Wednesday, March 9, 2016

THE ANALYSIS OF THE INDONESIAN CURRENT ACCOUNT PERFORMANCE



THE ANALYSIS OF THE INDONESIAN CURRENT ACCOUNT PERFORMANCE

Abstrak
Kinerja transaksi berjalan yang mengalami defisit sejak triwulan IV-2011 dan terus melebar pada triwulan berikutnya selama tahun 2012 dan diperkirakan masih berlanjut pada tahun-tahun berikutnya ini perlu mendapat perhatian serius. Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis kinerja transaksi berjalan di Indonesia selama kurun waktu 1960-2012 serta kebijakan terkaitnya. Dengan menggunakan metode deskriptif, hasil analisis menunjukkan bahwa kinerja transaksi berjalan dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti pertumbuhan mitra dagang utama Indonesia, harga komoditas dunia, pertumbuhan ekonomi domestik, kebijakan ekonomi termasuk nilai tukar, serta krisis keuangan.  Rekomendasi kebijakan untuk mempertahankan kinerja transaksi berjalan pada tingkat yang aman adalah meningkatkan daya saing produk ekspor Indonesia baik barang maupun jasa serta memperkuat basis industri nasional untuk mengurangi ketergantungan terhadap barang dan jasa impor, meningkatkan produksi minyak dan pengendalian konsumsi BBM untuk mengurangi defisit neraca perdagangan minyak, mengurangi arus keluar jasa transportasi melalui peningkatan daya saing industri pelayaran nasional, meningkatkan daya saing industri asuransi nasional untuk mendukung transaksi perdagangan internasional, dan membenahi sistem pengiriman TKI untuk meningkatkan surplus neraca transfer berjalan.
Kata kunci: sektor eksternal, neraca pembayaran, transaksi berjalan

Abstract
The performance of current account which showed deficit for the first time since the fourth quarter of 2011 and continued to widen in the next quarters during 2012 and it is expected to continue in subsequent years needs serious attention. This paper aims to analyze the current account performance in Indonesia during the period 1960-2012 and its related policies. By using the descriptive method, the analysis shows that the current account performance is affected by several factors such as the growth of Indonesia's major trading partners, global commodity prices, the domestic economic growth, economic policies, including exchange rates, and the financial crisis. Policy recommendations to maintain the current account at a safe level is improving the competitiveness of Indonesian exports of both goods and services as well as strengthening the national industrial base to reduce dependency on imported goods and services, increasing oil production and controling fuel consumption to reduce oil trade deficit, reducing the outflow of transport services by improving the competitiveness of national shipping industry, improving the competitiveness of the insurance industry nationwide to support international trade transactions, and improving the system of Indonesia overseas workers (TKI) to improve the current transfers surplus.
Keywords: balance of payment, external sector, current account
JEL Classifications: F32

I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia memiliki sejarah kinerja transaksi berjalan (current account) yang cukup panjang. Selama beberapa dekade yaitu periode tahun 1960-an sampai dengan tahun 1990-an Indonesia mengalami kinerja transaksi berjalan yang defisit. Pasca krisis keuangan Asia 1997/1998 kinerja transaksi berjalan membalik menjadi surplus. Akan tetapi, krisis keuangan global yang terjadi tahun 2008/2009 dan diperparah dengan adanya krisis utang Eropa telah menyebabkan ketidakpastian pemulihan ekonomi global. Resesi ekonomi yang dialami oleh beberapa negara maju di Eropa yang kemudian diikuti oleh Jepang serta masalah kebuntuan anggaran di Amerika Serikat (AS) telah menambah ketidakpastian pemulihan ekonomi dunia. Ketidakpastian ini menyebabkan tekanan eksternal pada ekonomi negara-negara berkembang tidak terkecuali Indonesia. Pengaruh tekanan eksternal ini dapat dilihat pada kinerja neraca pembayaran (balance of payment) terutama transaksi berjalan yang mengalami defisit sejak triwulan IV-2011 dan terus melebar sampai dengan triwulan IV-2012.
Pelebaran defisit pertama kali terjadi pada triwulan I-2012 yang mencatat defisit transaksi berjalan sebesar US$3,1 miliar, naik dari defisit pada triwulan IV-2011 yang sebesar US$2,3 miliar. Secara relatif terhadap PDB juga mengalami kenaikan yaitu dari 1,1% dari PDB pada triwulan IV-2011 menjadi 1,4% dari PDB pada triwulan I-2012. Pelebaran defisit transaksi berjalan terus berlanjut pada triwulan II-2012 yang mencapai US$8,0 miliar atau 3,6% dari PDB. Memasuki triwulan III-2012 tekanan defisit transaksi berjalan sedikit berkurang dengan nilai sebesar US$5,3 miliar atau 2,4% dari PDB. Akan tetapi tekanan ini kembali meningkat pada triwulan IV-2012 dengan defisit tercatat sebesar US7,8 miliar atau 3,6% dari PDB. Secara keseluruhan tahun 2012, kinerja transaksi berjalan mengalami pemburukan dari surplus sebesar US$1,7 miliar (0,2% dari PDB) pada tahun 2011 menjadi defisit sebesar US$24,2 miliar (2,7% dari PDB).
Pelebaran defisit ini disebabkan oleh ketidakpastian ekonomi global yang menekan permintaan produk ekspor Indonesia dan harga komoditas sedangkan pada saat yang sama permintaan domestik yang tinggi untuk kebutuhan investasi dan konsumsi telah mendorong impor yang tinggi.
Pembalikan kinerja transaksi berjalan yang berkinerja surplus pada tahun-tahun sebelumnya menjadi defisit pada tahun 2012 perlu mendapat perhatian serius. Kondisi pelebaran defisit transaksi berjalan sangat berpengaruh terhadap stabilitas ekonomi makro. Investor asing melihat bahwa persepsi risiko berinvestasi di Indonesia meningkat sehingga berdampak pada penurunan masuknya arus modal asing. Di tengah kebutuhan pembiayaan defisit transaksi berjalan yang tinggi, penurunan arus masuk modal asing akan menyebabkan turunnya level cadangan devisa  dan berpotensi pula menurunkan tingkat kepercayaan terhadap upaya menjaga stabilitas nilai tukar.
Kajian terhadap defisit transaksi berjalan perlu dilakukan karena dampaknya terhadap perekonomian nasional yang cukup besar. Pelebaran defisit transaksi berjalan akan mempengaruhi pergerakan nilai tukar rupiah berupa depresiasi nilai tukar rupiah karena defisit transaksi berjalan menyebabkan penurunan cadangan devisa.  Defisit transaksi berjalan yang semakin besar dapat juga diartikan sebagai pelebaran gap antara investasi dan tabungan dimana Indonesia lebih banyak melakukan investasi.
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, tulisan ini berusaha untuk menjawab dua permasalahan terkait dengan defisit transaksi berjalan, yaitu 1) bagaimanakah perkembangan kinerja transaksi berjalan selama kurun waktu 1960-2012? 2) faktor-faktor apakah yang mempengaruhi kinerja transaksi berjalan? Periode yang panjang ini dipilih karena periode yang panjang sangat bermanfaat untuk menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja transaksi berjalan agar dapat diperoleh pelajaran yang dapat dipetik (lessons learned) serta untuk melihat tren ke depannya.
1.3.Tujuan Penulisan
Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis perkembangan transaksi berjalan selama periode 1960-2012 dan mengidentifikasikan faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja transaksi berjalan.
1.4. Metodologi
Tulisan ini menggunakan pendekatan analisis deskriptif karena kajian ini bertujuan untuk menjelaskan perkembangan transaksi berjalan dan faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja transaksi berjalan. Data yang digunakan adalah data sekunder dengan teknik pengumpulan data melalui dokumentasi yang bersumber dari Bank Indonesia, BPS, Bank Dunia dan CEIC. Untuk melengkapi analisis, tulisan ini juga menggunakan data kualitatif yang dikumpulkan dari berbagai sumber seperti makalah ilmiah maupun sumber lainnya yang relevan seperti FGD (Focus Group Discussion)
Analisis kinerja transaksi berjalan akan dibagi ke dalam beberapa periodisasi sesuai dengan kondisi kebijakan dan perkembangan ekonomi Indonesia.  Untuk periode tahun 1960-2003 analisis transaksi berjalan tidak dilakukan secara rinci per unsur transaksi berjalan karena terdapat perbedaan format penyajian neraca pembayaran setiap periodenya. Sementara itu, untuk tahun 2004-2012 telah digunakan format baru yang mengacu ke Balance of Payments Manual 5 yang diterbitkan oleh International Monetary Fund (IMF) tahun 1993. Oleh karena itu, untuk periode tahun 2004-2012 analisis dilakukan dengan lebih rinci per unsur transaksi berjalan. Penulis menyadari bahwa hal ini dapat menyebabkan gangguan dalam hal konsistensi dan komparabilitas. Akan tetapi analisis yang lebih detail dengan menggunakan format baru yang masih digunakan hingga sekarang dapat memberikan nilai relevansi dan manfaat yang lebih besar bagi pembaca dalam melihat kondisi transaksi berjalan.

II. KERANGKA TEORI
2.1. Konsep Transaksi Berjalan
Konsep transaksi berjalan tidak dapat dilepaskan dari konsep neraca pendapatan (national account). Konsep neraca pendapatan nasional dapat ditulis dalam persamaan identitas berikut (Handoko, 2011):
.............................................................................................(1)
di mana Y = Produk domestik bruto, C = konsumsi swasta, G = konsumsi pemerintah, I = pembentukan modal tetap bruto, dan X - M = neraca perdagangan barang & jasa.
Persamaan (1) dapat disusun ulang menjadi:
di mana CA = transaksi berjalan yang hanya terdiri dari neraca perdagangan barang & jasa. Jika , dimana S = Tabungan, sehingga dapat diperoleh persamaan identitas berikut:
...................................................................................................................(2)
Persamaan (2) menunjukkan bahwa surplus transaksi berjalan terjadi jika investasi lebih kecil daripada tabungan, sehingga kebutuhan pendanaan investasi dapat ditutup melalui tabungan. Sedangkan defisit transaksi berjalan terjadi jika investasi lebih besar daripada tabungan sehingga diperlukan sumber pendanaan dari luar negeri untuk menutupi kebutuhan pendanaan investasi yang besar pada saat tabungan domestik tidak mencukupi. Sumber pendanaan luar negeri ini akan dicatat pada pos transaksi modal dan finansial.
Kemudian, hubungan antara transaksi berjalan serta transaksi modal dan finansial ditunjukkan oleh persamaan berikut (Handoko, 2011):
CA + KFA = Saldo Neraca Pembayaran = Perubahan Cadangan Devisa ..................(3)
Persamaan (3) menunjukkan bahwa jika Saldo Neraca Pembayaran mengalami surplus maka cadangan devisa akan bertambah. Sebaliknya jika Saldo Neraca Pembayaran mengalami defisit maka cadangan devisa akan berkurang.
Transaksi berjalan tidak hanya meliputi neraca perdagangan barang & jasa tetapi mencakup penerimaan (inflow) dan pengeluaran (outflow) antara penduduk Indonesia dengan bukan penduduk yang berasal dari transaksi barang dan jasa (goods and services), pendapatan (income), dan transfer berjalan (current transfer) (Bank Indonesia 2008). Unsur neraca transaksi berjalan yang berlaku umum di Indonesia disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1: Unsur Neraca Transaksi Berjalan
A. Barang, bersih (Neraca Perdagangan)
- Nonmigas
- Migas
Ekspor, fob
- Nonmigas
- Migas
Impor, fob
- Nonmigas
- Migas
B. Jasa-jasa, bersih
1. Transportasi, bersih
a. Barang, bersih
b. Penumpang dan lainnya, bersih
2. Perjalanan (Travel), bersih
a. Penerimaan
b. Pengeluaran
3. Jasa-jasa Lainnya, bersih
C. Pendapatan, bersih
1. Kompensasi Tenaga Kerja, bersih
2. Pendapatan Investasi, bersih
a. Investasi Langsung, bersih
b. Investasi Portofolio, bersih
c. Investasi Lainnya, bersih
a.l. Pembayaran bunga sektor terkait Pemerintah & Otoritas Moneter
D. Transfer Berjalan, bersih
1. Pemerintah, bersih
2. Sektor Lainnya, bersih
a. Transfer dari Tenaga Kerja (Remitansi), bersih
b. Transfer Lainnya, bersih

Sumber: Bank Indonesia, 2008

2.2. Kebijakan Ekonomi dan Kinerja Transaksi Berjalan
Pengaruh kebijakan ekonomi terhadap kinerja transaksi berjalan dapat dilihat melalui dampaknya pada tabungan dan investasi. Kebijakan ekonomi yang meningkatkan tabungan atau menurunkan investasi (misal, kebijakan kontraksi fiskal) akan mengarah kepada surplus transaksi berjalan. Sementara itu, kebijakan yang menurunkan tabungan atau meningkatkan investasi (misal kebijakan ekspansi fiskal) akan menyebabkan defisit transaksi berjalan (Mankiw, 2007).
A.P. Thirlwall pada tahun 1979 mengusulkan sebuah model yang menjelaskan bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi berbeda-beda setiap negara karena adanya perbedaan pada batas kemampuan neraca pembayaran (balance-of-payments constraints), yang timbul karena perbedaan elastisitas pendapatan ekspor dan impor (Pugno, 1998).
Model Thirlwall merupakan model untuk ekonomi terbuka dimana defisit transaksi berjalan tidak dibiayai dengan utang selamanya dan utang tersebut harus dibayar (Thirlwall, 2001). Model Thirlwall menyimpulkan bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi dibatasi oleh ketersediaan valuta asing (Moreno-Brid dan Perez, 1999).
Menurut model Thirlwall, dalam jangka panjang sebuah ekonomi tidak dapat tumbuh pada suatu tingkat pertumbuhan yang menghasilkan defisit neraca pembayaran yang semakin membesar. Oleh karena itu, tingkat pertumbuhan keseimbangan tercapai pada saat tingkat pertumbuhan impor sama dengan tingkat pertumbuhan ekspor (Turner, 1999).
Ekonomi Indonesia yang terbuka menyebabkan pertumbuhan ekonomi Indonesia dibatasi oleh kemampuan neraca pembayaran (balance of payments constrained economic growth). Dengan demikian kemampuan investasinya tergantung antara lain dari kemampuan untuk ekspor dan daya tarik Indonesia untuk menarik investasi asing. Berdasarkan model Thirlwall, defisit transaksi berjalan, yang didorong oleh impor barang-barang modal untuk investasi harus dibiayai dari surplus transaksi modal dan finansial.
Globalisasi ekonomi telah mendorong banyak negara mereformasi kebijakan ekonomi dari kebijakan yang berorientasi ke dalam (inward-oriented policies) menuju ke kebijakan yang berorientasi ke luar (outward-looking policies). Kebijakan yang berorientasi ekspor meliputi promosi ekspor secara aktif, mempertahankan keunggulan kompetitif produk utama ekspor, revitalisasi produk ekspor, dan meningkatkan daya saing melalui efisiensi dengan menghilangkan ekonomi biaya tinggi seperti tumpang tindih regulasi dan korupsi (Goeltom 2007).
2.3. Studi Empiris Tentang Kinerja Transaksi Berjalan
Calderón, Chong dan Loayza (2000) melakukan penelitian tentang faktor-faktor ekonomi yang mempengaruhi defisit transaksi berjalan di 44 negara berkembang untuk periode tahun 1966-95. Variabel-variabel kunci yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah pendapatan, transaksi berjalan, tabungan (publik dan swasta), nilai tukar riil, pengendalian neraca pembayaran, premi pasar gelap nilai tukar, pertumbuhan ekonomi negara industri, dan suku bunga internasional.
Hasil studi Calderón, Chong dan Loayza (2000) menunjukkan bahwa kenaikan pertumbuhan ekonomi domestik menghasilkan defisit transaksi berjalan yang lebih besar, kenaikan tabungan publik atau swasta berdampak positif terhadap transaksi berjalan, apresiasi nilai tukar riil berkaitan dengan defisit transaksi berjalan yang lebih besar, pertumbuhan ekonomi di negara industri yang lebih tinggi atau suku bunga internasional yang lebih tinggi mengurangi defisit transaksi berjalan di negara berkembang.
Kemudian Chinn dan Prasad (2003) dengan menggunakan sampel data yang cukup panjang (tahun 1971-1995) dari 18 negara industri dan 71 negara berkembang termasuk Indonesia menyimpulkan bahwa saldo anggaran pemerintah dan posisi aktiva luar negeri bersih awal berkorelasi positif dengan saldo transaksi berjalan. Khusus untuk negara berkembang, indikator kedalaman keuangan berkorelasi positif dengan saldo transaksi berjalan sedangkan indikator keterbukaan perdagangan internasional berkorelasi negatif dengan saldo transaksi berjalan.
Dengan menggunakan pendekatan vector autoregression (VAR), Ardiyanto (2006) mencari hubungan antara defisit transaksi berjalan dengan defisit fiskal di Indonesia dengan periode waktu 1981-2004. Berdasarkan kausalitas Granger, defisit transaksi berjalan menyebabkan defisit fiskal tetapi tidak sebaliknya. Adapun variabel makroekonomi seperti nilai tukar, suku bunga dan PDB; variabel suku bunga memiliki pengaruh positif yang mendorong baik defisit transaksi berjalan maupun defisit fiskal.
III. HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN
3.1. Kinerja Transaksi Berjalan Periode Tahun 1960-1979
Kinerja transaksi berjalan selama periode ini setiap tahun menunjukkan defisit kecuali tahun 1974 dan 1979.  Defisit ini disebabkan oleh surplus yang bersumber dari neraca perdagangan tidak mampu menutupi defisit yang berasal dari neraca jasa-jasa serta neraca pendapatan  sehingga transaksi berjalan mengalami defisit rata-rata sebesar 0,5% dari PDB.
Pertumbuhan ekspor yang lebih tinggi dibandingkan impor menyebabkan surplus neraca perdagangan. Ekspor mulai meningkat pada tahun 1966 dengan pertumbuhan rata-rata tahunan sebesar 29% untuk periode 1966-1979. Sementara itu, impor tumbuh pesat mulai tahun tahun 1967 dengan pertumbuhan rata-rata tahunan sebesar 28% untuk periode tahun 1967-1979.
Defisit neraca jasa terjadi karena Indonesia banyak menggunakan jasa pengangkutan dan jasa perjalanan dari penyedia jasa transportasi asing. Adapun defisit neraca pendapatan disebabkan oleh perusahaan minyak asing yang mengirimkan pendapatan investasi dan bunga ke perusahaan induknya di luar negeri.
Menurut Hill (2000) faktor rezim kurs yang mendorong kenaikan pesat pada ekspor karena Indonesia menggunakan manajemen nilai tukar yang aktif sebagai kebijakan ekonomi makronya (Hofman, Zhao dan Ishihara, 2007). Setelah melepas sistem nilai tukar jamak (multiple exchange rate system) yang berlaku pada tahun 1960-an dan mengadopsi nilai tukar yang konsisten pada tahun 1970, Indonesia mematok (peg) rupiah terhadap US$ pada tahun 1971 (Hill 2000) dan pada tahun 1978 Bank Indonesia melepas sistem patok (pegged system) serta mengadopsi nilai tukar mengambang terkelola (managed-floating). Selain kenaikan harga minyak dunia, devaluasi nilai tukar rupiah terhadap US$ sebesar 50% yang dilakukan pemerintah pada bulan November 1978 memberi andil pada pembalikkan posisi kinerja transaksi berjalan dari defisit sebesar 2,9% dari PDB di tahun 1978 menjadi surplus sebesar 1,9% dari PDB pada tahun 1979.

Grafik-3.1: Kinerja Transaksi Berjalan Periode Tahun 1960-1979
Sumber: Bank Indonesia dan BPS, diolah. (Catatan: Grafik Transaksi Berjalan (% PDB) dimulai pada tahun 1967 karena data nilai tukar rupiah baru tersedia mulai tahun 1967).
Peranan ekspor minyak semakin meningkat dari 30% pada tahun 1960, mencapai puncak pada tahun 1975 dengan peranan 74% kemudian menurun menjadi 64% pada 1979. Faktor harga minyak dunia sangat menentukan karena selama tahun 1970-an OPEC telah menaikkan harga minyak dua kali yaitu pada tahun 1973 dan 1979 (satu tahun setelah pemerintah mendevaluasi rupiah terhadap US$ sebesar 50%). Indonesia sebagai negara pengekspor minyak memperoleh keuntungan dari harga minyak yang tinggi ini. Ekspor minyak tumbuh sangat signifikan pada tahun 1972-1974 masing-masing sebesar 111%, 54%, dan 239%.  Pertumbuhan yang tinggi ini disebabkan oleh kenaikan harga minyak mentah dunia pada tahun 1972-1974 yang tumbuh masing-masing sebesar 8%, 54%, dan 291% karena pada tahun 1973 terjadi perang Arab-Israel dan embargo minyak Arab. Kenaikan harga minyak dunia ini mampu membalikkan posisi defisit transaksi berjalan sebesar 4,9% dari PDB pada tahun 1973 menjadi surplus sebesar 10,6% dari PDB pada tahun 1974. Hal yang sama terjadi pada tahun 1979 di mana ekspor minyak masih tumbuh cukup bagus sebesar 33%.
Kebijakan pemerintah yang mempengaruhi kinerja transaksi berjalan pada periode ini dapat dijelaskan berikut ini. Kebijakan pemerintah Orde Lama antara lain Pembangunan Nasional Semesta Berencana (PNSB) yang berlandaskan Manifesto Politik 1960, Deklarasi Ekonomi pada tahun 1963, penerbitan peraturan di bidang perdagangan, kebijakan perbankan yang mengarah kepada dualisme pengelolaan moneter. Adapun kebijakan pemerintah Orde Baru antara lain kebijakan kredit yang lebih selektif, pemberlakuan beberapa undang-undang seperti undang-undang pokok perbankan, perkoperasian, bank sentral, PMA dan PMDN, serta kebijakan pembangunan lima tahun (PELITA) (Suroso, 1994).
Menurut Hill (2000) kebijakan dan perkembangan ekonomi Indonesia pada periode ini bercirikan rehabilitasi dan pemulihan serta pertumbuhanan ekonomi yang cepat di mana selama periode 1968-1979 pertumbuhan ekonomi rata-rata mencapai sebesar 7,5% di mana Indonesia memulai rencana pembangunan lima tahun pada 1969 yang memfokuskan pada pembangunan pertanian.
Kenaikan harga minyak OPEC yang terjadi selama tahun 1970-an menyebabkan Indonesia sebagai negara pengekspor minyak mendapat keuntungan dari tingginya harga minyak dunia dan menginvestasikan pendapatan pajak minyak pada proyek-proyek pembangunan khususnya irigasi dan infrastruktur fisik, BUMN, serta industri dasar seperti industri baja dan konkrit dalam rangka memperkuat basis industri domestik. Pada saat pemerintah menetapkan sasaran dan melaksanakan kebijakan industrialisasi, pihak swasta juga dilibatkan melalui proyek-proyek investasi skala besar. Kegiatan ekonomi domestik yang tinggi ini mendorong peningkatan impor barang dan jasa-jasa.
            Sebagian besar defisit transaksi berjalan pada periode ini dibiayai dari sumber pembiayaan yang berasal dari pampasan perang (reparations), pinjaman luar negeri (loan) termasuk hibah (grant), dan PL 480 yaitu bantuan dari pemerintah AS untuk impor bahan pangan. Peranan pinjaman luar negeri sangat dominan selama periode 20 tahun ini yang mencapai US$9,9 miliar, diikuti oleh  PL 480 yang mencapai US$2,1 miliar dan pampasan perang yang mencapai US$0,7 miliar.
3.2. Kinerja Transaksi Berjalan Periode Tahun 1980-1991
Melanjutkan surplus di tahun 1979, transaksi berjalan kembali mencatat surplus pada tahun 1980 karena ekspor tumbuh 47% dan impor tumbuh 42% sehingga terjadi surplus transaksi berjalan sebesar US$2,8 miliar. Untuk tahun 1981-1991 transaksi berjalan mencatat defisit. Surplus neraca perdagangan dan transfer berjalan pada periode tersebut tidak mampu menutupi defisit neraca jasa-jasa dan pendapatan yang semakin membesar. Pertumbuhan ekspor masih cukup tinggi pada periode ini walaupun pada tahun 1982,1983, 1985, dan 1986 ekspor mengalami kontraksi yang cukup dalam dengan pertumbuhan negatif sebesar 5% - 22%. Hal ini diakibatkan oleh turunnya harga minyak pada tahun-tahun tersebut. Begitu pula dengan impor yang masih tumbuh dengan cukup tinggi kecuali pada tahun 1983-1986 yang mengalami pertumbuhan negatif. Hal ini disebabkan menurunnya permintaan domestik karena jatuhnya harga minyak dunia pada tahun 1983 dan 1986. Penurunan harga minyak dunia ini menyebabkan peningkatan defisit transaksi berjalan dari 0,6% dari PDB pada tahun 1981 menjadi 6,1% dari PDB pada tahun 1982 yang kemudian meningkat mencapai level tertinggi sebesar 7,5% dari PDB pada tahun 1983. Penurunan harga minyak dunia juga menyebabkan peranan ekspor minyak terhadap total ekspor mengalami penurunan yaitu dari 64% pada tahun 1980 menjadi 25% pada tahun 1991.
Grafik-3.2: Kinerja Transaksi Berjalan Periode Tahun 1980-1991
Sumber: Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan
Dalam periode ini, cukup banyak kebijakan ekonomi pemerintah yang mempengaruhi kinerja transaksi berjalan terkait dengan dengan penyesuaian terhadap penurunan harga minyak serta adanya liberalisasi (reformasi kebijakan ekonomi) dan pemulihan ekonomi (Hill, 2000). Program penyesuaian struktural dan reformasi ekonomi pada tahun 1980-an meliputi empat bidang: (1) manajemen nilai tukar, (2) kebijakan fiskal, (3) kebijakan moneter dan keuangan, dan (4) sektor rill dan perdagangan. Dalam bidang manajemen nilai tukar, pemerintah melakukan devaluasi kurs Rp/USD pada bulan Maret 1983 dan September 1986 sehingga rupiah terdepresiasi masing-masing sekitar 28%, dan 45% (Hill, 2000). Setelah tahun 1986, nilai tukar relatif stabil dan tidak ada kebijakan devaluasi yang diambil. Reformasi kebijakan fiskal meliputi pengurangan belanja subsidi dan pembangunan serta reformasi pajak dengan memperkenalkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dan Undang-Undang Pajak Penghasilan tahun 1983.
Sektor moneter dan finansial direformasi melalui beberapa paket kebijakan. Paket pertama adalah Paket Juni 1983 yang menghilangkan batas atas kredit bank, membiarkan suku bunga bergerak mengikuti kekuatan pasar, memberikan peran yang lebih besar kepada bank swasta, dan menghidupkan kembali pasar saham. Paket deregulasi perbankan Oktober 1988 menghilangkan hambatan masuk ke dalam industri perbankan. Kemudian, Paket Desember 1988 mengatur kegiatan lembaga keuangan bukan bank (LKBB), membolehkan investor asing masuk ke perusahaan sekuritas, dan membatasi perlakuan khusus kepada BUMN untuk kegiatan bank investasi (Handoko, 2011). Paket kebijakan di sektor moneter dan finansial telah memberikan dampak yang cukup besar terhadap pengembangan dan efisiensi sektor jasa keuangan di Indonesia sehingga memudahkan para eksportir dan importir melakukan kegiatan mereka di bidang perdagangan internasional melalui penyediaan sumber pendanaan dan produk jasa keuangan.
Sektor riil direformasi pada tahun 1986 melalui dua paket yaitu Paket Mei dan Paket Oktober. Paket Mei mereformasi kegiatan yang terkait investasi dan ekspor, seperti penyederhanaan persetujuan investasi dan pembebasan bea keluar. Paket Oktober mengganti sistem bukan tarif dengan sistem tarif dan memperbaiki bea masuk dan bea keluar. Paket kebijakan sektor riil mempengaruhi transaksi berjalan melalui peningkatan investasi, efisiensi dan kapasitas produksi nasionl sehingga mampu meningkatkan ekspor nonmigas.
Reformasi kebijakan ekonomi yang telah dijelaskan di atas membuahkan hasil yang ditunjukkan oleh penurunan defisit transaksi berjalan pada tahun-tahun 1984-1985 yaitu dari 7,5% dari PDB pada tahun 1983 menjadi 2,2% dari PDB masing-masing pada tahun 1984 dan 1985, serta periode tahun 1987-1989 yaitu dari 5,7% dari PDB pada tahun 1986 menjadi 3% dari PDB pada tahun 1987 dan masing-masing 1,8% dan 1,4% dari PDB pada tahun 1988 dan 1989.
            Pembiayaan defisit transaksi berjalan pada periode thaun 1981-1991 bersumber dari sektor publik dalam bentuk bantuan IGGI (Inter-Governmental Group on Indonesia) dan  non-IGGI serta sektor swasta dalam bentuk PMA. Peranan sektor publik/pemerintah masih dominan di mana bantuan IGGI selama 11 tahun ini mencapai US$42,9 miliar yang sebagian besar dalam bentuk bantuan proyek dan bantuan non-IGGI yang mencapai US$10,0 miliar. Sementara itu, peranan sektor swasta masih kecil di mana PMA mencapai US$5,7 miliar. Peran PMA yang masih kecil juga ditunjukkan oleh saldo dasar (basic balance) yang merupakan penjumlahan transaksi berjalan dan PMA masih negatif sehingga pembiayaan defisit transaksi berjalan masih bertumpu pada pinjaman luar negeri.
3.3. Kinerja Transaksi Berjalan Periode Tahun 1992-2003
Transaksi berjalan pada periode ini ditandai oleh krisis keuangan Asia yang menimpa Indonesia pada bulan Juli 1997. Sebelum krisis keuangan Asia 1997/1998, Indonesia mengalami transaksi berjalan yang defisit untuk mendukung pertumbuhan ekonomi domestik yang sangat pesat dimana selama periode tahun 1992-1996 ekonomi mengalami pertumbuhan rata-rata 7,3%. Pertumbuhan ekonomi di atas 7% ini telah mendorong defisit transaksi berjalan di atas 3% dari PDB yaitu pada tahun 1995 dan 1996 masing-masing sebesar 3,3% dari PDB dan 3,4% dari PDB sehingga menempatkan Indonesia pada situasi yang rentan terhadap krisis. Defisit transaksi berjalan bersumber dari surplus neraca perdagangan yang rendah di bawah US$10 miliar sehinga tidak mampu mengimbangi kenaikan defisit pada neraca jasa-jasa dan neraca pendapatan.
Grafik-3.3: Kinerja Transaksi Berjalan Periode Tahun 1992-2003
Sumber: Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan
Krisis keuangan Asia ini sangat mempengaruhi pertumbuhan ekspor dan impor. Pada awal terjadinya krisis yaitu tahun 1997, ekspor bahkan masih mampu tumbuh sebesar 12%. Pertumbuhan ini dua kali lipat dibandingkan pertumbuhan ekspor tahun 1996. Akan tetapi pada tahun 1998 ekspor mengalami kontraksi sebesar 11%. Hal ini menunjukkan bahwa walaupun pasar ekspor Indonesia di AS dan Eropa tidak terimbas krisis, pasar ekspor Indonesia di Asia terganggu akibat negara-negara Asia ikut terkena krisis. Dampak krisis keuangan Asia terhadap impor Indonesia jauh lebih besar. Pada tahun 1997, impor tumbuh hanya 4%, turun dari tahun sebelumnya yang tumbuh sebesar 8%. Pada 1998 impor mengalami pertumbuhan negatif sebesar 31%. Hal ini disebabkan krisis keuangan Asia menyebabkan ekonomi nasional turun sebesar 13,13% sehingga permintaan domestik turun drastis yang akhirnya berdampak pada pertumbuhan impor yang negatif. Trauma krisis mendorong negara-negara Asia mengakumulasi cadangan devisa, tanpa kecuali Indonesia dengan menerapkan kebijakan yang mendorong surplus pada transaksi berjalan yang bersumber dari surplus neraca perdagangan.
Kebijakan yang cukup menonjol yang mempengaruhi kinerja transaksi berjalan dalam kurun waktu tahun 1992-2003 dijelaskan berikut ini. Sejak awal tahun 1990-an Bank Indonesia mempertahankan stabilitas rupiah dengan mengelola pergerakan rupiah terhadap sekeranjang mata uang (Hill 2000). Setelah rupiah stabil selama sepuluh tahun, nilai tukar rupiah terhadap US$ menjadi terlalu kuat (overvalued). Sehingga, selama krisis keuangan Asia tahun 1997, Bank Indonesia tidak dapat mempertahankan kestabilan rupiah. Pada pertengahan bulan Agustus 1997, Bank Indonesia mengakhiri pita intervensi nilai tukar yang diadopsi pada tahun 1992 dan melaksanakan rezim nilai tukar mengambang bebas (free floating exchange rate system) (Nasution 1999). Sistem nilai tukar ini telah memperbaiki kinerja transaksi berjalan pasca krisis yang mencatat suplus yang cukup besar sehingga cadangan devisa terus bertambah.
Proses liberalisasi dan pemulihan ekonomi terus dilakukan seperti melalui regulasi di sektor riil dengan terbitnya peraturan pemerintah pada tahun 1994 yang memungkinkan investor asing memperoleh kepemilikan 100%. Sementara itu, ada dua kebijakan fiskal penting selama periode ini yaitu kebijakan desentralisasi fiskal yang diterapkan pada 1 Januari 2001 dan kebijakan fiskal melalui UU Keuangan Negara 2003 yang membatasi defisit fiskal maksimun 3% dari PDB. Kemudian pada tahun 2003 Indonesia keluar dari program IMF. Adapun dampak regulasi sektor riil terhadap transaksi berjalan adalah adanya peningkatan defisit transaksi berjalan yang cukup tajam pada tahun 1995 dan 1996 yaitu dari defisit 1,7% dari PDB pada tahun 1994 menjadi defisit masing-masing sebesar 3,3% dan 3,4% dari PDB pada tahun 1995 dan 1996. Hal ini disebabkan oleh peningkatan investasi langsung masing-masing sebesar 101,7% dan 41,3% pada tahun 1995 dan 1996 yang mendorong peningkatan kebutuhan impor barang modal.
             Defisit transaksi berjalan yang terjadi selama kurun waktu tahun 1992-2003 dibiayai oleh melalui investasi langsung neto sebesar US$11,6 miliar dan investasi portofolio neto sebesar US$10,9 miliar. Perlu diperhatikan bahwa saldo dasar (basic balance) masih negatif sehingga pembiayaan defisit transaksi berjalan bertumpu pada arus modal asing jangka pendek (investasi portofolio). Selain itu, pembayaran pelunasan pinjaman luar negeri semakin besar yang ditunjukkan oleh defisit investasi lainnya neto selama periode tahun 1992-2003 ini mencapai US$18,1 miliar. Kedua hal ini mengindikasikan bahwa defisit transaksi berjalan berada dalam kondisi yang berbahaya (unsustainable).
3.4. Kinerja Transaksi Berjalan Periode Tahun 2004-2012
Secara tahunan, kinerja transaksi berjalan dalam periode ini menunjukkan surplus kecuali defisit pada tahun 2012 yang mencapai 2,7% dari PDB. Namun demikian terdapat beberapa episode defisit transaksi berjalan yaitu pada triwulan I-2004, triwulan III-2005, dan triwulan II s.d. IV 2008, triwulan IV-2011 dan sepanjang tahun 2012.
Grafik 3.4: Kinerja Transaksi Berjalan Periode Tahun 2004-2012
Sumber: Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan
Transaksi berjalan pada periode ini ditandai oleh beberapa peristiwa dan kebijakan ekonomi penting yaitu pada tahun 2004 Indonesia untuk pertama kalinya menjadi negara pengimpor bersih minyak mentah. Harga minyak dunia yang tinggi selama tahun 2005 mendorong pemerintah untuk menaikkan harga BBM bersubsidi dua kali. Pertama, pada 1 Maret 2005 harga BBM bersubsidi dinaikkan dengan kenaikan rata-rata 29% dan kedua, pada 1 Oktober 2005 harga BBM bersubsidi dinaikan dengan kenaikan rata-rata 114%. Kemudian pada tahun 2008 karena kenaikan harga minyak mentah dunia yang tinggi, pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi menjadi Rp6.000/liter. Harga premium ini bertahan selama bulan Mei-November 2008. Akibat krisis keuangan global tahun 2008 harga minyak mentah dunia berbalik turun sehingga Pemerintah menurunkan harga BBM bersubsidi (premium) menjadi Rp5.500/liter pada awal Desember 2008 yang kemudian diturunkan lagi menjadi Rp5.000/liter pada pertengahan Desember 2008 dan kembali diturunkan menjadi Rp4.500/liter pada pertengahan Januari 2009.
Kenaikan harga BBM bersubsidi berpengaruh pada penurunan volume impor minyak yang membantu perbaikan kinerja transaksi berjalan. Pada periode dimana terjadi kenaikan harga BBM bersubsidi yaitu Q1-2005 dan Q4-2005 volume impor minyak mengalami penurunan masing-masing sebesar 7,5% dan 16,1%. Hal yang sama terjadi pada tahun 2008 dimana kenaikan harga BBM bersubsidi yang berlaku selama bulan Mei-November 2008 telah mengurangi volume impor minyak sebesar 7,2% pada Q3-2008.
Kejadian penting lain yang mempengaruhi transaksi berjalan adalah krisis keuangan global yang terjadi pada tahun 2008/2009 yang bermula dari krisis subprime mortgage di AS. Krisis mengakibatkan penurunan permintaan produk ekspor Indonesia yang ditunjukkan oleh penurunan pertumbuhan ekonomi negara-negara mitra dagang utama Indonesia. Krisis ini dilanjutkan dengan krisis utang zona Euro dan ketidakpastian pemulihan ekonomi AS pada tahun 2011 dan 2012 yang menyebabkan pertumbuhan mitra dagang kembali turun. Krisis keuangan global ini telah mengakibatkan kinerja transaksi berjalan mengalami defisit pada triwulan II s.d. IV 2008 masing-masing sebesar 0,8%, 0,7%, dan 0,5% dari PDB.
Beberapa kebijakan ekonomi yang telah dikeluarkan untuk menanggulangi pelebaran defisit transaksi berjalan pada tahun 2012 adalah bertujuan untuk mendorong ekspor, menekan impor, serta perbaikan iklim investasi sehingga dapat memperkuat sustainabilitas defisit transaksi berjalan. Kebijakan yang bersifat jangka menengah dan panjang dilakukan melalui instrumen fiskal. Adapun instrumen fiskal yang digunakan adalah kebijakan tax holiday  dan tax allowance serta peraturan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) dan Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP). Tax holiday dan tax allowance merupakan fasilitas untuk mendorong investasi yang dapat menghasilkan barang modal sehingga dapat mengurangi ketergantungan terhadap impor. Sementara BMAD dan BMTP merupakan fasilitas pembebasan bea masuk yang ditujukan untuk pengurangan ketergantungan impor untuk barang jadi sehinga dapat melindungi industri dalam negeri dari peningkatan impor barang sejenis. Sementara itu, kebijakan yang bersifat jangka pendek dilakukan melalui kebijakan moneter. Bank Indonesia mengeluarkan kebijakan makroprudential berupa implementasi loan to value (LTV) dan larangan pemanfaatan Kredit Tanpa Agunan (KTA) untuk uang muka kredit yang bertujuan untuk mengendalikan pertumbuhan kredit.
Terkait dengan pembiayaan defisit transaksi berjalan, saldo dasar (basic balance) yang negatif terjadi pada triwulan I 2004, triwulan II 2012 dan triwulan IV 2012. Saldo dasar untuk keseluruhan tahun 2012 juga negatif. Hal ini menunjukkan ketidaksinambungan defisit transaksi berjalan (unsustainable) karena pembiayaannya bertumpu pada investasi portofolio yang bersifat jangka pendek dengan volatilitas yang tinggi.
            Selanjutnya pembahasan akan dilakukan secara detail per pos yang ada pada transaksi berjalan yaitu neraca perdagangan, neraca jasa-jasa, neraca pendapatan, dan neraca transfer berjalan.
3.4.1. Kinerja Neraca Perdagangan
Kondisi neraca perdagangan dari tahun 2004 s.d. 2012 dapat dilihat pada Tabel 3.1. Pelebaran defisit transaksi berjalan selama tahun 2012 disebabkan penurunan surplus neraca perdagangan nonmigas dan peningkatan defisit neraca perdagangan migas. Surplus neraca perdagangan nonmigas turun 75,8% dari US$34,8 miliar (2011) menjadi US$8,4 miliar (2012). Defisit neraca perdagangan migas semakin melebar dari US$0,7 miliar (2011) menjadi US$5,1 miliar (2012).
Tabel 3.1: Neraca Perdagangan (US$ miliar) Tahun 2004-2012

2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
Neraca Perdagangan-Barang
20.2
17.5
29.7
32.8
22.9
30.9
30.6
34.8
8.4
-   Ekspor, fob.
70.8
87.0
103.5
118.0
139.6
119.6
158.1
200.8
188.1
-   Impor, fob.
-50.6
-69.5
-73.9
-85.3
-116.7
-88.7
-127.4
-166.0
-179.7
1. Neraca Perdagangan Nonmigas
15.0
13.3
22.9
27.1
15.1
25.6
27.4
35.4
13.5
1.1 Ekspor Nonmigas, fob.
54.5
66.8
80.6
93.1
107.9
99.0
129.4
162.7
152.6
1.2 Impor Nonmigas, fob.
-39.5
-53.4
-57.7
-66.1
-92.8
-73.5
-102.0
-127.3
-139.0
2. Neraca Perdagangan Migas
5.1
4.2
6.8
5.7
7.8
5.4
3.2
-0.7
-5.1
2.1 Ekspor Migas, fob.
16.3
20.2
23.0
24.9
31.7
20.6
28.7
38.1
35.6
2.2 Impor Migas, fob.
-11.2
-16.0
-16.2
-19.2
-23.9
-15.2
-25.4
-38.7
-40.7
3. Neraca Perdagangan Minyak
-3.3
-6.5
-5.2
-6.7
-8.4
-4.0
-8.7
-17.5
-20.3
3.1 Ekspor Minyak, fob.
7.6
9.5
10.9
12.5
15.4
10.8
15.7
19.6
17.9
3.2 Impor Minyak, fob.
-10.9
-16.0
-16.1
-19.2
-23.7
-14.8
-24.3
-37.1
-38.2
4. Neraca Perdagangan Gas
8.5
10.7
12.0
12.3
16.1
9.4
11.9
16.9
15.2
4.1 Ekspor Gas, fob.
8.7
10.7
12.0
12.4
16.3
9.8
13.0
18.5
17.7
4.2 Impor Gas, fob.
-0.2
0.0
0.0
0.0
-0.2
-0.4
-1.1
-1.6
-2.5
Sumber: Bank Indonesia
Perkembangan neraca perdagangan dapat dilihat dari sisi volume maupun sisi harga. Perkembangan sisi volume dipengaruhi oleh permintaan produk ekspor Indonesia yang ditunjukkan oleh pertumbuhan ekonomi negara-negara mitra dagang utama Indonesia. Permintaan produk ekspor Indonesia turun dari 5,5% pada tahun 2007 menjadi 2,1% pada tahun 2008 dan mengalami kontraksi sebesar 1,3% pada tahun 2009 akibat krisis keuangan global. Akibat krisis utang Eropa, permintaan produk ekspor Indonesia kembali turun menjadi 3,7% pada tahun 2011 dan 3,4% pada tahun 2012 yang masih di bawah angka sebelum krisis (Grafik 3.5). Menurut Handoko (2010) pertumbuhan ekonomi negara mitra dagang cukup signifikan mempengaruhi volume ekspor di mana setiap 1% kenaikan pertumbuhan PDB mitra dagang utama Indonesia maka volume ekspor Indonesia akan naik sebesar 0,67%.
Grafik 3.5: Pertumbuhan Negara Mitra Dagang Utama Indonesia Tahun 2004-2012[1]
Sumber: CEIC diolah
            Perkembangan sisi harga dipengaruhi oleh perkembangan harga komoditas internasional. Dengan menggunakan tahun dasar 2005, Grafik 3.6 menunjukkan bahwa krisis keuangan global tahun 2008/09 menyebabkan penurunan harga komoditas internasional di mana pada tahun 2009 harga energi turun sebesar 37,3% dan harga non-energi turun sebesar 22%. Kemudian krisis utang Eropa juga mendorong pelemahan harga komoditas internasional di mana pada tahun 2012 harga energi dan non-energi  turun masing-masing sebesar 0,4% dan 9,5%. Menurut Handoko (2010) indeks harga energi (batu bara, gas alam, dan minyak mentah) secara statistik sangat signifikan menjelaskan harga ekspor di mana setiap 1% kenaikan indeks harga energi maka harga ekspor Indonesia akan naik sebesar 0,12%.
Grafik 3.6: Indeks Harga Komoditas Energi dan Non-energi Tahun 2004-2012
Sumber: Bank Dunia
Dampak krisis ekonomi global tahun 2008/2009 menyebabkan permintaan dari negara-negara mitra dagang utama Indonesia menurun (Grafik 3.5) dan harga komoditas melemah (Grafik 3.6) sehingga menyebabkan ekspor berkontraksi sebesar 14,3% pada 2009. Akan tetapi neraca perdagangan pada tahun 2009 masih mencatat surplus yang meningkat. Hal ini terjadi karena impor turun lebih besar dibandingkan ekspor karena harga minyak mentah yang lebih rendah dan kontraksi investasi dalam negeri telah mengurangi impor sehingga impor turun lebih besar yaitu 24,0%.
Pasca krisis keuangan global, kegiatan ekspor dan impor kembali meningkat pada tahun 2010 dan 2011 sehingga ekspor mencapai angka di atas US$200 miliar. Akan tetapi, krisis utang Eropa yang semakin memburuk dan ketidakpastian pemulihan ekonomi AS menyebabkan melemahnya pertumbuhan ekonomi global. Hal ini berdampak pelemahan permintaan negara-negara mitra dagang utama Indonesia dan penurunan harga komoditas ekspor sehingga kinerja ekspor Indonesia mengalami penurunan sebesar 6,3% pada tahun 2012. Sementara itu, kuatnya permintaan domestik[2] telah menaikkan impor nonmigas dan minyak ke Indonesia, yang menurunkan surplus neraca perdagangan nonmigas dan defisit neraca perdagangan minyak semakin membesar.
Defisit neraca perdagangan minyak selama periode ini cenderung terus meningkat karena sebagian besar lapangan minyak adalah lapangan tua dan masih sedikitnya pembukaan lapangan baru. Indonesia telah menjadi pengimpor bersih (net importer) minyak sejak tahun 2004 dan keluar dari OPEC pada tahun 2008. Harga minyak yang tinggi berisiko terhadap defisit neraca perdagangan minyak yang terus membesar karena konsumsi BBM tetap tinggi sedangkan produksi minyak cenderung menurun. Selama triwulan IV-2012 konsumsi BBM tumbuh 5.3% (yoy) yaitu dari 114,4 juta barel pada triwulan IV-2011 menjadi 120,5 juta barel. Sementara produksi minyak terus turun yaitu dari 0,893 juta barel per hari pada triwulan IV-2011 menjadi 0,836 juta barel per hari pada triwulan IV-2012 atau turun sebesar 6,4% (yoy) yang merupakan pencapaian terendah.
Defisit neraca perdagangan migas dengan kecenderungan membesar yaitu dari US$0,7 miliar (2011) menjadi US$5,1 miliar (2012) disebabkan oleh peningkatan impor minyak dan hasil minyak (BBM) untuk memenuhi permintaan domestik yang kuat baik untuk kebutuhan investasi maupun konsumsi. Sementara itu, impor gas juga mengalami peningkatan karena kebijakan konversi gas telah mendorong peningkatan permintaan gas dan pada saat yang sama sebagian besar produksi gas diekspor. Selain itu, kebijakan subsidi BBM di dalam negeri juga turut mendorong peningkatan konsumsi BBM. Pertumbuhan ekonomi di atas 6% selama tahun 2010-2012 serta disparitas harga antara BBM bersubsidi dan BBM nonsubsidi yang semakin besar menyebabkan peningkatan konsumsi BBM bersubsidi sehingga mendorong pelebaran defisit transaksi berjalan melalui peningkatan impor BBM.
Peningkatan konsumsi BBM disebabkan oleh tingginya penggunaan BBM oleh sektor transportasi (60%), industri (24%), dan listrik (13%). Sedangkan untuk kebutuhan rumah tangga cenderung menurun. Kenaikan konsumsi BBM sektor listrik sejalan dengan naiknya kebutuhan energi  untuk menunjang kegiatan produksi di dalam negeri yang meningkat. Peningkatan konsumsi BBM cenderung untuk keperluan konsumtif yang diindikasikan tingginya konsumsi BBM bersubsidi oleh transportasi darat yang menghabiskan 97.33% volume BBM bersubsidi di mana 53% merupakan mobil pribadi dan 40% motor (Hidayat, 2012).
3.4.2. Kinerja Neraca Jasa-Jasa
Kondisi defisit neraca jasa-jasa dari tahun 2004 s.d. 2012 dapat dilihat pada Tabel 3.2. Defisit neraca jasa-jasa terus mengalami peningkatan yaitu dari US$8,8 milliar tahun 2004 menjadi US$10,8 miliar tahun 2012.
Tabel 3.2: Defisit Neraca Jasa-Jasa (US$ miliar) Tahun 2004-2012
Pos Neraca Jasa
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
Total Neraca Jasa
-8.8
-9.1
-9.9
-11.8
-13.0
-9.7
-9.3
-10.6
-10.8
A. Transportasi
-3.2
-4.6
-6.1
-7.3
-11.1
-4.1
-6.0
-8.7
-9.1

a. Penumpang
-0.6
-0.6
-1.0
-1.2
-2.5
-1.1
-1.4
-1.4
-1.6

b. Barang
-2.9
-4.3
-5.1
-6.1
-8.7
-3.2
-4.8
-7.5
-7.6

c. Lainnya
0.4
0.3
0.1
0.0
0.1
0.3
0.2
0.1
0.0
B. Perjalanan
1.3
0.9
0.4
0.4
1.8
0.3
0.6
1.7
1.6
C. Komunikasi
0.5
0.5
0.5
0.7
0.3
0.6
0.6
0.6
0.4
D. Konstruksi
-0.2
-0.2
-0.5
-0.3
-0.1
-0.2
-0.1
0.1
0.2
E. Asuransi
-0.3
-0.3
-0.4
-0.6
-0.7
-1.3
-1.1
-1.3
-1.1
F. Keuangan
-0.3
-0.2
-0.2
-0.1
0.0
-0.2
-0.1
-0.2
-0.3
G. Komputer dan Informasi
-0.3
-0.4
-0.5
-0.5
-0.5
-0.5
-0.5
-0.5
-0.5
H. Royalti & Imbalan Lisensi
-0.8
-0.7
-0.9
-1.1
-1.3
-1.5
-1.6
-1.7
-1.7
I. Bisnis Lainnya
-5.3
-4.1
-2.5
-3.2
-1.6
-3.0
-1.1
-0.7
-0.1
J. Personal, Kultural & Rekreasi
-0.1
-0.1
-0.1
-0.1
0.0
-0.1
0.0
-0.1
-0.1
K. Jasa Pemerintah
0.1
0.1
0.2
0.2
0.3
0.3
0.1
0.0
0.0
Sumber: Bank Indonesia
Dari 11 jenis jasa tersebut, jasa transportasi merupakan penyumbang defisit neraca jasa-jasa terbesar yang mencerminkan rata-rata 64% dari defisit tersebut selama periode tahun 2004-2012. Di dalam jasa transportasi terdapat jasa angkutan barang (freight) yang terkait dengan aktivitas perdagangan internasional sehingga jika kegiatan impor semakin meningkat maka defisit neraca jasa-jasa juga akan meningkat karena kegiatan impor menggunakan maskapai pelayaran asing. Potensi risiko akan semakin tinggi pada defisit neraca jasa jika tarif freight juga mengalami peningkatan.
Defisit jasa transportasi meningkat dari US$3,2 miliar pada tahun 2004 menjadi US$9,1 miliar pada tahun 2012 karena terjadi peningkatan pembayaran jasa angkutan barang (freight) dari US$2,9 miliar (2004) menjadi US$7,6 miliar (2012) kepada pelayaran asing untuk kegiatan impor serta peningkatan transportasi penumpang yaitu penduduk yang ke luar negeri dari US$0,6 miliar (2004) menjadi US$1,6 miliar (2012) melalui maskapai penerbangan yang banyak menyewa pesawat dari luar negeri.
Peningkatan defisit pada jasa transportasi angkut barang (freight) setiap tahunnya antara lain disebabkan oleh masih dikuasainya pelayaran oleh kapal asing. Kapal berbendara asing menguasai 78% jumlah kapal, 94% daya angkut, dan 90% muatan ekspor dan impor. Sedangkan kapal berbendara Indonesia hanya menguasai kapal-kapal dengan daya angkut yang relatif kecil (Kementerian Perhubungan, 2011).
Demikian juga dengan jasa asuransi yang mengalami peningkatan defisit dari US$0,3 miliar (2004) menjadi US$1,1 miliar (2012). Defisit pada jasa asuransi disebabkan karena jumlah premi yang dibayarkan ke luar negeri jauh lebih besar dibandingkan dengan premi yang masuk ke dalam negeri karena ekspansi asuransi asing ke Indonesia dan kegiatan di sektor perdagangan & transportasi yang banyak menggunakan asuransi asing. Premi tersebut  didominasi oleh jenis asuransi umum/asuransi kerugian yang mempunyai karakteristik yang unik yaitu suatu perusahaan asuransi tidak dapat berdiri sendiri dan selalu memerlukan dukungan (back-up) dari perusahaan asuransi lainnya (reasuransi). Oleh karena karakteristik tersebut, perusahaan asuransi di Indonesia masih tergantung pada perusahaan reasuransi asing. Faktor-faktor yang menyebabkan antara lain:
a.   Retensi (kemampuan menyerap) perusahaan tergantung modal sendiri (masalah permodalan). Persyaratan ekuitas bagi perusahaan asuransi Indonesia masih rendah, sehingga retensi juga masih rendah;
b.   Saat ini hanya ada empat perusahaan reasuransi lokal, yaitu PT. Maskapai Reasuransi Indonesia Tbk. (Marein), PT. Reasuransi Nasional Indonesia (Nas Re), PT. Tugu Reasuransi Indonesia (Tugu Re), dan PT. Reasuransi Internasional Indonesia (ReINDO) dimana retensi keempat perusahaan reasuransi tersebut masih sangat terbatas;
c.   Perusahaan asuransi Indonesia ‘dimudahkan’ untuk menggunakan perusahaan reasuransi asing. Kepmenkeu Nomor 426/KMK.06/2003 tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi hanya mensyaratkan perusahaan asuransi untuk setidaknya menggunakan satu perusahaan reasuransi lokal (Noor, 2012).
Demikian pula defisit yang terjadi secara terus menerus pada jasa royalti & lisensi yang meningkat dari US$0,8 miliar (2004) menjadi US$1,7 miliar (2012) karena peningkatan setoran royalti & lisensi ke kantor pusat di luar negeri dari kegiatan waralaba asing di Indonesia.
Sementara itu, ada tiga jasa yang mencatat surplus pada neraca jasa-jasa yaitu jasa perjalanan (travel), jasa komunikasi, dan jasa pemerintah. Surplus jasa perjalanan bersumber dari wisatawan asing yang berkunjung ke Indonesia. Jumlah wisatawan asing ini dipengaruhi oleh kondisi perekonomian negara asal mereka dan kondisi keamanan di Indonesia. Jumlah pelawat yang berkunjung ke Indonesia (wisman/inbound traveler) terus mengalami kenaikan dari 6,5 juta orang pada tahun 2009 menjadi 8,1 juta orang pada tahun 2012 atau tumbuh 24,6%. Sedangkan, jumlah pelawat ke luar negeri (wisnas/outbound traveler) tumbuh lebih tinggi 28,8% yaitu dari 5,9 juta orang pada tahun 2009 menjadi 7,6 juta orang. Kenaikan jumlah wisnas yang diikuti dengan peningkatan pengeluaran jasa perjalanan menyebabkan surplus jasa perjalanan turun.

3.4.3. Kinerja Neraca Pendapatan
Kondisi defisit neraca pendapatan dari tahun 2004 s.d. 2012 dapat dilihat pada Tabel 3.3. Defisit neraca pendapatan terus mengalami peningkatan yaitu dari US$10,9 milliar tahun 2004 menjadi US$25,8 miliar tahun 2012. Defisit ini bersumber dari arus keluar kompensasi tenaga kerja dan arus keluar pendapatan investasi. Arus keluar dari kompensasi tenaga kerja terus meningkat dari US$0,2 miliar (2005) menjadi US$1,0 miliar pada tahun 2012. Begitu juga dengan arus keluar dari pendapatan investasi yang meningkat lebih dari dua kali lipat yaitu dari US$10,9 miliar tahun 2004 menjadi US$24,8 milliar tahun 2012. Arus keluar pendapatan yang tinggi bersumber dari repatriasi laba dan bunga ke perusahaan induk dan afiliasi (investor asing). Hal ini konsisten dengan masih kuatnya arus masuk dalam bentuk investasi langsung dan investasi portofolio.
Arus keluar dari pendapatan investasi langsung meningkat dari US$8,2 miliar tahun 2004 menjadi US$17,0 miliar tahun 2012 yang sejalan dengan peningkatan arus masuk investasi langsung (FDI) yaitu dari US$1,9 miliar tahun 2004 menjadi US$19,9 miliar tahun 2012. Kenaikan defisit pendapatan investasi langsung mencerminkan semakin baiknya kinerja perusahaan domestik yang sahamnya dimiliki investor asing. Sedangkan penurunan defisit pendapatan investasi langsung karena turunnya transfer laba dari perusahaan PMA yang berorientasi ekspor sejalan dengan penurunan kinerja ekspor Indonesia seperti terjadi tahun 2009 dan 2012.

Tabel 3.3: Defisit Neraca Pendapatan (US$ miliar) Tahun 2004-2012


2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
PENDAPATAN
-10.9
-12.9
-13.8
-15.5
-15.2
-15.1
-20.8
-26.7
-25.8
A. Kompensasi Tenaga Kerja
0.0
-0.2
-0.1
-0.3
-0.4
-0.8
-0.8
-0.9
-1.0
B. Pendapatan Investasi
-10.9
-12.7
-13.7
-15.2
-14.8
-14.4
-20.0
-25.8
-24.8

a. Pendapatan Investasi Langsung
-8.2
-9.3
-9.5
-10.5
-10.3
-8.6
-12.7
-17.8
-17.0

b. Pendapatan Investasi Portofolio
1.1
-0.5
-1.5
-2.0
-1.8
-3.3
-4.9
-5.9
-5.3

c. Pendapatan Investasi Lainnya
-3.8
-2.9
-2.6
-2.7
-2.7
-2.5
-2.4
-2.1
-2.5
Sumber: Bank Indonesia

Defisit pendapatan investasi langsung mencerminkan rata-rata 68% defisit neraca pendapatan. Hal ini dapat dipahami karena perusahaan PMA (Penanaman Modal Asing) di Indonesia mengirimkan pendapatannya ke investor di luar negeri. Perlu diketahui bahwa transfer laba yang dilakukan oleh PMA migas ke investor di luar negeri cukup besar yaitu lebih dari 50% dari defisit pendapatan investasi langsung. Ini merupakan transfer laba (profit transfer) atau bagi hasil pendapatan migas KPS (kontraktor production sharing) dengan pemerintah (net contractor share). Fluktuasi harga minyak dan gas internasional sangat mempengaruhi naik turunnya defisit pendapatan investasi langsung, dimana pada saat harga minyak dunia mencapai puncaknya pada tahun 2008, defisit neraca pendapatan juga mencatat nilai tertinggi pada triwulan III-2008 sebesar US$4,8 miliar.
Hal yang sama terjadi pada arus keluar pendapatan investasi portofolio yang meningkat dari US$0,5 miliar tahun 2005 menjadi US$5,3 miliar tahun 2012 seiring dengan peningkatan investasi portofolio dari US$4,2 miliar tahun 2005 menjadi US$9,2 miliar tahun 2012 karena imbal hasil (suku bunga SBI dan yield SBN) yang relatif menarik di Indonesia. Arus keluar pendapatan akan tetap tinggi seiring dengan derasnya arus masuk modal dari investasi langsung dan portofolio.
Dengan kondisi neraca pendapatan yang selalu defisit, neraca pendapatan merupakan penyumbang defisit transaksi berjalan yang cukup signifikan sehingga kinerja transaksi berjalan Indonesia diperkirakan akan terus tertekan karena defisit yang semakin besar pada neraca pendapatan. Risiko peningkatan defisit neraca pendapatan ini diperkirakan masih tinggi akibat peningkatan transfer laba PMA dan pembayaran imbal hasil investasi portofolio sejalan dengan peningkatan PMA dan investasi portofolio di Indonesia.

3.4.4. Kinerja Neraca Transfer Berjalan
Surplus neraca transfer berjalan selama periode tahun 2005-2012 relatif stabil walaupun sedikit turun pada tahun 2012 menjadi US$4,0 miliar (Tabel 3.4). Arus masuk remitansi TKI (tenaga kerja Indonesia) terus mengalami kenaikan dari US$1,7 miliar pada tahun 2004 menjadi US$7,0 miliar pada tahun 2012. Sejak triwulan IV-2011 terjadi tren penurunan jumlah TKI akibat kebijakan moratorium TKI di 4 (empat) negara  yaitu Malaysia, Kuwait, Yordania, dan Arab Saudi. Akan tetapi karena terdapat perbaikain struktur gaji para TKI dan moratorium hanya berlaku di TKI informal sedangkan TKI Profesional tidak terlalu terpengaruh, arus masuk remitansi TKI tahun 2012 tetap mengalami kenaikan. Sebaliknya, arus keluar remitansi TKA (tenaga kerja asing) mengalami tren kenaikan yaitu dari US$0,8 miliar pada tahun 2004 menjadi US$2,4 miliar pada tahun 2012.

Tabel 3.4: Surplus Neraca Transfer Berjalan (US$ miliar) Tahun 2004-2012


2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
TRANSFER BERJALAN
1.1
4.8
4.9
5.1
5.4
4.6
4.6
4.2
4.0
A. Pemerintah
0.3
0.0
0.0
0.2
0.2
0.1
0.3
0.3
0.4
B. Sektor Lainnya
0.8
4.7
4.8
4.9
5.2
4.5
4.3
3.9
3.6

a. Remitansi Tenaga Kerja
0.9
4.5
4.5
4.8
5.2
4.9
4.9
4.6
4.6

1. Penerimaan TKI
1.7
5.3
5.6
6.0
6.6
6.6
6.7
6.7
7.0

2. Pembayaran TKA
-0.8
-0.8
-1.1
-1.2
-1.4
-1.7
-1.9
-2.1
-2.4

b. Transfer Lainnya
-0.1
0.3
0.3
0.1
0.0
-0.4
-0.5
-0.8
-1.0
Sumber: Bank Indonesia
Selama periode triwulan II-IV 2008 neraca transfer berjalan tetap surplus walaupun neraca transaksi berjalan mengalami defisit pada periode tersebut. Hal ini berarti neraca transfer berjalan tidak banyak terpengaruh oleh krisis keuangan global tahun 2008/2009. Selama periode  triwulan I-2004 s.d. triwulan I-2010 transfer berjalan mengalami peningkatan dari US$306 juta pada triwulan I-2004 menjadi US$1,2 miliar pada triwulan I-2010 sehingga neraca transfer berjalan menjadi penyumbang yang cukup penting bagi surplus neraca transaksi berjalan.
Akan tetapi, karena tingginya rasio remitansi tenaga kerja terhadap neraca transfer berjalan yang mencapai rata-rata 94% dari neraca transfer berjalan maka perlambatan remitansi tenaga kerja merupakan risiko bagi surplus transaksi berjalan Indonesia. Pemulihan ekonomi global yang lambat akan mengurangi arus masuk remitansi tenaga kerja ke Indonesia pada saat pasar tenaga kerja global masih belum pulih.

IV. PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Perkembangan transaksi berjalan Indonesia selama periode 1960-2012 sangat dipengaruhi baik oleh faktor internal (kondisi ekonomi domestik) maupun faktor eksternal (perkembangan ekonomi dunia). Transaksi berjalan mengalami defisit selama 14 tahun yaitu periode 1960-1973 yang diikuti dengan surplus pada tahun 1974 kemudian kembali mengalami defisit selama 4 tahun 1975-1978 dan diakhiri dengan surplus pada tahun 1979-1980. Selanjutnya transaksi berjalan mengalami defisit dalam waktu yang panjang selama 17 tahun yaitu 1981-1997. Pasca krisis keuangan Asia kinerja transaksi berjalan berbalik menjadi surplus selama 14 tahun yaitu tahun 1998-2011. Krisis keuangan global 2008 yang diikuti dengan krisis utang Eropa telah membalikkan kinerja transaksi berjalan sehingga selama tahun 2012 transaksi berjalan mengalami defisit.
Secara umum, beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kinerja transaksi berjalan adalah pertumbuhan ekonomi dunia, pertumbuhan mitra dagang utama Indonesia, pertumbuhan ekonomi domestik, harga komoditas, kebijakan nilai tukar, kebijakan sektor keuangan dan sektor riil, serta krisis keuangan. Pertumbuhan ekonomi dunia terutama pertumbuhan mitra dagang utama Indonesia mempengaruhi kinerja transaksi berjalan melalui ekspor barang dan jasa, sedangkan pertumbuhan ekonomi domestik melalui impor barang dan jasa. Harga komoditas mempengaruhi kinerja transaksi berjalan baik melalui ekspor karena Indonesia adalah eksportir komoditas, maupun impor karena Indonesia saat ini menyandang status net oil importer. Defisit neraca perdagangan minyak yang semakin melebar perlu terus diwaspadai karena peningkatan konsumsi BBM cenderung untuk keperluan konsumtif dimana peningkatan konsumsi ini tidak diimbangi dengan peningkatan produksi minyak. Kinerja transaksi berjalan dipengaruhi oleh kebijakan nilai tukar melalui daya saing harga produk-produk Indonesia di pasar global. Kebijakan sektor keuangan dan sektor riil mempengaruhi transaksi berjalan dalam penyediaan sumber pembiayaan kegiatan perdagangan internasional dan produk instrumen keuangan serta mendorong investasi, meningkatkan efisiensi dan kapasitas produksi nasional untuk meningkatkan ekpor nonmigas dan mengurangi impor nonmigas.
Dua krisis keuangan memberikan dampak yang berbeda terhadap kinerja transaksi berjalan. Krisis keuangan Asia tahun 1997/1998 memberikan pelajaran tentang pentingnya memiliki cadangan devisa yang besar melalui kebijakan yang mendorong surplus transaksi berjalan. Sementara krisis keuangan global tahun 2008/2009 dan krisis utang Eropa tahun 2011/2012 memberikan tekanan cukup besar pada transaksi berjalan dimana pasar ekspor utama Indonesia mengalami resesi sehingga permintaan ekspor turun drastis, sedangkan permintaan impor masih tinggi yang bersumber dari kuatnya permintaan domestik.
Pelemahan permintaan dunia dan penurunan harga komoditas ekspor merupakan risiko utama yang akan menekan kinerja ekspor Indonesia. Penurunan surplus neraca perdagangan merupakan risiko bagi transaksi berjalan Indonesia. Penurunan ekspor yang terus berlangsung dan kenaikan impor nonmigas dan produk berbasis minyak akan terus menekan surplus neraca perdagangan. Defisit transaksi berjalan Indonesia yang telah terjadi selama tahun 2012 diperkirakan akan terus berlanjut karena kenaikan impor yang lebih tinggi dibandingkan ekspor. Selain itu, defisit neraca jasa yang semakin membesar terutama jasa transportasi dan jasa asuransi menambah tekanan terhadap kinerja transaksi berjalan.

4.2. Rekomendasi Kebijakan
Berdasarkan hasil analisis dan kesimpulan tersebut, rekomendasi kebijakan yang diusulkan untuk mengurangi defisit transaksi berjalan adalah dengan melakukan diversifikasi tujuan ekspor dan meningkatkan daya saing produk ekspor yang memiliki nilai tambah tinggi, mengurangi ketergantungan pada ekspor komoditas karena harga komoditas yang sangat berfluktuasi dan lebih mengandalkan pada ekspor produk manufaktur, serta mengurangi ketergantungan impor yang tinggi dengan memperkuat industri nasional yang menghasilkan bahan baku, bahan penolong dan barang modal.
Dua rekomendasi kebijakan untuk mengurangi defisit neraca perdagangan minyak yang semakin melebar adalah dengan menerapkan kebijakan peningkatan produksi minyak dan pengendalian konsumsi BBM. Kebijakan untuk meningkatkan produksi minyak dilakukan dengan mengurangi dampak penurunan alamiah sumur lama, antara lain melalui enhanced oil recovery (EOR) di sumur-sumur minyak tua, meningkatkan investasi di sektor migas untuk menambah sumur baru, mengoptimalkan sumur baru dan meningkatkan koordinasi antar instansi dan pemda. Adapun kebijakan untuk mengendalikan konsumsi BBM dilakukan dengan mengatur konsumen yang boleh/dilarang memakai BBM bersubsidi, mengurangi subsidi BBM melalui pengaturan/penyesuaian harga BBM bersubsidi, mempercepat pengembangan transportasi masal dalam rangka membatasi penggunaan kendaraan pribadi, dan melakukan konversi/diversifikasi BBM ke BBG yang diikuti dengan pengembangan kendaraan non-BBM dan kewajiban menggunakan BBG untuk kendaraan tertentu seperti kendaraan angkutan barang.
Beberapa kebijakan yang dapat diterapkan untuk mengurangi defisit neraca jasa-jasa yang semakin melebar adalah dengan mengurangi arus keluar jasa transportasi melalui peningkatan daya saing industri pelayaran nasional, antara lain melalui pembenahan infrastruktur pelabuhan di Indonesia, kewajiban bagi perusahaan BUMN yang melakukan ekspor/impor untuk menggunakan kapal berbendara Indonesia, serta himbauan bagi perusahaan kapal nasional untuk menerapkan tarif angkutan yang kompetitif (international rate).
Kebijakan untuk mengurangi defisit jasa asuransi adalah dengan meningkatkan daya saing industri asuransi nasional untuk mendukung transaksi perdagangan internasional, antara lain melalui pembentukan suatu perusahaan reasuransi besar oleh pemerintah Indonesia (BUMN) sehingga ketergantungan pada perusahaan reasuransi asing dapat dikurangi serta defisit pada jasa asuransi dapat berkurang. Hal ini didasarkan bahwa risiko asuransi umum relatif bersifat flat, artinya dengan mudah dapat diperkirakan dan di-manage dengan baik. Kebijakan yang memberikan proteksi bagi kemajuan industri asuransi dalam negeri, antara lain dengan mewajibkan perusahaan asuransi di Indonesia menggunakan perusahaan reasuransi lokal (tidak hanya satu perusahaan reasuransi lokal saja sebagaimana dalam KMK No. 426/2003). Kemudian pemerintah dapat menghimbau perusahaan domestik untuk menggunakan asuransi lokal dalam seluruh transaksi perdagangan nasional maupun internasional.
Adapun rekomendasi kebijakan untuk meningkatkan surplus neraca transfer berjalan adalah dengan membenahi sistem pengiriman TKI. Kemampuan dan keterampilan TKI yang akan ke luar negeri harus terus ditingkatkan sehingga bisa memperoleh pendapatan yang lebih bagus. Kemudian, Pemerintah harus aktif melobi negara yang mempekerjakan TKI agar memberikan penghasilan yang lebih baik serta memberikan perlindungan TKI sebagai pahlawan devisa.

DAFTAR PUSTAKA

Ardiyanto, Ferry (2006), “Analysis of Current Account Deficits and Fiscal Deficits in Indonesia: A VAR Approach,” Jurnal Keuangan Publik, Vol. 4, No. 2, 1 – 18.
Bank Indonesia (2008), Neraca Pembayaran Indonesia dan Posisi Investasi Internasional Indonesia: Konsep, Sumber Data , dan Metode, Jakarta.
Bank Indonesia (2013), Neraca Pembayaran Indonesia, dapat didownload pada alamat http://www.bi.go.id/web/id/Publikasi/Neraca+Pembayaran+Indonesia/
Calderón, César, Alberto Chong, dan  Loayza, Norman (2000), “Determinants of Current Account Deficits in Developing Countries,” Policy Research Working Paper No. 2398, Washington, DC, USA: World Bank.
Chinn, Menzie D. dan Prasad, Eswar S. (2003), “Medium-term Determinants of Current Accounts in Industrial and Developing Countries: An Empirical Exploration,” Journal of International Economics, 59, 47-76.
Goeltom, Miranda S. (2007), Essays in Macroeconomic Policy: The Indonesian Experience, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Handoko, Rudi (2010), Model Proyeksi Ekspor dan Impor—Volume dan Harga, Kajian Ekonomi dan Keuangan, Vol. 14, No. 3, 61-81.
Handoko, Rudi (2011), Analisis Kesinambungan Transaksi Berjalan: 1980-2010, Kajian Ekonomi dan Keuangan, Vol. 15, No. 2, 69-95.
Hidayat, Mohammad (2012), Kebijakan Penyediaan BBM dalam Rangka Mendukung Ketahanan Energi Nasional, Focus Group Discussion: Defisit Transaksi Berjalan dan Kebijakan BBM, Badan Kebijakan Fiskal, Jakarta.
Hill, Hal (2000), The Indonesian Economy, 2nd edition, Cambridge University Press.
Hofman, B., Zhao, M. and Ishihara, Y. (2007) ‗Asian Development Strategies: China and Indonesia Compared‘, Bulletin of Indonesian Economic Studies 43(2): 171-199
International Monetary Fund (1996), Balance of Payments Textbook, Washington, DC, USA: IMF.
Kementerian Perhubungan (2011), Statistik Perhubungan Buku I Tahun 2011, Jakarta.
Mankiw, N. Gregory (2007), “Macroeconomics,” Sixth Edition, New York: Worth Publishers.
Moreno-Brid, J.C. dan Perez, E. (1999), Balance-of-Payments-Constrained Growth in Central America: 1950-96, Journal of Post Keynesian Economics, Fall, Vol. 22, No. 1, 131.
Nasution, Anwar (1999), “Recent Issues in the Management of Macroeconomic Policies in Indonesia,” in Rising to the Challenge in Asia: A Study of Financial Markets: Volume 6 – Indonesia, Asian Development Bank.
Noor, Julian (2012), Focus Group Discussion (FGD): Defisit Neraca Jasa pada Transaksi Berjalan: Freight & Insurance serta Kebijakan Terkait, AAUI (Asosiasi Asuransi Umum Indonesia), Jakarta.
Pugno, Maurizio (1998), The Stability of Thirlwall’s Model of Economic Growth and the Balance-of-Payements Constraint, Journal of Post Keynesian Economics, Summer, Vol. 20, No. 4, 559.
Suroso, P.C. (1994), Perekonomian Indonesia, Jakarta, Gramedia.
Thirlwall, A.P. (2001), The Relation between the Warranted Growth Rate, the Natural Rate, and the Balance of Payments Equilibirium Growth Rate, Journal of Post Keynesian Economics, Fall, Vol. 24, No. 1, 81.
Turner, P. (1999), The Balance of Payments Constraint and the Post 1973 Slowdown of Economic Growth in the G7 Economies, International Review of Applied Economics, Vol. 13, No. 1, , 41.


[1] Pertumbuhan ekonomi mitra dagang utama Indonesia dihitung dari pertumbuhan PDB (seasonally adjusted) dari 13 negara yang dibobot berdasarkan ekspor Indonesia ke negara-negara tersebut. Ke-13 negara tersebut mencerminkan 81% total ekspor Indonesia.
[2] Dengan menggunakan pertumbuhan PDB riil Indonesia sebagai proksi permintaan domestik, menurut Handoko (2010) permintaan domestik cukup signifikan secara statistik mempengaruhi volume impor di mana setiap 1% kenaikan permintaan domestik, volume impor Indonesia akan naik sebesar 3,2%.

No comments: