pada gilirannya akan menekan kinerja transaksi berjalan dan mengurangi
cadangan devisa. Apresiasi rupiah menyebabkan barang-barang Indonesia lebih
mahal sehingga berakibat penurunan ekspor; serta barang luar negeri lebih murah
sehingga impor naik. Akibatnya adalah penurunan surplus transaksi berjalan atau
defisit transaksi berjalan.
Gambar 7
Neraca Pembayaran, Nilai
Tukar Riil Rp/USD dan Cadangan Devisa 1980-2010
![](file:///C:\Users\lenovo\AppData\Local\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image052.gif)
Sumber: Bank Indonesia & CEIC
4.5 Tabungan dan Investasi
Domestik
Persamaan (2) menunjukkan bahwa saldo transaksi berjalan merupakan selisih
antara tabungan dan investasi domestik. Defisit transaksi berjalan disebabkan
oleh tingkat tabungan domestik yang lebih rendah daripada tingkat investasi.
Utang luar negeri dari defisit transaksi berjalan relatif aman sepanjang
digunakan untuk membiayai investasi, bukan untuk konsumsi yang menurunkan
tabungan. Tingkat investasi yang tinggi akan meningkatkan produktifitas dan
ekspor.
Gambar 8 memperlihatkan celah tabungan-investasi (saving-investment gap) selama periode 1990-2010. Celah
tabungan-investasi yang negatif hanya terjadi pada 1995-1997 dan 2003. Dalam
kurun waktu 1995-1997 tersebut defisit transaksi berjalan mampu menutup celah
tabungan-investasi yang negatif agar kebutuhan investasi terpenuhi.
Pasca krisis keuangan Asia 97/98 surplus transaksi berjalan menyebabkan
kenaikan tabungan domestik sehingga celah tabungan-investasi menjadi positif. Hal
ini dapat dilihat pada Tabel 1 dimana pada episode 1990-1996, celah tabungan-investasi
mencapai 1,2% dari PDB. Pada episode krisis keuangan Asia 1997-1999, celah
tabungan-investasi meningkat menjadi 5,9% dari PDB (Hal ini terjadi karena
kegiatan investasi menurun drastis selama krisis. Bahkan pada episode krisis
keuangan global 2008-2010, celah tabungan-investasi masih positif cukup besar
yaitu 2% dari PDB.
Perubahan celah tabungan-investasi dari negatif menjadi positif menunjukkan
terjadinya penurunan investasi dari tingkat optimalnya walaupun setiap tahun
investasi mengalami pertumbuhan. Turunnya investasi akan menyebabkan turunnya
pendapatan nasional sehingga tabungan nasional juga lebih rendah dibanding
tingkat optimalnya.
Gambar 8
Celah Tabungan-Investasi
dan Transaksi Berjalan 1990-2010 (miliar Rp)
![](file:///C:\Users\lenovo\AppData\Local\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image054.gif)
Sumber: Bank Indonesia, ADB, dan BPS
4.6 Surplus (Defisit) Fiskal
Defisit fiskal yang besar dan berkepanjangan akan menyebabkan akumulasi
utang luar negeri pada tingkat yang tidak berkesinambungan. Gambar 9
menunjukkan surplus (defisit) APBN dan transaksi berjalan sebagai persentase
dari PDB untuk periode 1980-2010. Selama kurun waktu yang panjang (1980-1997) Indonesia
mengalami beberapa kali defisit kembar (twin
deficits) yaitu defisit fiskal dan defisit transaksi berjalan secara
bersamaan. Defisit kembar ini menyebabkan tingkat tabungan domestik relatif
rendah dibandingkan terhadap tingkat investasi karena terjadi penurunan tingkat
tabungan menyeluruh, hasil dari penurunan komponen tabungan publik yang
disebabkan oleh defisit APBN selama periode tersebut.
Selama krisis keuangan Asia terjadi defisit fiskal yang signifikan terutama
tahun 1999 yang mencapai 4% dari PDB, yang melebihi ambang batas defisit fiskal
3% PDB. Banyak pihak yang menyoroti masalah kesinambungan fiskal yang bisa
mempengaruhi keberlangsungan pelaksanaan program-program dan proyek-proyek
pemerintah. Beruntung bahwa defisit fiskal ini tidak diikuti oleh defisit
transaksi berjalan. Selama episode krisis keuangan Asia, kinerja transaksi
berjalan menunjukkan surplus yang cukup besar sehingga tidak sampai menimbulkan
masalah defisit kembar.
Selama episode surplus transaksi berjalan 2000—07, pemerintah berhasil
mengurangi defisit fiskal dari 2,4% (2001) menjadi 0,5% (2005). Akan tetapi
pada 2007, defisit fiskal membengkak lagi menjadi 1,3%. Walaupun pemerintah
belum berhasil membalik defisit fiskal menjadi surplus, kondisi ekonomi tidak
memburuk karena didukung oleh kinerja transaksi berjalan yang mencatat surplus 2,8%
PDB selama peride 2000—07.
Krisis keuangan global 2008/09 mendorong pemerintah untuk menggelontorkan
paket stimulus fiskal pada tahun 2009 untuk merangsang pertumbuhan ekonomi.
Hasilnya adalah defisit fiskal kembali membengkak dari 0,1% (2008) menjadi 1,6%
(2009).
Selama episode krisis keuangan
global, transaksi berjalan mengalami defisit selama tiga triwulan
berturut-turut yaitu triwulan II, III, dan IV dengan nilai defisit
masing-masing sebesar US$1,0 miliar, US$0,97 miliar, dan US$0,64 miliar. Akan
tetapi, keseluruhan tahun 2008 transaksi berjalan membukukan surplus 0,02% PDB.
Gambar 9
Surplus (Defisit) APBN dan
Transaksi Berjalan 1980 – 2010 (% dari PDB)
![](file:///C:\Users\lenovo\AppData\Local\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image056.gif)
Sumber: Kementerian Keuangan, BPS, dan BI
4.7 Pertumbuhan Ekonomi
Gambar 10 menunjukkan pada periode 1981-1997 pertumbuhan
ekonomi domestik yang tinggi (rata-rata 6,1%) diringi oleh defisit transaksi
berjalan rata-rata 2,9% dari PDB. Kesinambungan defisit transaksi berjalan akan
tergantung pada selisih antara suku bunga utang luar negeri dan pertumbuhan
PDB. Berdasarkan persamaan (5), jika g
< i maka rasio utang terhadap PDB akan naik. Sebaliknya, jika g > i maka pertumbuhan ekonomi mampu
mengatasi kenaikan stok utang luar negeri. Defisit transaksi berjalan akan
berkesinambungan jika defisit tersebut tidak menghasilkan tumpukan utang.
Krisis keuangan Asia 97/98 memberikan gangguan yang cukup besar terhadap
kesinambungan transaksi berjalan. Walaupun transaksi berjalan menunjukkan
surplus 4% dari PDB pada tahun 1998 akan tetapi dengan pertumbuhan ekonomi yang
negatif sebesar 13,1%, rasio utang luar negeri yang tinggi sebesar 146% dari
PDB, rasio pembayaran utang luar negeri sebesar 58%, nilai tukar riil Rp/USD
terdepresiasi 120%, surplus transaksi berjalan bisa dikatakan tidak
berkesinambungan (unsustainable). Hal
ini dapat dikonfirmasi dengan menggunakan persamaan (5) di mana pada tahun 1998
dan 1999 kondisi yang terjadi adalah g
< i.[3]
Pasca krisis keuangan Asia, ekonomi Indonesia semakin pulih yang
ditunjukkan oleh pertumbuhan ekonomi rata-rata sebesar 5,1% selama periode
2000-2007 yang dibarengi dengan surplus transaksi berjalan dengan rasio rata-rata
terhadap PDB sebesar 2,8%. Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi ini
menyebabkan rasio utang luar negeri terhadap PDB mengalami penurunan dari
104,3% pada periode 1997-1999 menjadi 62,1% pada periode 2000-2007. Penurunan
rasio utang yang cukup signifikan ini terjadi karena pada periode 2000-2007
terdapat kondisi g > i.
Periode 2008-2010 ditandai oleh sejumlah krisis seperti krisis subprime mortgage di AS yang kemudian
diikuti oleh krisis keuangan global dan krisis utang Eropa. Krisis yang melanda
negara-negara maju ini telah memberi tekanan terhadap transaksi berjalan dimana
surplus transaksi berjalan mengalami penurunan dari 2,8% dari PDB pada periode
2000-2007 menjadi 0,9% pada periode 2008-2010. Hal ini terjadi karena rasio
ekspor terhadap PDB mengalami penurunan dari 33,7% (2000-2007) menjadi 26,2%
(2008-2010). Yang menarik adalah pertumbuhan ekonomi masih cukup tinggi
rata-rata sebesar 5,6% karena ditopang oleh konsumsi dalam negeri yang masih
cukup kuat. Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi ini juga berdampak pada
turunnya rasio utang luar negeri menjadi 30,1% yang berada pada posisi yang
mendukung kesinambungan transaksi berjalan.
Gambar 10
Pertumbuhan Ekonomi dan Transaksi Berjalan 1980-2010
![](file:///C:\Users\lenovo\AppData\Local\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image058.gif)
Sumber: BPS dan BI
4.8 Dampak Transaksi Modal
dan Finansial pada Kesinambungan Transaksi Berjalan
Indonesia telah menerapkan rezim devisa bebas sejak 1970 yang membuka
secara lebar transaksi modal dan finansial. Keterbukaan ini pada satu sisi
berdampak positif bagi Indonesia dalam hal meningkatnya kepercayaan investor
asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Tetapi, pada sisi yang lain,
keterbukaan ini akan menyebabkan ekonomi Indonesia lebih rentan terhadap
gejolak pasar finansial global.
Beberapa paket kebijakan reformasi sektor moneter dan finansial dikeluarkan
oleh pemerintah Indonesia dalam rangka memobilisasi dana bagi sektor swasta dan
meningkatkan efisiensi pasar keuangan yang akan mengurangi biaya transaksi dan
ketergantungan bantuan asing. Paket pertama adalah paket Juni 1983 yang
menghilangkan batas atas kredit bank, membiarkan suku bunga bergerak mengikuti
kekuatan pasar, memberikan peran yang lebih besar kepada bank swasta,
menghidupkan kembali pasar saham. Paket Oktober 1988 mereformasi perbankan dan
deregulasi dengan menghilangkan hambatan masuk kedalam industri perbankan
(Deregulasi perbankan). Paket Desember 1988 mengatur kegiatan lembaga keuangan
bukan bank, membolehkan investor asing masuk ke perusahaan sekuritas, dan
membatasi perlakuan khusus pada bank investasi BUMN.
Komposisi transaksi modal dan finansial sangat penting dalam menentukan
kesinambungan transaksi berjalan. Arus masuk modal yang bersumber dari
investasi portofolio cenderung lebih bergejolak dibandingkan dengan investasi
langsung karena investasi portofolio cenderung merupakan arus masuk modal
jangka pendek (hot money). Defisit
transaksi berjalan yang dibiayai oleh investasi langsung cenderung lebih
berkesinambungan dibandingkan investasi portofolio yang bisa berbalik arah
menjadi arus keluar modal jika kondisi pasar keuangan bergejolak. Selain itu,
utang luar negeri yang bersumber dari negara-negara kreditor dan lembaga
keuangan multilateral (sektor publik) cenderung lebih aman dibandingkan arus
modal dari sektor swasta.
Gambar 11 menunjukkan bahwa sebelum krisis Asia, defisit transaksi berjalan
ditopang oleh investasi langsung yang positif. Pasca krisis Asia, surplus
transaksi berjalan diikuti oleh investasi langsung yang negatif.[4]
Selama periode 1992-1996[5]
investasi portofolio menunjukkan arus masuk modal yang semakin besar dari
US$1,0 miliar (1992) menjadi US$5,0 miliar (1996). Akan tetapi krisis keuangan
Asia menyebabkan terjadinya pembalikan arus modal sehingga selama periode
1997-2001 terjadi arus keluar modal. Dengan semakin pulihnya ekonomi, investasi
portofolio kembali positif pada tahun 2002. Selama krisis keuangan global,
investasi portofolio mengalami penurunan sebesar 68% dari US$5,6 miliar (2007)
menjadi US$1,8 miliar (2008). Pada tahun 2009 investasi portofolio mengalami
peningkatan yang sangat besar 486% dengan nilai US$10,3 miliar dan pada tahun
2010 investasi portofolio masih meningkat sebesar 47% menjadi US$15,2 miliar.
Selama 1980-1989 investasi langsung membukukan surplus walaupun surplus
masih di bawah US$1,0 miliar setiap tahunnya. Mulai tahun 1990 surplus
investasi langsung mampu melampaui US$1,0 miliar yaitu sebesar US$1,1 miliar.
Nilai ini terus mengalami peningkatan dan mencapai puncaknya pada 1996 dengan
nilai US$6,2 miliar
Akan tetapi krisis keuangan Asia menyebabkan terjadi penurunan investasi
langsung. Pada tahun 1997 nilai investasi langsung masih positif US$4,7 miliar.
Untuk pertama kalinya pada tahun 1998 investasi langsung membukukan nilai
negatif sebesar US$0,21 miliar dan mencapai puncaknya pada tahun 2000 dengan
nilai defisit US$4,5 miliar. Tren investasi langsung yang negatif terus
berlangsung hingga tahun 2001. Walapun tahun 2002 investasi langsung sempat
positif, pada tahun 2003 dan 2004 investasi langsung kembali negatif. Baru pada
tahun 2005 investasi langsung mencatat surplus cukup besar US$5,3 miliar.
Kinerja investasi langsung selama 2006-2009 masih belum memuaskan dengan hanya
membukukan surplus rata-rata per tahun sebesar US$2,5 miliar. Akan tetapi
memasuki tahun 2010 kinerja investasi langsung mengalami kenaikan yang
signifikan sebesar 274% menjadi US$9,8 miliar.
Untuk investasi lainnya, selama kurun waktu 1980-1993 mencata arus masuk
modal yang cukup besar setiap tahun dengan nilai rata-rata sebesar US$3,3
miliar. Sebagian besar arus masuk modal ini bersumber dari pinjaman luar negeri
pemerintah dan swasta. Akan tetapi sejak 1996 sampai dengan 2009 investasi
langsung menunjukkan arus keluar modal (defisit) yang semakin besar dari US$0,3
miliar (1996) menjadi US$8,1 miliar (2009). Sumber arus keluar modal ini adalah
pelunasan pokok utang luar negeri pemerintah dan swasta yang jatuh tempo. Akan
tetapi memasuki tahun 2010 kinerja investasi lainnya mengalami pembalikan
menjadi surplus US$1,1 miliar.
Aliran masuk modal melalui transaksi modal dan finansial seperti pedang
bermata dua, di satu sisi aliran masuk modal diperlukan untuk menyeimbangkan
defisit transaksi berjalan, tetapi di sisi yang lain aliran masuk modal
memiliki potensi atas aliran keluar yang besar di masa depan dalam bentuk
pembayaran bunga, laba, dan dividen yang akan dicatat pada neraca pendapatan (income balance) sehingga akan memberikan
tekanan pada transaksi berjalan. Misalkan pada tahun 2010 transaksi modal dan
finansial mengalami surplus sebesar US$26,2 miliar atau naik sebesar 424% dari
tahun 2009 sebesar US$5,0 miliar. Kenaikan surplus ini juga diikuti oleh
kenaikan defisit neraca pendapatan dari US$15,1 miliar pada tahun 2009 menjadi
US$20,3 miliar pada tahun 2010 atau naik sebesar 34%. Tekanan pada transaksi
berjalan ini yang akan berpotensi menuju defisit transaksi berjalan yang akan
memberikan sinyal negatif kepada investor asing karena defisit transaksi
berjalan yang semakin melebar menunjukkan risiko investasi yang semakin besar.
Gambar 11
Transaksi Berjalan dan Investasi
1980 – 2010 (US$ juta)
![](file:///C:\Users\lenovo\AppData\Local\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image060.gif)
Sumber: Bank Indonesia
Ringkasan indikator ekonomi makro yang mempengaruhi kesinambungan transaksi
berjalan dapat dilihat pada Tabel 2. Terdapat tahun dan periode dimana
kesinambungan transaksi berjalan mengalami gangguan karena indikator yang
melewati tanda bahaya. Defisit transaksi berjalan yang melewati ambang batas
bahaya 4%-5% terjadi pada tahun 1982 dengan defisit 5,6%, tahun 1983 (7,4%),
dan tahun 1986 (4,9%). Defisit fiskal yang melewati batas bahaya 3% terjadi
pada tahun 1986 dengan defisit 3,6% dan tahun 1999 (4,0%). Defisit kembar (twin deficit) terjadi pada periode
1981-1989 dan 1991-1993. Rasio utang luar negeri yang melewati ambang batas
bahaya terjadi pada periode 1986-1995 dan 1997-2004. Rasio pembayaran utang
luar negeri yang melewati tanda bahaya terjadi pada periode 1984-2004, tahun
2006 dan 2009-2010.
Tabel 2 Indikator Kesinambungan Transaksi Berjalan
![](file:///C:\Users\lenovo\AppData\Local\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image062.gif)
Sumber: Kementerian Keuangan, BPS, BI, dan ADB
4.9 Prospek Kesinambungan
Transaksi Berjalan
Surplus transaksi berjalan diperkirakan menyempit pada tahun 2011. Dengan
pertumbuhan ekonomi yang semakin tinggi, pembalikan dari surplus menuju defisit
transaksi berjalan diperkirakan mulai terjadi pada tahun 2012. Untuk melihat
tingkat defisit transaksi berjalan yang diperkirakan aman untuk mencapai
pertumbuhan 7%, kita dapat menggunakan
persamaan (6). Dengan menggunakan proksi r
adalah selisih antara suku bunga acuan Bank Indonesia (BI rate) dengan suku bunga acuan bank sentral AS (Fed fund rate) sebesar 6,5 persen, PDB
deflator sebesar 10 persen, dan rasio utang luar negeri terhadap PDB yang cukup
aman sebesar 30%, defisit transaksi berjalan akan berada pada tingkat 3,15%
dari PDB. Transaksi berjalan tetap berkesinambungan (sustainable) walaupun
defisit sebesar 3,15% dari PDB karena rasio utang luar negeri terhadap PDB yang
masih berada pada level yang aman (lebih rendah daripada tingkat bahaya
50%-80%)
Di lain pihak, pembalikan dari surplus menjadi defisit transaksi berjalan tentu
menimbulkan kekhawatiran. Beberapa indikator kesinambungan transaksi berjalan
masih dalam posisi yang mengkhawatirkan seperti rasio pembayaran utang luar
negeri yang masih tinggi, rasio ekspor yang masih rendah, dan nilai tukar riil
yang mengalami apresiasi. Defisit transaksi berjalan ini juga merupakan risiko
besar bagi posisi cadangan devisa. Akan tetapi sepanjang defisit ini bersumber
dari kenaikan impor barang modal yang akan digunakan untuk investasi jangka
panjang, kekhawatiran tersebut tidak perlu terjadi karena investasi ini akan
mendorong pertumbuhan ekonomi lebih pesat sehingga lebih banyak lapangan
pekerjaan yang tersedia.
V. PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Kesinambungan transaksi berjalan dipengaruhi oleh beberapa faktor ekonomi
seperti utang luar negeri, beban pembayaran utang luar negeri, ekspor, nilai
tukar riil, tabungan dan investasi domestik, surplus (defisit) fiskal, serta
arus masuk modal. Berdasarkan hasil analisa pada bagian IV, dapat disimpulkan
bahwa kesinambungan transaksi berjalan selama periode 1980-2010 mengalami
beberapa gangguan yang ditunjukkan oleh beberapa indikator kesinambungan
transaksi berjalan dalam posisi yang mengkhawatirkan seperti rasio utang luar
negeri, rasio pembayaran utang luar negeri yang masih tinggi, rasio ekspor yang
masih rendah, dan nilai tukar riil yang mengalami apresiasi.
5.2 Rekomendasi Kebijakan
Di bawah ini
adalah beberapa rekomendasi kebijakan yang dapat diberikan untuk meningkatkan
kesinambungan transaksi berjalan:
a.
Iklim
investasi harus terus diperbaiki terutama ketersediaan infrastruktur untuk
menarik investasi langsung di Indonesia (FDI). Selain itu, kinerja peringkat
utang Indonesia harus selalu ditingkatkan untuk menarik arus masuk modal asing
baik jangka pendek maupun jangka panjang.
b.
Arus
masuk modal yang besar perlu mendapat perhatian bukan hanya karena potensi
pembalikan yang tiba-tiba (sudden
reversal) tetapi juga potensi yang akan memberikan tekanan pada transaksi
berjalan melalui defisit neraca pendapatan yang semakin membesar.
c.
Diversifikasi
produk ekspor harus terus ditingkatkan untuk mengurangi risiko yang bersumber
dari volatilitas harga komoditas.
DAFTAR
PUSTAKA
Bank Indonesia, Neraca Pembayaran Indonesia dan Posisi
Investasi Internasional Indonesia: Konsep, Sumber Data, dan Metode,
Jakarta: Direktorat Statistik Ekonomi dan Moneter, Bank Indonesia, 2008.
International Monetary Fund
(IMF), Balance of Payments Textbook,
Washington, DC, USA: IMF, 1996.
Mann, C.L., Perspectives
on the U.S. Current Account Deficit and Sustainability, The Journal of Economic Perspectives, Vol. 16, No. 13 (Summer,
2002), 131-152.
Milesi-Ferretti, G.M. dan
Razin, A., Current Account Sustainability: Selected East Asian and Latin American
Experiences, NBER Working Paper 5791,
October 1996.
Ogus, Ayla dan Niloufer
Sohrabji, An Intertemporal Benchmark Model for Turkey’s Current Account, Working Paper # 06/01, July 2006, Izmir
University of Economics.
Opoku-Afari, Maxwell,
Capital Flows and Current Account Sustainability: The Ghanaian Experience, CREDIT Research Paper No. 07/07, Centre
for Research in Economic Development and International Trade, University of Nottingham,
2005.
[2] Bom minyak terjadi dua kali saat harga minyak
dunia meningkat dari US$1,67/barel
pada 1970 menjadi US$11,7/barel pada 1973 dari dari US$15,65/barel
pada 1979 menjadi US$29,5/barel-US$35/barel
selama kurun waktu 1980-1982.
[3] g adalah pertumbuhan PDB riil dan i diproksikan dengan menggunakan suku
bunga LIBOR USD 12 bulan yang di-riil-kan dengan menggunakan tingkat inflasi
Amerika Serikat.
[4] Investasi langsung pada neraca pembayaran
meliputi investasi langsung bukan penduduk di Indonesia dan investasi langsung
penduduk di luar negeri. Investasi langsung (neto) negatif berarti lebih banyak
penduduk yang melakukan investasi langsung di luar negeri.
[5] Data investasi portofolio periode 1980-1991 tidak
tersedia.
No comments:
Post a Comment