THE ANALYSIS OF THE INDONESIAN CURRENT ACCOUNT PERFORMANCE
Abstrak
Kinerja transaksi berjalan yang mengalami defisit sejak triwulan IV-2011
dan terus melebar pada triwulan berikutnya selama tahun 2012 dan diperkirakan masih
berlanjut pada tahun-tahun berikutnya ini perlu mendapat perhatian serius. Tulisan
ini bertujuan untuk menganalisis kinerja transaksi
berjalan di Indonesia selama kurun
waktu 1960-2012 serta kebijakan terkaitnya. Dengan menggunakan metode deskriptif, hasil analisis menunjukkan bahwa kinerja transaksi berjalan dipengaruhi
oleh beberapa faktor seperti pertumbuhan mitra dagang utama Indonesia, harga
komoditas dunia, pertumbuhan
ekonomi domestik, kebijakan
ekonomi termasuk nilai tukar, serta krisis keuangan.
Rekomendasi kebijakan untuk
mempertahankan kinerja transaksi berjalan pada tingkat yang aman adalah meningkatkan daya saing produk ekspor Indonesia
baik barang maupun jasa serta memperkuat basis industri nasional untuk
mengurangi ketergantungan terhadap barang dan jasa impor, meningkatkan produksi minyak dan pengendalian
konsumsi BBM untuk mengurangi defisit neraca perdagangan minyak, mengurangi
arus keluar jasa transportasi melalui peningkatan daya saing industri pelayaran
nasional, meningkatkan daya saing industri asuransi nasional untuk mendukung
transaksi perdagangan internasional, dan membenahi sistem pengiriman TKI untuk
meningkatkan surplus neraca transfer berjalan.
Kata kunci: sektor eksternal, neraca pembayaran, transaksi berjalan
Abstract
The
performance of current account which showed deficit for the first time since
the fourth quarter of 2011 and
continued to widen in the next quarters during 2012 and it is expected to continue
in subsequent years needs serious attention. This paper aims to analyze the current account performance in Indonesia during the
period 1960-2012 and its related policies. By
using the descriptive method, the analysis shows that the current account performance is affected by several factors
such as the growth of Indonesia's major trading partners, global commodity prices, the domestic economic growth, economic
policies, including exchange rates, and the financial crisis.
Policy recommendations to maintain the current account at a safe level is improving
the competitiveness of Indonesian
exports of both goods and services
as well as strengthening the
national industrial base to
reduce dependency on imported goods and services, increasing
oil production and controling fuel consumption
to reduce oil trade deficit, reducing the outflow of transport services
by improving the competitiveness of
national shipping industry, improving
the competitiveness of the insurance industry nationwide to
support international trade
transactions, and improving the system of Indonesia overseas workers (TKI) to improve the current transfers surplus.
Keywords: balance of payment, external sector, current
account
JEL Classifications: F32
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia memiliki sejarah kinerja transaksi
berjalan (current account) yang cukup
panjang. Selama beberapa dekade yaitu periode tahun 1960-an sampai dengan tahun
1990-an Indonesia mengalami kinerja transaksi berjalan yang defisit. Pasca
krisis keuangan Asia 1997/1998 kinerja transaksi berjalan membalik menjadi
surplus. Akan tetapi, krisis keuangan global yang terjadi tahun 2008/2009 dan diperparah
dengan adanya krisis utang Eropa telah menyebabkan ketidakpastian pemulihan ekonomi
global. Resesi ekonomi yang dialami oleh beberapa negara maju di Eropa yang
kemudian diikuti oleh Jepang serta masalah kebuntuan anggaran di Amerika Serikat (AS) telah menambah ketidakpastian pemulihan ekonomi
dunia. Ketidakpastian ini menyebabkan tekanan eksternal pada ekonomi
negara-negara berkembang tidak terkecuali Indonesia. Pengaruh tekanan eksternal
ini dapat dilihat pada kinerja neraca pembayaran (balance of payment) terutama
transaksi berjalan yang mengalami defisit sejak triwulan IV-2011 dan terus melebar sampai dengan triwulan IV-2012.
Pelebaran defisit pertama kali terjadi pada triwulan
I-2012 yang mencatat defisit transaksi berjalan sebesar US$3,1 miliar, naik
dari defisit pada triwulan IV-2011 yang sebesar US$2,3 miliar. Secara relatif
terhadap PDB juga mengalami kenaikan yaitu dari 1,1% dari PDB pada triwulan
IV-2011 menjadi 1,4% dari PDB pada triwulan I-2012. Pelebaran defisit transaksi
berjalan terus berlanjut pada triwulan II-2012 yang mencapai US$8,0 miliar atau
3,6% dari PDB. Memasuki triwulan III-2012 tekanan defisit transaksi berjalan
sedikit berkurang dengan nilai sebesar US$5,3 miliar atau 2,4% dari PDB. Akan
tetapi tekanan ini kembali meningkat pada triwulan IV-2012 dengan defisit
tercatat sebesar US7,8 miliar atau 3,6% dari PDB. Secara keseluruhan tahun
2012, kinerja transaksi berjalan mengalami pemburukan dari surplus sebesar
US$1,7 miliar (0,2% dari PDB) pada
tahun 2011 menjadi defisit sebesar US$24,2 miliar (2,7% dari PDB).
Pelebaran
defisit ini disebabkan oleh ketidakpastian ekonomi global yang menekan
permintaan produk ekspor Indonesia dan harga komoditas sedangkan pada saat yang
sama permintaan domestik yang tinggi untuk kebutuhan investasi dan konsumsi telah
mendorong impor yang tinggi.
Pembalikan
kinerja transaksi berjalan yang berkinerja surplus pada tahun-tahun sebelumnya
menjadi defisit pada tahun 2012 perlu mendapat perhatian serius. Kondisi pelebaran
defisit transaksi berjalan sangat berpengaruh terhadap stabilitas ekonomi
makro. Investor asing melihat bahwa persepsi risiko berinvestasi di Indonesia
meningkat sehingga berdampak pada penurunan masuknya arus modal asing. Di
tengah kebutuhan pembiayaan defisit transaksi berjalan yang tinggi, penurunan
arus masuk modal asing akan menyebabkan turunnya level cadangan devisa dan berpotensi pula menurunkan tingkat
kepercayaan terhadap upaya menjaga stabilitas nilai tukar.
Kajian
terhadap defisit transaksi berjalan perlu dilakukan karena dampaknya terhadap
perekonomian nasional yang cukup besar. Pelebaran defisit transaksi berjalan
akan mempengaruhi pergerakan nilai tukar rupiah berupa depresiasi nilai tukar
rupiah karena defisit transaksi berjalan menyebabkan penurunan cadangan
devisa. Defisit transaksi berjalan yang
semakin besar dapat juga diartikan sebagai pelebaran gap antara investasi dan
tabungan dimana Indonesia lebih banyak melakukan investasi.
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, tulisan ini berusaha untuk menjawab dua
permasalahan terkait dengan defisit transaksi berjalan, yaitu 1) bagaimanakah
perkembangan kinerja transaksi berjalan selama kurun waktu 1960-2012? 2) faktor-faktor
apakah yang mempengaruhi kinerja transaksi
berjalan? Periode yang panjang ini dipilih karena periode yang panjang sangat
bermanfaat untuk menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja transaksi
berjalan agar dapat diperoleh pelajaran yang dapat dipetik (lessons learned) serta untuk melihat
tren ke depannya.
1.3.Tujuan Penulisan
Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis perkembangan transaksi berjalan
selama periode 1960-2012 dan mengidentifikasikan faktor-faktor yang
mempengaruhi kinerja transaksi
berjalan.
1.4. Metodologi
Tulisan ini
menggunakan pendekatan analisis deskriptif karena kajian ini bertujuan untuk
menjelaskan perkembangan transaksi berjalan dan faktor-faktor yang mempengaruhi
kinerja transaksi berjalan. Data
yang digunakan adalah data sekunder dengan teknik pengumpulan data melalui
dokumentasi yang bersumber dari Bank Indonesia, BPS, Bank Dunia dan CEIC. Untuk melengkapi analisis, tulisan
ini juga menggunakan data
kualitatif yang dikumpulkan dari berbagai sumber seperti makalah ilmiah maupun sumber
lainnya yang relevan seperti FGD (Focus
Group Discussion)
Analisis kinerja transaksi berjalan akan dibagi ke dalam beberapa
periodisasi sesuai dengan kondisi kebijakan dan perkembangan ekonomi Indonesia. Untuk periode tahun 1960-2003
analisis transaksi berjalan tidak dilakukan secara rinci per unsur transaksi
berjalan karena terdapat perbedaan
format penyajian neraca pembayaran setiap periodenya. Sementara itu, untuk tahun
2004-2012 telah digunakan format
baru yang mengacu ke Balance of Payments
Manual 5 yang diterbitkan oleh International
Monetary Fund (IMF) tahun 1993. Oleh karena itu, untuk periode tahun
2004-2012 analisis dilakukan dengan lebih rinci
per unsur transaksi berjalan. Penulis
menyadari bahwa hal ini dapat menyebabkan gangguan dalam hal konsistensi dan komparabilitas.
Akan tetapi analisis yang lebih
detail dengan menggunakan format
baru
yang masih digunakan hingga sekarang dapat memberikan nilai relevansi dan manfaat yang lebih besar bagi pembaca dalam
melihat kondisi transaksi berjalan.
II. KERANGKA TEORI
2.1. Konsep Transaksi
Berjalan
Konsep transaksi berjalan tidak dapat dilepaskan dari konsep neraca
pendapatan (national account). Konsep neraca
pendapatan nasional dapat ditulis dalam persamaan identitas berikut (Handoko,
2011):
.............................................................................................(1)
di mana Y = Produk domestik bruto, C = konsumsi swasta, G = konsumsi pemerintah, I = pembentukan modal tetap bruto, dan X
- M = neraca perdagangan
barang & jasa.
Persamaan (1) dapat disusun ulang menjadi:
di mana CA = transaksi berjalan yang
hanya terdiri dari neraca perdagangan barang & jasa. Jika
, dimana S = Tabungan, sehingga dapat diperoleh persamaan identitas
berikut:
...................................................................................................................(2)
Persamaan (2) menunjukkan bahwa surplus transaksi
berjalan terjadi jika investasi lebih kecil daripada tabungan, sehingga
kebutuhan pendanaan investasi dapat ditutup melalui tabungan. Sedangkan defisit transaksi berjalan
terjadi jika investasi lebih besar daripada tabungan sehingga diperlukan sumber
pendanaan dari luar negeri untuk menutupi kebutuhan pendanaan investasi yang
besar pada saat tabungan domestik tidak mencukupi. Sumber pendanaan luar negeri
ini akan dicatat pada pos transaksi modal dan finansial.
Kemudian,
hubungan antara transaksi berjalan serta transaksi modal dan finansial ditunjukkan
oleh persamaan berikut (Handoko, 2011):
CA + KFA = Saldo
Neraca Pembayaran = Perubahan Cadangan Devisa ..................(3)
Persamaan (3) menunjukkan
bahwa jika Saldo Neraca Pembayaran mengalami surplus maka cadangan devisa akan bertambah.
Sebaliknya jika Saldo Neraca Pembayaran mengalami defisit maka cadangan devisa
akan berkurang.
Transaksi
berjalan tidak hanya meliputi neraca perdagangan barang & jasa tetapi mencakup penerimaan (inflow) dan
pengeluaran (outflow) antara penduduk
Indonesia dengan bukan penduduk yang berasal dari transaksi barang dan jasa (goods and services), pendapatan (income), dan transfer berjalan (current transfer) (Bank Indonesia 2008).
Unsur neraca transaksi berjalan yang berlaku umum di Indonesia disajikan pada
Tabel 1.
Tabel
1: Unsur Neraca Transaksi Berjalan
A.
Barang, bersih (Neraca Perdagangan)
- Nonmigas
- Migas
Ekspor, fob
- Nonmigas
- Migas
Impor, fob
- Nonmigas
- Migas
B.
Jasa-jasa, bersih
1. Transportasi, bersih
a. Barang, bersih
b. Penumpang dan lainnya, bersih
2. Perjalanan (Travel), bersih
a. Penerimaan
b. Pengeluaran
3. Jasa-jasa Lainnya, bersih
C.
Pendapatan, bersih
1. Kompensasi Tenaga Kerja, bersih
2. Pendapatan Investasi, bersih
a. Investasi Langsung, bersih
b. Investasi Portofolio, bersih
c. Investasi Lainnya, bersih
a.l. Pembayaran bunga sektor terkait Pemerintah &
Otoritas Moneter
D.
Transfer Berjalan, bersih
1. Pemerintah, bersih
2. Sektor Lainnya, bersih
a. Transfer dari Tenaga Kerja (Remitansi), bersih
b. Transfer Lainnya, bersih
Sumber: Bank Indonesia,
2008
2.2. Kebijakan Ekonomi dan Kinerja
Transaksi Berjalan
Pengaruh kebijakan
ekonomi terhadap kinerja transaksi berjalan dapat dilihat melalui dampaknya
pada tabungan dan investasi. Kebijakan ekonomi yang meningkatkan tabungan atau menurunkan
investasi (misal, kebijakan kontraksi fiskal) akan mengarah kepada surplus
transaksi berjalan. Sementara itu, kebijakan yang menurunkan tabungan atau
meningkatkan investasi (misal kebijakan ekspansi fiskal) akan menyebabkan
defisit transaksi berjalan (Mankiw, 2007).
A.P. Thirlwall pada tahun 1979 mengusulkan sebuah
model yang menjelaskan bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi berbeda-beda setiap
negara karena adanya perbedaan pada batas kemampuan neraca pembayaran (balance-of-payments constraints), yang
timbul karena perbedaan elastisitas pendapatan ekspor dan impor (Pugno, 1998).
Model Thirlwall merupakan model untuk ekonomi terbuka
dimana defisit transaksi berjalan tidak dibiayai dengan utang selamanya dan
utang tersebut harus dibayar (Thirlwall, 2001). Model Thirlwall menyimpulkan
bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi dibatasi oleh ketersediaan valuta asing
(Moreno-Brid dan Perez, 1999).
Menurut model Thirlwall, dalam jangka panjang sebuah
ekonomi tidak dapat tumbuh pada suatu tingkat pertumbuhan yang menghasilkan
defisit neraca pembayaran yang semakin membesar. Oleh karena itu, tingkat
pertumbuhan keseimbangan tercapai pada saat tingkat pertumbuhan impor sama
dengan tingkat pertumbuhan ekspor (Turner, 1999).
Ekonomi Indonesia yang terbuka menyebabkan pertumbuhan ekonomi
Indonesia dibatasi oleh kemampuan neraca pembayaran (balance of payments constrained economic growth). Dengan demikian
kemampuan investasinya tergantung antara lain dari kemampuan untuk ekspor dan
daya tarik Indonesia untuk menarik investasi asing. Berdasarkan model
Thirlwall, defisit transaksi berjalan, yang didorong oleh impor barang-barang
modal untuk investasi harus dibiayai dari surplus transaksi modal dan finansial.
Globalisasi
ekonomi telah mendorong banyak negara mereformasi kebijakan ekonomi dari
kebijakan yang berorientasi ke dalam (inward-oriented
policies) menuju ke kebijakan yang berorientasi ke luar (outward-looking policies). Kebijakan
yang berorientasi ekspor meliputi promosi ekspor secara aktif, mempertahankan
keunggulan kompetitif produk utama ekspor, revitalisasi produk ekspor, dan
meningkatkan daya saing melalui efisiensi dengan menghilangkan ekonomi biaya
tinggi seperti tumpang tindih regulasi dan korupsi (Goeltom 2007).
2.3. Studi Empiris Tentang Kinerja
Transaksi Berjalan
Calderón, Chong dan Loayza (2000) melakukan penelitian tentang
faktor-faktor ekonomi yang mempengaruhi defisit transaksi berjalan di 44 negara
berkembang untuk periode tahun 1966-95.
Variabel-variabel kunci yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah
pendapatan, transaksi berjalan, tabungan (publik dan swasta), nilai tukar riil,
pengendalian neraca pembayaran, premi pasar gelap nilai tukar, pertumbuhan
ekonomi negara industri, dan suku bunga internasional.
Hasil studi Calderón, Chong dan Loayza (2000)
menunjukkan bahwa kenaikan pertumbuhan ekonomi domestik menghasilkan defisit
transaksi berjalan yang lebih besar, kenaikan tabungan publik atau swasta
berdampak positif terhadap transaksi berjalan, apresiasi nilai tukar riil
berkaitan dengan defisit transaksi berjalan yang lebih besar, pertumbuhan
ekonomi di negara industri yang lebih tinggi atau suku bunga internasional yang
lebih tinggi mengurangi defisit transaksi berjalan di negara berkembang.
Kemudian Chinn dan Prasad (2003) dengan menggunakan
sampel data yang cukup panjang (tahun 1971-1995) dari 18 negara industri dan 71
negara berkembang termasuk Indonesia menyimpulkan bahwa saldo anggaran
pemerintah dan posisi aktiva luar negeri bersih awal berkorelasi positif dengan
saldo transaksi berjalan. Khusus untuk negara berkembang, indikator kedalaman
keuangan berkorelasi positif dengan saldo transaksi berjalan sedangkan
indikator keterbukaan perdagangan internasional berkorelasi negatif dengan
saldo transaksi berjalan.
Dengan menggunakan pendekatan vector autoregression (VAR), Ardiyanto (2006) mencari hubungan
antara defisit transaksi berjalan dengan defisit fiskal di Indonesia dengan
periode waktu 1981-2004. Berdasarkan kausalitas Granger, defisit transaksi
berjalan menyebabkan defisit fiskal tetapi tidak sebaliknya. Adapun variabel
makroekonomi seperti nilai tukar, suku bunga dan PDB; variabel suku bunga
memiliki pengaruh positif yang mendorong baik defisit transaksi berjalan maupun
defisit fiskal.
III. HASIL
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
3.1. Kinerja
Transaksi Berjalan Periode
Tahun 1960-1979
Kinerja
transaksi berjalan selama periode ini setiap tahun menunjukkan defisit kecuali tahun 1974 dan 1979. Defisit ini disebabkan oleh surplus yang bersumber dari neraca perdagangan
tidak mampu menutupi defisit yang berasal dari neraca jasa-jasa serta neraca pendapatan sehingga transaksi berjalan mengalami defisit
rata-rata sebesar 0,5% dari PDB.
Pertumbuhan ekspor yang lebih tinggi dibandingkan
impor menyebabkan surplus neraca perdagangan. Ekspor mulai meningkat pada tahun 1966 dengan
pertumbuhan rata-rata tahunan sebesar 29% untuk periode 1966-1979. Sementara
itu, impor tumbuh pesat mulai tahun
tahun 1967 dengan pertumbuhan rata-rata tahunan sebesar 28% untuk periode tahun 1967-1979.
Defisit
neraca jasa terjadi karena Indonesia banyak menggunakan jasa pengangkutan dan
jasa perjalanan dari penyedia jasa transportasi asing. Adapun defisit neraca
pendapatan disebabkan oleh perusahaan minyak asing yang mengirimkan pendapatan
investasi dan bunga ke perusahaan induknya di luar negeri.
Menurut Hill (2000) faktor rezim kurs yang mendorong
kenaikan pesat pada ekspor karena Indonesia menggunakan manajemen nilai tukar
yang aktif sebagai kebijakan ekonomi makronya (Hofman, Zhao dan Ishihara, 2007). Setelah melepas sistem
nilai tukar jamak (multiple exchange rate system) yang
berlaku pada tahun 1960-an dan mengadopsi nilai tukar yang konsisten pada tahun 1970, Indonesia mematok (peg) rupiah terhadap US$ pada tahun 1971 (Hill 2000) dan pada tahun 1978 Bank Indonesia melepas sistem patok (pegged
system) serta mengadopsi nilai tukar
mengambang terkelola (managed-floating). Selain kenaikan
harga minyak dunia, devaluasi nilai tukar rupiah terhadap US$ sebesar 50% yang
dilakukan pemerintah pada bulan November 1978 memberi andil pada pembalikkan posisi kinerja
transaksi berjalan dari defisit sebesar 2,9% dari PDB di tahun 1978 menjadi surplus sebesar 1,9% dari PDB pada tahun 1979.
Grafik-3.1:
Kinerja Transaksi Berjalan Periode Tahun 1960-1979
Sumber: Bank Indonesia
dan BPS, diolah. (Catatan: Grafik Transaksi Berjalan (% PDB) dimulai pada tahun
1967 karena data nilai tukar rupiah baru tersedia mulai tahun 1967).
Peranan ekspor minyak semakin meningkat dari 30% pada tahun 1960, mencapai puncak pada tahun 1975 dengan peranan 74% kemudian menurun menjadi
64% pada 1979. Faktor harga minyak dunia sangat menentukan karena selama tahun
1970-an OPEC telah menaikkan harga minyak dua kali yaitu pada tahun 1973 dan
1979 (satu tahun setelah pemerintah mendevaluasi rupiah terhadap US$ sebesar
50%). Indonesia sebagai negara pengekspor minyak memperoleh keuntungan dari
harga minyak yang tinggi ini. Ekspor minyak tumbuh sangat signifikan pada tahun 1972-1974 masing-masing
sebesar 111%, 54%, dan 239%. Pertumbuhan yang tinggi ini disebabkan oleh
kenaikan harga minyak mentah dunia pada tahun 1972-1974 yang tumbuh
masing-masing sebesar 8%, 54%, dan 291% karena pada tahun 1973 terjadi perang
Arab-Israel dan embargo minyak Arab. Kenaikan harga minyak dunia ini mampu membalikkan posisi defisit transaksi berjalan
sebesar 4,9% dari PDB pada tahun 1973
menjadi surplus sebesar 10,6% dari PDB pada tahun 1974. Hal yang sama terjadi pada tahun 1979 di mana ekspor minyak masih tumbuh cukup bagus sebesar
33%.
Kebijakan
pemerintah yang mempengaruhi kinerja transaksi berjalan pada periode ini dapat dijelaskan berikut ini. Kebijakan
pemerintah Orde Lama antara lain Pembangunan Nasional Semesta Berencana (PNSB)
yang berlandaskan Manifesto Politik 1960, Deklarasi Ekonomi pada tahun 1963,
penerbitan peraturan di bidang perdagangan, kebijakan perbankan yang mengarah
kepada dualisme pengelolaan moneter. Adapun kebijakan pemerintah Orde Baru
antara lain kebijakan kredit yang lebih selektif, pemberlakuan beberapa
undang-undang seperti undang-undang pokok perbankan, perkoperasian, bank
sentral, PMA dan PMDN, serta kebijakan pembangunan lima tahun (PELITA) (Suroso,
1994).
Menurut Hill (2000) kebijakan dan
perkembangan ekonomi Indonesia pada periode ini bercirikan rehabilitasi dan
pemulihan serta pertumbuhanan ekonomi yang cepat di mana selama periode
1968-1979 pertumbuhan ekonomi rata-rata mencapai sebesar 7,5% di mana Indonesia
memulai rencana pembangunan lima
tahun pada 1969 yang memfokuskan pada pembangunan pertanian.
Kenaikan
harga minyak OPEC yang terjadi selama tahun 1970-an menyebabkan Indonesia sebagai negara pengekspor minyak mendapat
keuntungan dari tingginya harga minyak dunia dan menginvestasikan pendapatan
pajak minyak pada proyek-proyek pembangunan khususnya irigasi dan infrastruktur
fisik, BUMN, serta industri dasar seperti industri baja dan konkrit dalam
rangka memperkuat basis industri domestik. Pada saat pemerintah menetapkan
sasaran dan melaksanakan kebijakan industrialisasi, pihak swasta juga
dilibatkan melalui proyek-proyek investasi skala besar. Kegiatan ekonomi
domestik yang tinggi ini mendorong peningkatan impor barang dan jasa-jasa.
Sebagian besar defisit transaksi berjalan pada periode
ini dibiayai dari sumber pembiayaan yang berasal dari pampasan perang (reparations), pinjaman luar negeri (loan) termasuk hibah (grant), dan PL 480 yaitu bantuan dari
pemerintah AS untuk impor bahan pangan. Peranan pinjaman luar negeri sangat
dominan selama periode 20 tahun ini yang mencapai US$9,9 miliar, diikuti
oleh PL 480 yang mencapai US$2,1 miliar
dan pampasan perang yang mencapai US$0,7 miliar.
3.2. Kinerja
Transaksi Berjalan Periode
Tahun 1980-1991
Melanjutkan surplus di tahun 1979,
transaksi berjalan kembali mencatat surplus
pada tahun 1980 karena ekspor tumbuh 47% dan impor tumbuh 42% sehingga
terjadi surplus transaksi berjalan sebesar US$2,8 miliar. Untuk tahun 1981-1991
transaksi berjalan mencatat defisit. Surplus neraca perdagangan dan transfer
berjalan pada periode tersebut tidak mampu menutupi defisit neraca jasa-jasa
dan pendapatan yang semakin membesar. Pertumbuhan ekspor masih cukup tinggi
pada periode ini walaupun pada tahun 1982,1983, 1985, dan 1986 ekspor mengalami
kontraksi yang cukup dalam dengan pertumbuhan negatif sebesar 5% - 22%. Hal ini
diakibatkan oleh turunnya harga minyak pada tahun-tahun tersebut. Begitu pula
dengan impor yang masih tumbuh dengan cukup tinggi kecuali pada tahun 1983-1986 yang mengalami pertumbuhan negatif. Hal ini disebabkan
menurunnya permintaan domestik karena
jatuhnya harga minyak dunia pada tahun 1983 dan 1986. Penurunan harga minyak
dunia ini menyebabkan peningkatan defisit transaksi berjalan dari 0,6% dari PDB pada tahun 1981 menjadi 6,1% dari PDB pada
tahun 1982 yang kemudian meningkat mencapai level tertinggi sebesar 7,5% dari PDB pada
tahun 1983. Penurunan harga minyak dunia juga menyebabkan peranan ekspor minyak terhadap total ekspor mengalami penurunan yaitu dari
64% pada tahun 1980 menjadi 25%
pada tahun 1991.
Grafik-3.2:
Kinerja Transaksi Berjalan Periode Tahun 1980-1991
Sumber: Bank Indonesia
dan Kementerian Keuangan
Dalam
periode ini, cukup banyak kebijakan ekonomi pemerintah yang mempengaruhi kinerja transaksi berjalan terkait dengan dengan
penyesuaian terhadap penurunan harga minyak serta adanya liberalisasi (reformasi kebijakan ekonomi) dan
pemulihan ekonomi (Hill, 2000). Program
penyesuaian struktural dan reformasi ekonomi pada tahun 1980-an meliputi empat
bidang: (1) manajemen nilai tukar, (2) kebijakan fiskal, (3) kebijakan moneter
dan keuangan, dan (4) sektor rill dan perdagangan. Dalam bidang manajemen nilai
tukar, pemerintah melakukan devaluasi
kurs Rp/USD pada bulan Maret
1983 dan September 1986 sehingga rupiah terdepresiasi masing-masing sekitar
28%, dan 45% (Hill, 2000). Setelah tahun 1986, nilai
tukar relatif stabil dan tidak ada kebijakan devaluasi yang diambil. Reformasi kebijakan fiskal meliputi pengurangan
belanja subsidi dan pembangunan serta reformasi pajak dengan memperkenalkan Undang-Undang
Pajak Pertambahan Nilai dan Undang-Undang
Pajak Penghasilan tahun 1983.
Sektor
moneter dan finansial direformasi melalui beberapa paket kebijakan. Paket
pertama adalah Paket Juni
1983 yang menghilangkan batas atas kredit bank, membiarkan suku bunga bergerak mengikuti kekuatan pasar, memberikan
peran yang lebih besar kepada bank swasta, dan menghidupkan kembali pasar saham. Paket deregulasi
perbankan Oktober 1988 menghilangkan hambatan masuk ke dalam
industri perbankan. Kemudian, Paket Desember 1988 mengatur
kegiatan lembaga keuangan bukan bank (LKBB), membolehkan investor asing masuk ke perusahaan
sekuritas, dan membatasi perlakuan khusus kepada BUMN untuk kegiatan bank investasi (Handoko, 2011).
Paket kebijakan di sektor moneter dan finansial telah memberikan dampak yang
cukup besar terhadap pengembangan dan efisiensi sektor jasa keuangan di
Indonesia sehingga memudahkan para eksportir dan importir melakukan kegiatan
mereka di bidang perdagangan internasional melalui penyediaan sumber pendanaan
dan produk jasa keuangan.
Sektor
riil direformasi pada tahun 1986
melalui dua paket yaitu Paket Mei dan Paket Oktober. Paket Mei mereformasi kegiatan yang terkait investasi
dan ekspor, seperti penyederhanaan
persetujuan investasi dan pembebasan
bea keluar. Paket Oktober mengganti sistem bukan tarif dengan sistem tarif dan
memperbaiki bea masuk dan bea keluar. Paket kebijakan sektor riil
mempengaruhi transaksi berjalan melalui peningkatan investasi, efisiensi dan
kapasitas produksi nasionl sehingga mampu meningkatkan ekspor nonmigas.
Reformasi kebijakan ekonomi yang telah dijelaskan di atas membuahkan hasil
yang ditunjukkan oleh penurunan defisit transaksi berjalan pada tahun-tahun 1984-1985
yaitu dari 7,5% dari PDB pada
tahun 1983 menjadi 2,2% dari PDB masing-masing pada tahun 1984 dan 1985, serta
periode tahun 1987-1989 yaitu dari 5,7% dari
PDB pada tahun 1986 menjadi 3% dari PDB pada tahun 1987 dan masing-masing 1,8%
dan 1,4% dari PDB pada tahun 1988 dan 1989.
Pembiayaan
defisit transaksi berjalan pada periode thaun 1981-1991 bersumber dari sektor publik dalam bentuk bantuan IGGI (Inter-Governmental Group on Indonesia) dan non-IGGI serta sektor swasta dalam bentuk
PMA. Peranan sektor publik/pemerintah masih dominan di mana bantuan IGGI selama
11 tahun ini mencapai US$42,9 miliar yang sebagian besar dalam
bentuk bantuan proyek dan bantuan non-IGGI yang mencapai US$10,0 miliar. Sementara itu, peranan sektor
swasta masih kecil di mana PMA mencapai US$5,7 miliar. Peran PMA yang
masih kecil juga ditunjukkan oleh saldo dasar (basic balance) yang merupakan penjumlahan transaksi berjalan dan
PMA masih negatif sehingga pembiayaan defisit transaksi berjalan masih bertumpu
pada pinjaman luar negeri.
3.3. Kinerja
Transaksi Berjalan Periode
Tahun 1992-2003
Transaksi berjalan pada periode ini ditandai oleh krisis keuangan Asia yang menimpa Indonesia pada bulan Juli 1997. Sebelum krisis keuangan Asia 1997/1998, Indonesia mengalami transaksi berjalan yang defisit untuk mendukung pertumbuhan ekonomi domestik yang
sangat pesat dimana selama periode tahun 1992-1996 ekonomi mengalami
pertumbuhan rata-rata 7,3%. Pertumbuhan
ekonomi di atas 7% ini telah mendorong defisit transaksi berjalan di atas 3% dari PDB yaitu pada tahun 1995 dan 1996
masing-masing sebesar 3,3% dari PDB dan 3,4% dari PDB sehingga
menempatkan Indonesia pada situasi yang rentan terhadap krisis. Defisit transaksi berjalan bersumber dari surplus neraca perdagangan yang
rendah di bawah US$10 miliar sehinga
tidak mampu mengimbangi kenaikan defisit pada neraca jasa-jasa dan neraca pendapatan.
Grafik-3.3:
Kinerja Transaksi Berjalan Periode Tahun 1992-2003
Sumber: Bank Indonesia
dan Kementerian Keuangan
Krisis keuangan Asia ini sangat mempengaruhi
pertumbuhan ekspor dan impor. Pada awal terjadinya krisis yaitu tahun 1997,
ekspor bahkan masih mampu tumbuh sebesar 12%. Pertumbuhan ini dua kali lipat dibandingkan
pertumbuhan ekspor tahun 1996. Akan tetapi pada tahun 1998 ekspor mengalami
kontraksi sebesar 11%. Hal ini menunjukkan bahwa walaupun pasar ekspor
Indonesia di AS dan Eropa tidak terimbas krisis, pasar ekspor Indonesia di Asia
terganggu akibat negara-negara Asia ikut terkena krisis. Dampak krisis keuangan
Asia terhadap impor Indonesia jauh lebih besar. Pada tahun 1997, impor tumbuh
hanya 4%, turun dari tahun sebelumnya yang tumbuh sebesar 8%. Pada 1998 impor
mengalami pertumbuhan negatif sebesar 31%. Hal ini disebabkan krisis keuangan
Asia menyebabkan ekonomi nasional turun sebesar 13,13% sehingga permintaan
domestik turun drastis yang akhirnya berdampak pada pertumbuhan impor yang
negatif. Trauma krisis mendorong negara-negara Asia mengakumulasi cadangan
devisa, tanpa kecuali Indonesia dengan menerapkan kebijakan yang
mendorong surplus pada
transaksi berjalan yang bersumber dari surplus neraca perdagangan.
Kebijakan
yang cukup menonjol yang mempengaruhi kinerja transaksi berjalan dalam kurun waktu tahun 1992-2003 dijelaskan berikut ini. Sejak awal tahun 1990-an Bank Indonesia
mempertahankan stabilitas rupiah dengan mengelola pergerakan rupiah terhadap
sekeranjang mata uang (Hill 2000). Setelah
rupiah stabil selama sepuluh tahun, nilai tukar rupiah terhadap US$ menjadi
terlalu kuat (overvalued). Sehingga,
selama krisis keuangan Asia tahun 1997, Bank Indonesia tidak dapat
mempertahankan kestabilan rupiah. Pada pertengahan bulan Agustus 1997, Bank
Indonesia mengakhiri pita intervensi nilai tukar yang diadopsi pada tahun 1992
dan melaksanakan rezim nilai tukar mengambang bebas (free floating exchange rate system) (Nasution 1999). Sistem nilai tukar ini telah memperbaiki kinerja transaksi berjalan pasca
krisis yang mencatat suplus yang cukup besar sehingga cadangan devisa terus
bertambah.
Proses
liberalisasi dan pemulihan ekonomi terus dilakukan seperti melalui regulasi di sektor riil dengan terbitnya
peraturan pemerintah pada tahun 1994 yang memungkinkan investor asing
memperoleh kepemilikan 100%. Sementara itu, ada dua kebijakan fiskal penting
selama periode ini yaitu kebijakan desentralisasi fiskal yang diterapkan pada 1
Januari 2001 dan kebijakan fiskal melalui UU Keuangan Negara 2003 yang
membatasi defisit fiskal maksimun 3% dari PDB. Kemudian pada tahun 2003 Indonesia keluar dari program IMF.
Adapun dampak regulasi sektor riil terhadap transaksi berjalan adalah adanya
peningkatan defisit transaksi berjalan yang cukup tajam pada tahun 1995 dan
1996 yaitu dari defisit 1,7% dari PDB pada tahun 1994 menjadi defisit
masing-masing sebesar 3,3% dan 3,4% dari PDB pada tahun 1995 dan 1996. Hal ini
disebabkan oleh peningkatan investasi langsung masing-masing sebesar 101,7% dan
41,3% pada tahun 1995 dan 1996 yang mendorong peningkatan kebutuhan impor barang
modal.
Defisit
transaksi berjalan yang terjadi selama kurun waktu tahun 1992-2003 dibiayai oleh melalui investasi langsung
neto sebesar US$11,6 miliar dan investasi portofolio neto sebesar US$10,9
miliar. Perlu diperhatikan bahwa saldo dasar (basic balance) masih negatif sehingga pembiayaan defisit transaksi
berjalan bertumpu pada arus modal asing jangka pendek (investasi portofolio).
Selain itu, pembayaran pelunasan pinjaman luar negeri semakin besar yang
ditunjukkan oleh defisit investasi lainnya neto selama periode tahun 1992-2003 ini mencapai US$18,1 miliar.
Kedua hal ini mengindikasikan bahwa defisit transaksi berjalan berada dalam
kondisi yang berbahaya (unsustainable).
3.4. Kinerja
Transaksi Berjalan Periode
Tahun 2004-2012
Secara tahunan, kinerja transaksi berjalan dalam periode ini menunjukkan
surplus kecuali defisit pada tahun 2012 yang mencapai 2,7% dari PDB. Namun
demikian terdapat beberapa episode defisit transaksi berjalan yaitu pada
triwulan I-2004, triwulan III-2005, dan triwulan II s.d. IV 2008, triwulan IV-2011 dan sepanjang tahun 2012.
Grafik
3.4: Kinerja Transaksi Berjalan Periode Tahun 2004-2012
Sumber: Bank Indonesia
dan Kementerian Keuangan
Transaksi berjalan pada periode ini ditandai oleh
beberapa peristiwa dan kebijakan
ekonomi penting yaitu pada tahun 2004 Indonesia untuk pertama kalinya menjadi
negara pengimpor bersih minyak mentah. Harga minyak dunia yang tinggi selama tahun
2005 mendorong pemerintah untuk menaikkan harga BBM bersubsidi dua kali. Pertama, pada 1
Maret 2005 harga BBM bersubsidi dinaikkan dengan
kenaikan rata-rata 29% dan kedua, pada 1 Oktober 2005 harga BBM bersubsidi dinaikan dengan kenaikan
rata-rata 114%. Kemudian pada
tahun 2008 karena kenaikan harga minyak mentah dunia yang tinggi, pemerintah
menaikkan harga BBM bersubsidi menjadi Rp6.000/liter. Harga premium ini
bertahan selama bulan Mei-November 2008. Akibat krisis keuangan global tahun 2008
harga minyak mentah dunia berbalik turun sehingga Pemerintah menurunkan harga BBM
bersubsidi (premium) menjadi Rp5.500/liter pada awal Desember 2008 yang
kemudian diturunkan lagi menjadi Rp5.000/liter pada pertengahan Desember 2008
dan kembali diturunkan menjadi Rp4.500/liter pada pertengahan Januari 2009.
Kenaikan
harga BBM bersubsidi berpengaruh pada penurunan volume impor minyak yang
membantu perbaikan kinerja transaksi berjalan. Pada periode dimana terjadi
kenaikan harga BBM bersubsidi yaitu Q1-2005 dan Q4-2005 volume impor minyak
mengalami penurunan masing-masing sebesar 7,5% dan 16,1%. Hal yang sama terjadi
pada tahun 2008 dimana kenaikan harga BBM bersubsidi yang berlaku selama bulan
Mei-November 2008 telah mengurangi volume impor minyak sebesar 7,2% pada
Q3-2008.
Kejadian penting lain yang mempengaruhi transaksi berjalan adalah krisis
keuangan global yang terjadi pada tahun 2008/2009 yang bermula dari krisis subprime mortgage di AS. Krisis mengakibatkan penurunan permintaan
produk ekspor Indonesia yang ditunjukkan oleh penurunan pertumbuhan ekonomi
negara-negara mitra dagang utama Indonesia. Krisis ini dilanjutkan dengan
krisis utang zona Euro dan ketidakpastian pemulihan ekonomi AS pada tahun 2011
dan 2012 yang menyebabkan pertumbuhan mitra dagang kembali turun. Krisis
keuangan global ini telah mengakibatkan kinerja transaksi berjalan mengalami
defisit pada triwulan II s.d. IV 2008 masing-masing sebesar 0,8%, 0,7%, dan
0,5% dari PDB.
Beberapa kebijakan ekonomi yang telah
dikeluarkan untuk menanggulangi
pelebaran defisit transaksi berjalan pada tahun 2012 adalah bertujuan untuk mendorong ekspor, menekan impor, serta perbaikan
iklim investasi sehingga dapat memperkuat sustainabilitas defisit transaksi berjalan. Kebijakan
yang bersifat jangka menengah dan panjang dilakukan melalui instrumen fiskal. Adapun instrumen fiskal yang digunakan
adalah kebijakan tax holiday dan tax
allowance serta peraturan
Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) dan Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP). Tax holiday dan tax allowance merupakan fasilitas untuk mendorong investasi yang dapat menghasilkan barang
modal sehingga dapat
mengurangi ketergantungan terhadap impor. Sementara
BMAD dan BMTP merupakan fasilitas
pembebasan bea masuk yang ditujukan untuk pengurangan ketergantungan impor
untuk barang jadi sehinga dapat melindungi industri dalam negeri dari peningkatan impor barang sejenis. Sementara itu,
kebijakan yang bersifat jangka pendek dilakukan melalui kebijakan moneter. Bank
Indonesia mengeluarkan kebijakan
makroprudential berupa implementasi loan
to value (LTV) dan larangan pemanfaatan Kredit Tanpa Agunan (KTA) untuk
uang muka kredit yang bertujuan untuk mengendalikan
pertumbuhan kredit.
Terkait dengan pembiayaan defisit transaksi berjalan,
saldo dasar (basic balance) yang
negatif terjadi pada triwulan I 2004, triwulan II 2012 dan triwulan IV 2012.
Saldo dasar untuk keseluruhan tahun 2012 juga negatif. Hal ini menunjukkan
ketidaksinambungan defisit transaksi berjalan (unsustainable) karena pembiayaannya bertumpu pada investasi
portofolio yang bersifat jangka pendek dengan volatilitas yang tinggi.
Selanjutnya
pembahasan akan dilakukan secara detail per pos yang ada pada transaksi
berjalan yaitu neraca perdagangan, neraca jasa-jasa, neraca pendapatan, dan
neraca transfer berjalan.
3.4.1. Kinerja
Neraca Perdagangan
Kondisi neraca
perdagangan dari tahun 2004 s.d. 2012 dapat dilihat pada Tabel 3.1. Pelebaran
defisit transaksi berjalan selama tahun 2012 disebabkan penurunan surplus
neraca perdagangan nonmigas dan peningkatan defisit neraca perdagangan migas.
Surplus neraca perdagangan nonmigas turun 75,8% dari US$34,8 miliar (2011)
menjadi US$8,4 miliar (2012). Defisit neraca perdagangan migas semakin melebar
dari US$0,7 miliar (2011) menjadi US$5,1 miliar (2012).
Tabel
3.1: Neraca Perdagangan (US$ miliar) Tahun 2004-2012
|
2004
|
2005
|
2006
|
2007
|
2008
|
2009
|
2010
|
2011
|
2012
|
Neraca Perdagangan-Barang
|
20.2
|
17.5
|
29.7
|
32.8
|
22.9
|
30.9
|
30.6
|
34.8
|
8.4
|
-
Ekspor, fob.
|
70.8
|
87.0
|
103.5
|
118.0
|
139.6
|
119.6
|
158.1
|
200.8
|
188.1
|
-
Impor, fob.
|
-50.6
|
-69.5
|
-73.9
|
-85.3
|
-116.7
|
-88.7
|
-127.4
|
-166.0
|
-179.7
|
1. Neraca Perdagangan Nonmigas
|
15.0
|
13.3
|
22.9
|
27.1
|
15.1
|
25.6
|
27.4
|
35.4
|
13.5
|
1.1 Ekspor Nonmigas, fob.
|
54.5
|
66.8
|
80.6
|
93.1
|
107.9
|
99.0
|
129.4
|
162.7
|
152.6
|
1.2 Impor Nonmigas, fob.
|
-39.5
|
-53.4
|
-57.7
|
-66.1
|
-92.8
|
-73.5
|
-102.0
|
-127.3
|
-139.0
|
2. Neraca Perdagangan Migas
|
5.1
|
4.2
|
6.8
|
5.7
|
7.8
|
5.4
|
3.2
|
-0.7
|
-5.1
|
2.1 Ekspor Migas, fob.
|
16.3
|
20.2
|
23.0
|
24.9
|
31.7
|
20.6
|
28.7
|
38.1
|
35.6
|
2.2 Impor Migas, fob.
|
-11.2
|
-16.0
|
-16.2
|
-19.2
|
-23.9
|
-15.2
|
-25.4
|
-38.7
|
-40.7
|
3. Neraca Perdagangan Minyak
|
-3.3
|
-6.5
|
-5.2
|
-6.7
|
-8.4
|
-4.0
|
-8.7
|
-17.5
|
-20.3
|
3.1 Ekspor Minyak, fob.
|
7.6
|
9.5
|
10.9
|
12.5
|
15.4
|
10.8
|
15.7
|
19.6
|
17.9
|
3.2 Impor Minyak, fob.
|
-10.9
|
-16.0
|
-16.1
|
-19.2
|
-23.7
|
-14.8
|
-24.3
|
-37.1
|
-38.2
|
4. Neraca Perdagangan Gas
|
8.5
|
10.7
|
12.0
|
12.3
|
16.1
|
9.4
|
11.9
|
16.9
|
15.2
|
4.1 Ekspor Gas, fob.
|
8.7
|
10.7
|
12.0
|
12.4
|
16.3
|
9.8
|
13.0
|
18.5
|
17.7
|
4.2 Impor Gas, fob.
|
-0.2
|
0.0
|
0.0
|
0.0
|
-0.2
|
-0.4
|
-1.1
|
-1.6
|
-2.5
|
Sumber: Bank Indonesia
Perkembangan
neraca perdagangan dapat dilihat dari sisi volume maupun sisi harga. Perkembangan
sisi volume dipengaruhi oleh permintaan produk ekspor Indonesia yang
ditunjukkan oleh pertumbuhan ekonomi negara-negara mitra dagang utama Indonesia.
Permintaan produk ekspor Indonesia turun dari 5,5% pada tahun 2007 menjadi 2,1%
pada tahun 2008 dan mengalami kontraksi sebesar 1,3% pada tahun 2009 akibat
krisis keuangan global. Akibat krisis utang Eropa, permintaan produk ekspor
Indonesia kembali turun menjadi 3,7% pada tahun 2011 dan 3,4% pada tahun 2012
yang masih di bawah angka sebelum krisis (Grafik 3.5). Menurut Handoko (2010) pertumbuhan ekonomi negara mitra dagang cukup
signifikan mempengaruhi volume ekspor di mana setiap 1% kenaikan pertumbuhan
PDB mitra dagang utama Indonesia maka volume ekspor Indonesia akan naik sebesar 0,67%.
Grafik
3.5: Pertumbuhan Negara Mitra Dagang Utama Indonesia Tahun 2004-2012[1]
Sumber: CEIC diolah
Perkembangan sisi harga dipengaruhi oleh perkembangan
harga komoditas internasional. Dengan menggunakan tahun dasar 2005, Grafik 3.6
menunjukkan bahwa krisis keuangan global tahun 2008/09 menyebabkan penurunan
harga komoditas internasional di mana pada tahun 2009 harga energi turun
sebesar 37,3% dan harga non-energi turun sebesar 22%. Kemudian krisis utang
Eropa juga mendorong pelemahan harga komoditas internasional di mana pada tahun
2012 harga energi dan non-energi turun
masing-masing sebesar 0,4% dan 9,5%. Menurut Handoko (2010) indeks harga energi (batu bara, gas alam, dan
minyak mentah) secara statistik sangat signifikan menjelaskan harga ekspor di
mana setiap 1% kenaikan indeks harga energi
maka harga ekspor Indonesia akan naik sebesar 0,12%.
Grafik
3.6: Indeks Harga Komoditas Energi
dan Non-energi Tahun 2004-2012
Sumber: Bank Dunia
Dampak krisis ekonomi
global tahun 2008/2009 menyebabkan permintaan dari negara-negara mitra
dagang utama Indonesia menurun (Grafik 3.5) dan harga komoditas melemah (Grafik 3.6) sehingga menyebabkan ekspor berkontraksi sebesar 14,3% pada 2009. Akan tetapi neraca perdagangan
pada tahun 2009 masih mencatat surplus yang meningkat. Hal ini terjadi karena impor turun lebih besar dibandingkan ekspor karena harga minyak mentah yang lebih rendah dan kontraksi investasi dalam negeri telah mengurangi impor sehingga impor turun lebih besar yaitu 24,0%.
Pasca krisis keuangan global, kegiatan
ekspor dan impor kembali meningkat pada tahun 2010 dan 2011 sehingga ekspor
mencapai angka di atas US$200 miliar. Akan tetapi, krisis utang Eropa yang
semakin memburuk dan ketidakpastian pemulihan ekonomi AS menyebabkan melemahnya
pertumbuhan ekonomi global. Hal ini berdampak pelemahan permintaan negara-negara mitra dagang utama Indonesia dan penurunan harga
komoditas ekspor sehingga kinerja ekspor Indonesia mengalami penurunan
sebesar 6,3% pada tahun 2012. Sementara itu, kuatnya permintaan
domestik[2]
telah menaikkan impor nonmigas dan minyak ke Indonesia, yang menurunkan surplus
neraca perdagangan nonmigas dan defisit
neraca
perdagangan minyak semakin
membesar.
Defisit neraca perdagangan minyak selama periode ini
cenderung terus meningkat karena sebagian besar lapangan minyak adalah lapangan
tua dan masih sedikitnya pembukaan lapangan baru. Indonesia telah menjadi
pengimpor bersih (net importer)
minyak sejak tahun 2004 dan keluar dari OPEC pada tahun 2008. Harga minyak yang tinggi berisiko terhadap defisit neraca perdagangan
minyak yang terus membesar karena
konsumsi BBM tetap tinggi sedangkan produksi minyak cenderung menurun. Selama triwulan IV-2012 konsumsi BBM tumbuh 5.3% (yoy) yaitu dari 114,4 juta barel pada triwulan IV-2011
menjadi 120,5 juta barel.
Sementara produksi minyak terus turun yaitu dari 0,893 juta barel per hari pada
triwulan IV-2011 menjadi 0,836 juta barel per hari pada triwulan IV-2012 atau
turun sebesar 6,4% (yoy) yang merupakan
pencapaian terendah.
Defisit
neraca
perdagangan migas dengan
kecenderungan membesar yaitu dari US$0,7 miliar (2011) menjadi US$5,1 miliar
(2012) disebabkan oleh peningkatan impor minyak dan hasil minyak (BBM) untuk
memenuhi permintaan domestik yang kuat baik untuk kebutuhan investasi maupun
konsumsi. Sementara itu, impor gas juga mengalami peningkatan karena kebijakan
konversi gas telah mendorong peningkatan permintaan gas dan pada saat yang sama
sebagian besar produksi gas diekspor. Selain itu, kebijakan subsidi BBM di
dalam negeri juga turut mendorong peningkatan konsumsi BBM. Pertumbuhan ekonomi
di atas 6% selama tahun 2010-2012 serta disparitas harga antara BBM bersubsidi
dan BBM nonsubsidi yang semakin besar menyebabkan peningkatan konsumsi BBM
bersubsidi sehingga mendorong pelebaran defisit transaksi berjalan melalui
peningkatan impor BBM.
Peningkatan konsumsi BBM disebabkan oleh tingginya
penggunaan BBM oleh sektor transportasi (60%), industri (24%), dan listrik
(13%). Sedangkan untuk kebutuhan rumah tangga cenderung menurun. Kenaikan konsumsi BBM sektor listrik sejalan dengan
naiknya kebutuhan energi untuk menunjang
kegiatan produksi di dalam negeri yang meningkat. Peningkatan konsumsi BBM cenderung untuk keperluan konsumtif yang
diindikasikan tingginya konsumsi BBM bersubsidi oleh transportasi darat yang
menghabiskan 97.33% volume BBM bersubsidi di mana 53% merupakan mobil pribadi
dan 40% motor (Hidayat, 2012).
3.4.2. Kinerja
Neraca Jasa-Jasa
Kondisi defisit neraca
jasa-jasa dari tahun 2004 s.d. 2012 dapat dilihat pada Tabel 3.2. Defisit
neraca jasa-jasa terus mengalami peningkatan yaitu dari US$8,8 milliar tahun
2004 menjadi US$10,8 miliar tahun 2012.
Tabel
3.2: Defisit Neraca Jasa-Jasa (US$ miliar) Tahun 2004-2012
Pos Neraca Jasa
|
2004
|
2005
|
2006
|
2007
|
2008
|
2009
|
2010
|
2011
|
2012
|
|
Total Neraca Jasa
|
-8.8
|
-9.1
|
-9.9
|
-11.8
|
-13.0
|
-9.7
|
-9.3
|
-10.6
|
-10.8
|
|
A. Transportasi
|
-3.2
|
-4.6
|
-6.1
|
-7.3
|
-11.1
|
-4.1
|
-6.0
|
-8.7
|
-9.1
|
|
|
a. Penumpang
|
-0.6
|
-0.6
|
-1.0
|
-1.2
|
-2.5
|
-1.1
|
-1.4
|
-1.4
|
-1.6
|
|
b. Barang
|
-2.9
|
-4.3
|
-5.1
|
-6.1
|
-8.7
|
-3.2
|
-4.8
|
-7.5
|
-7.6
|
|
c. Lainnya
|
0.4
|
0.3
|
0.1
|
0.0
|
0.1
|
0.3
|
0.2
|
0.1
|
0.0
|
B. Perjalanan
|
1.3
|
0.9
|
0.4
|
0.4
|
1.8
|
0.3
|
0.6
|
1.7
|
1.6
|
|
C. Komunikasi
|
0.5
|
0.5
|
0.5
|
0.7
|
0.3
|
0.6
|
0.6
|
0.6
|
0.4
|
|
D. Konstruksi
|
-0.2
|
-0.2
|
-0.5
|
-0.3
|
-0.1
|
-0.2
|
-0.1
|
0.1
|
0.2
|
|
E. Asuransi
|
-0.3
|
-0.3
|
-0.4
|
-0.6
|
-0.7
|
-1.3
|
-1.1
|
-1.3
|
-1.1
|
|
F. Keuangan
|
-0.3
|
-0.2
|
-0.2
|
-0.1
|
0.0
|
-0.2
|
-0.1
|
-0.2
|
-0.3
|
|
G. Komputer dan Informasi
|
-0.3
|
-0.4
|
-0.5
|
-0.5
|
-0.5
|
-0.5
|
-0.5
|
-0.5
|
-0.5
|
|
H. Royalti & Imbalan Lisensi
|
-0.8
|
-0.7
|
-0.9
|
-1.1
|
-1.3
|
-1.5
|
-1.6
|
-1.7
|
-1.7
|
|
I. Bisnis Lainnya
|
-5.3
|
-4.1
|
-2.5
|
-3.2
|
-1.6
|
-3.0
|
-1.1
|
-0.7
|
-0.1
|
|
J. Personal, Kultural & Rekreasi
|
-0.1
|
-0.1
|
-0.1
|
-0.1
|
0.0
|
-0.1
|
0.0
|
-0.1
|
-0.1
|
|
K. Jasa Pemerintah
|
0.1
|
0.1
|
0.2
|
0.2
|
0.3
|
0.3
|
0.1
|
0.0
|
0.0
|
Sumber: Bank Indonesia
Dari 11 jenis jasa tersebut, jasa transportasi
merupakan penyumbang defisit neraca jasa-jasa terbesar yang mencerminkan
rata-rata 64% dari defisit tersebut selama periode tahun 2004-2012. Di dalam jasa transportasi terdapat jasa angkutan
barang (freight) yang terkait dengan
aktivitas perdagangan internasional sehingga jika kegiatan impor semakin
meningkat maka defisit neraca jasa-jasa juga akan meningkat karena kegiatan
impor menggunakan maskapai pelayaran asing. Potensi risiko akan semakin tinggi pada defisit neraca jasa jika tarif freight juga mengalami peningkatan.
Defisit
jasa transportasi meningkat dari US$3,2 miliar pada tahun 2004 menjadi US$9,1
miliar pada tahun 2012 karena terjadi peningkatan pembayaran jasa angkutan barang
(freight) dari US$2,9 miliar (2004)
menjadi US$7,6 miliar (2012) kepada pelayaran asing untuk kegiatan impor serta
peningkatan transportasi penumpang yaitu penduduk
yang ke luar negeri dari US$0,6 miliar (2004) menjadi US$1,6 miliar (2012)
melalui maskapai penerbangan yang banyak
menyewa pesawat dari luar negeri.
Peningkatan defisit pada jasa transportasi angkut barang (freight) setiap tahunnya antara lain disebabkan oleh masih
dikuasainya pelayaran oleh kapal asing. Kapal berbendara asing menguasai 78% jumlah
kapal, 94% daya angkut, dan 90% muatan ekspor dan impor. Sedangkan kapal
berbendara Indonesia hanya menguasai kapal-kapal dengan daya angkut yang
relatif kecil (Kementerian
Perhubungan, 2011).
Demikian
juga dengan jasa asuransi yang mengalami peningkatan defisit dari US$0,3 miliar
(2004) menjadi US$1,1 miliar (2012). Defisit pada jasa asuransi disebabkan karena jumlah
premi yang dibayarkan ke luar negeri jauh lebih besar dibandingkan dengan premi
yang masuk ke dalam negeri karena
ekspansi asuransi asing ke Indonesia dan kegiatan di sektor perdagangan &
transportasi yang banyak menggunakan asuransi asing. Premi tersebut didominasi oleh jenis asuransi umum/asuransi
kerugian yang mempunyai karakteristik yang unik yaitu suatu perusahaan asuransi
tidak dapat berdiri sendiri dan selalu memerlukan dukungan (back-up) dari perusahaan asuransi lainnya (reasuransi). Oleh
karena karakteristik tersebut, perusahaan asuransi di Indonesia masih
tergantung pada perusahaan reasuransi asing. Faktor-faktor yang menyebabkan
antara lain:
a. Retensi (kemampuan menyerap) perusahaan tergantung modal sendiri
(masalah permodalan). Persyaratan ekuitas bagi perusahaan asuransi Indonesia masih rendah, sehingga retensi juga
masih rendah;
b. Saat ini hanya ada empat perusahaan reasuransi
lokal, yaitu PT. Maskapai Reasuransi Indonesia Tbk. (Marein), PT. Reasuransi
Nasional Indonesia (Nas Re), PT. Tugu Reasuransi Indonesia (Tugu Re), dan PT.
Reasuransi Internasional Indonesia (ReINDO) dimana retensi keempat perusahaan
reasuransi tersebut masih sangat terbatas;
c. Perusahaan asuransi Indonesia ‘dimudahkan’ untuk menggunakan
perusahaan reasuransi asing. Kepmenkeu Nomor 426/KMK.06/2003 tentang Perizinan
Usaha dan Kelembagaan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi hanya
mensyaratkan perusahaan asuransi untuk setidaknya menggunakan satu perusahaan
reasuransi lokal (Noor, 2012).
Demikian pula defisit yang terjadi secara terus
menerus pada jasa royalti &
lisensi yang meningkat dari US$0,8 miliar (2004) menjadi US$1,7 miliar (2012) karena
peningkatan setoran royalti & lisensi ke kantor pusat di luar negeri dari
kegiatan waralaba asing di Indonesia.
Sementara itu, ada tiga jasa yang mencatat surplus
pada neraca jasa-jasa yaitu jasa perjalanan
(travel), jasa komunikasi, dan jasa pemerintah. Surplus jasa perjalanan bersumber dari wisatawan
asing yang berkunjung ke Indonesia. Jumlah wisatawan asing ini dipengaruhi oleh
kondisi perekonomian negara asal mereka dan kondisi keamanan di Indonesia. Jumlah
pelawat yang berkunjung ke Indonesia (wisman/inbound traveler) terus mengalami kenaikan dari 6,5 juta orang pada
tahun 2009 menjadi 8,1 juta orang pada tahun 2012 atau tumbuh 24,6%. Sedangkan,
jumlah pelawat ke luar negeri (wisnas/outbound
traveler) tumbuh lebih tinggi 28,8% yaitu dari 5,9 juta orang pada tahun
2009 menjadi 7,6 juta orang. Kenaikan jumlah wisnas yang diikuti dengan peningkatan
pengeluaran jasa perjalanan menyebabkan surplus jasa perjalanan turun.
3.4.3. Kinerja
Neraca Pendapatan
Kondisi defisit neraca
pendapatan dari tahun 2004 s.d. 2012 dapat dilihat pada Tabel 3.3. Defisit
neraca pendapatan terus mengalami peningkatan yaitu dari US$10,9 milliar tahun
2004 menjadi US$25,8 miliar tahun 2012. Defisit ini bersumber dari arus keluar kompensasi
tenaga kerja dan arus keluar pendapatan investasi. Arus keluar dari kompensasi tenaga kerja terus
meningkat dari US$0,2 miliar (2005) menjadi US$1,0 miliar pada tahun 2012.
Begitu juga dengan arus keluar dari pendapatan investasi yang meningkat lebih
dari dua kali lipat yaitu dari US$10,9 miliar tahun 2004 menjadi US$24,8
milliar tahun 2012. Arus keluar pendapatan yang tinggi bersumber dari
repatriasi laba dan bunga ke perusahaan induk dan afiliasi (investor asing). Hal
ini konsisten dengan masih kuatnya arus masuk dalam bentuk investasi langsung
dan investasi portofolio.
Arus
keluar dari pendapatan investasi langsung meningkat dari US$8,2 miliar tahun
2004 menjadi US$17,0 miliar tahun 2012 yang sejalan dengan peningkatan arus
masuk investasi langsung (FDI) yaitu dari US$1,9 miliar tahun 2004 menjadi
US$19,9 miliar tahun 2012. Kenaikan defisit pendapatan investasi langsung mencerminkan
semakin
baiknya kinerja perusahaan
domestik yang sahamnya dimiliki investor asing. Sedangkan penurunan defisit
pendapatan investasi langsung karena turunnya transfer laba dari perusahaan PMA
yang berorientasi ekspor sejalan dengan penurunan kinerja ekspor Indonesia seperti terjadi
tahun 2009 dan 2012.
Tabel
3.3: Defisit Neraca Pendapatan (US$ miliar) Tahun 2004-2012
|
|
2004
|
2005
|
2006
|
2007
|
2008
|
2009
|
2010
|
2011
|
2012
|
PENDAPATAN
|
-10.9
|
-12.9
|
-13.8
|
-15.5
|
-15.2
|
-15.1
|
-20.8
|
-26.7
|
-25.8
|
|
A. Kompensasi Tenaga Kerja
|
0.0
|
-0.2
|
-0.1
|
-0.3
|
-0.4
|
-0.8
|
-0.8
|
-0.9
|
-1.0
|
|
B. Pendapatan Investasi
|
-10.9
|
-12.7
|
-13.7
|
-15.2
|
-14.8
|
-14.4
|
-20.0
|
-25.8
|
-24.8
|
|
|
a. Pendapatan Investasi Langsung
|
-8.2
|
-9.3
|
-9.5
|
-10.5
|
-10.3
|
-8.6
|
-12.7
|
-17.8
|
-17.0
|
|
b. Pendapatan Investasi Portofolio
|
1.1
|
-0.5
|
-1.5
|
-2.0
|
-1.8
|
-3.3
|
-4.9
|
-5.9
|
-5.3
|
|
c. Pendapatan Investasi Lainnya
|
-3.8
|
-2.9
|
-2.6
|
-2.7
|
-2.7
|
-2.5
|
-2.4
|
-2.1
|
-2.5
|
Sumber: Bank Indonesia
Defisit pendapatan investasi langsung mencerminkan
rata-rata 68% defisit neraca pendapatan. Hal ini dapat dipahami karena
perusahaan PMA (Penanaman Modal Asing) di Indonesia mengirimkan pendapatannya
ke investor di luar negeri. Perlu diketahui bahwa transfer laba yang dilakukan
oleh PMA migas ke investor di luar negeri cukup besar yaitu lebih dari 50% dari
defisit pendapatan investasi langsung. Ini merupakan transfer laba (profit transfer) atau bagi hasil
pendapatan migas KPS (kontraktor production
sharing) dengan pemerintah (net
contractor share). Fluktuasi harga
minyak dan gas internasional sangat mempengaruhi naik turunnya defisit
pendapatan investasi langsung, dimana pada saat harga minyak dunia mencapai
puncaknya pada tahun 2008, defisit
neraca pendapatan juga mencatat nilai tertinggi pada triwulan III-2008 sebesar US$4,8 miliar.
Hal
yang sama terjadi pada arus keluar pendapatan investasi portofolio yang
meningkat dari US$0,5 miliar tahun 2005 menjadi US$5,3 miliar tahun 2012
seiring dengan peningkatan investasi portofolio dari US$4,2 miliar tahun 2005
menjadi US$9,2 miliar tahun 2012 karena imbal hasil (suku bunga SBI dan yield SBN) yang relatif menarik di Indonesia. Arus keluar pendapatan
akan tetap tinggi seiring dengan derasnya arus masuk modal dari investasi
langsung dan portofolio.
Dengan kondisi neraca pendapatan yang selalu defisit,
neraca pendapatan merupakan penyumbang defisit transaksi berjalan yang cukup
signifikan sehingga kinerja transaksi
berjalan Indonesia diperkirakan akan terus tertekan karena defisit yang semakin besar pada neraca pendapatan. Risiko peningkatan defisit neraca pendapatan ini
diperkirakan masih tinggi akibat peningkatan transfer laba PMA dan pembayaran imbal hasil investasi portofolio sejalan dengan peningkatan
PMA dan investasi portofolio di Indonesia.
3.4.4. Kinerja
Neraca Transfer Berjalan
Surplus neraca transfer
berjalan selama periode tahun 2005-2012 relatif stabil walaupun sedikit turun pada
tahun 2012 menjadi US$4,0 miliar (Tabel 3.4). Arus masuk remitansi TKI (tenaga kerja
Indonesia) terus mengalami
kenaikan dari US$1,7 miliar pada tahun 2004 menjadi US$7,0 miliar pada tahun 2012.
Sejak triwulan IV-2011 terjadi tren penurunan jumlah TKI akibat kebijakan moratorium
TKI di 4 (empat) negara yaitu Malaysia,
Kuwait, Yordania, dan Arab Saudi. Akan tetapi karena terdapat perbaikain
struktur gaji para TKI dan moratorium hanya berlaku di TKI informal sedangkan
TKI Profesional tidak terlalu terpengaruh, arus
masuk remitansi TKI tahun 2012 tetap mengalami kenaikan. Sebaliknya, arus
keluar remitansi TKA (tenaga kerja asing) mengalami tren kenaikan yaitu dari US$0,8 miliar pada tahun 2004 menjadi
US$2,4 miliar pada tahun 2012.
Tabel
3.4: Surplus Neraca Transfer Berjalan (US$ miliar) Tahun 2004-2012
|
|
2004
|
2005
|
2006
|
2007
|
2008
|
2009
|
2010
|
2011
|
2012
|
TRANSFER
BERJALAN
|
1.1
|
4.8
|
4.9
|
5.1
|
5.4
|
4.6
|
4.6
|
4.2
|
4.0
|
|
A. Pemerintah
|
0.3
|
0.0
|
0.0
|
0.2
|
0.2
|
0.1
|
0.3
|
0.3
|
0.4
|
|
B. Sektor Lainnya
|
0.8
|
4.7
|
4.8
|
4.9
|
5.2
|
4.5
|
4.3
|
3.9
|
3.6
|
|
|
a. Remitansi Tenaga Kerja
|
0.9
|
4.5
|
4.5
|
4.8
|
5.2
|
4.9
|
4.9
|
4.6
|
4.6
|
|
1.
Penerimaan TKI
|
1.7
|
5.3
|
5.6
|
6.0
|
6.6
|
6.6
|
6.7
|
6.7
|
7.0
|
|
2.
Pembayaran TKA
|
-0.8
|
-0.8
|
-1.1
|
-1.2
|
-1.4
|
-1.7
|
-1.9
|
-2.1
|
-2.4
|
|
b. Transfer Lainnya
|
-0.1
|
0.3
|
0.3
|
0.1
|
0.0
|
-0.4
|
-0.5
|
-0.8
|
-1.0
|
Sumber: Bank Indonesia
Selama
periode triwulan II-IV 2008 neraca transfer berjalan tetap surplus walaupun neraca
transaksi berjalan mengalami defisit pada periode tersebut. Hal ini berarti
neraca transfer berjalan tidak banyak terpengaruh oleh krisis keuangan global tahun 2008/2009. Selama periode triwulan I-2004 s.d. triwulan I-2010 transfer
berjalan mengalami peningkatan dari US$306 juta pada triwulan I-2004 menjadi US$1,2 miliar pada triwulan I-2010 sehingga neraca transfer berjalan menjadi
penyumbang yang cukup penting bagi surplus neraca transaksi berjalan.
Akan tetapi, karena tingginya rasio remitansi tenaga kerja terhadap neraca transfer berjalan yang mencapai rata-rata 94% dari neraca
transfer berjalan maka perlambatan
remitansi tenaga kerja merupakan risiko bagi surplus transaksi berjalan
Indonesia. Pemulihan ekonomi
global yang lambat akan mengurangi arus masuk remitansi tenaga kerja ke Indonesia pada saat pasar tenaga kerja global masih belum pulih.
IV. PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Perkembangan transaksi
berjalan Indonesia selama periode 1960-2012 sangat dipengaruhi baik oleh faktor internal (kondisi ekonomi domestik)
maupun faktor eksternal (perkembangan ekonomi dunia). Transaksi berjalan mengalami defisit selama 14
tahun yaitu periode 1960-1973 yang diikuti dengan surplus pada tahun 1974
kemudian kembali mengalami defisit selama 4 tahun 1975-1978 dan diakhiri dengan
surplus pada tahun 1979-1980. Selanjutnya transaksi berjalan mengalami defisit
dalam waktu yang panjang selama 17 tahun yaitu 1981-1997. Pasca krisis keuangan
Asia kinerja transaksi berjalan berbalik menjadi surplus selama 14 tahun yaitu
tahun 1998-2011. Krisis keuangan global 2008 yang diikuti dengan krisis utang
Eropa telah membalikkan kinerja transaksi berjalan sehingga selama tahun 2012
transaksi berjalan mengalami defisit.
Secara umum, beberapa faktor yang dapat mempengaruhi
kinerja transaksi berjalan adalah pertumbuhan ekonomi dunia, pertumbuhan mitra
dagang utama Indonesia, pertumbuhan ekonomi domestik, harga komoditas, kebijakan
nilai tukar, kebijakan sektor
keuangan dan sektor riil, serta krisis keuangan. Pertumbuhan ekonomi dunia
terutama pertumbuhan mitra dagang utama Indonesia mempengaruhi kinerja
transaksi berjalan melalui ekspor barang dan jasa, sedangkan pertumbuhan
ekonomi domestik melalui impor barang dan jasa. Harga komoditas mempengaruhi
kinerja transaksi berjalan baik melalui ekspor karena Indonesia adalah
eksportir komoditas, maupun impor karena Indonesia saat ini menyandang status net oil importer. Defisit neraca perdagangan minyak yang semakin melebar perlu terus
diwaspadai karena peningkatan
konsumsi BBM cenderung untuk keperluan konsumtif dimana peningkatan
konsumsi ini tidak diimbangi dengan peningkatan produksi minyak. Kinerja transaksi berjalan
dipengaruhi oleh kebijakan nilai tukar melalui daya saing harga produk-produk
Indonesia di pasar global. Kebijakan
sektor keuangan dan sektor riil mempengaruhi transaksi berjalan dalam
penyediaan sumber pembiayaan kegiatan perdagangan internasional dan produk
instrumen keuangan serta mendorong investasi, meningkatkan efisiensi dan
kapasitas produksi nasional untuk meningkatkan ekpor nonmigas dan mengurangi
impor nonmigas.
Dua krisis keuangan memberikan dampak yang berbeda
terhadap kinerja transaksi berjalan. Krisis keuangan Asia tahun 1997/1998 memberikan pelajaran tentang pentingnya
memiliki cadangan devisa yang besar melalui kebijakan yang mendorong surplus
transaksi berjalan. Sementara krisis keuangan
global tahun 2008/2009 dan krisis utang
Eropa tahun 2011/2012 memberikan
tekanan cukup besar pada transaksi berjalan dimana pasar ekspor utama Indonesia
mengalami resesi sehingga permintaan ekspor turun drastis, sedangkan permintaan
impor masih tinggi yang bersumber dari kuatnya permintaan domestik.
Pelemahan permintaan dunia dan penurunan harga
komoditas ekspor merupakan risiko utama yang akan menekan kinerja ekspor
Indonesia. Penurunan surplus
neraca perdagangan merupakan risiko bagi transaksi berjalan Indonesia.
Penurunan ekspor yang terus berlangsung dan kenaikan impor nonmigas dan produk
berbasis minyak akan terus menekan surplus neraca perdagangan. Defisit
transaksi berjalan Indonesia yang telah terjadi selama tahun 2012 diperkirakan
akan terus berlanjut karena kenaikan impor yang lebih tinggi dibandingkan ekspor. Selain itu, defisit neraca jasa yang semakin
membesar terutama jasa transportasi dan jasa asuransi menambah tekanan terhadap
kinerja transaksi berjalan.
4.2. Rekomendasi Kebijakan
Berdasarkan hasil
analisis dan kesimpulan tersebut,
rekomendasi kebijakan yang diusulkan untuk mengurangi defisit transaksi
berjalan adalah dengan melakukan
diversifikasi tujuan ekspor dan meningkatkan daya saing produk ekspor yang
memiliki nilai tambah tinggi, mengurangi ketergantungan pada ekspor komoditas karena harga komoditas yang sangat
berfluktuasi dan lebih mengandalkan pada ekspor produk manufaktur, serta mengurangi ketergantungan
impor yang tinggi dengan memperkuat industri nasional yang menghasilkan bahan
baku, bahan penolong dan barang modal.
Dua rekomendasi kebijakan untuk mengurangi defisit neraca perdagangan minyak yang semakin melebar adalah dengan menerapkan kebijakan
peningkatan produksi minyak dan pengendalian konsumsi BBM. Kebijakan untuk meningkatkan produksi minyak dilakukan dengan mengurangi dampak penurunan alamiah sumur
lama, antara lain melalui enhanced oil recovery (EOR) di sumur-sumur
minyak tua, meningkatkan
investasi di sektor migas untuk menambah sumur baru, mengoptimalkan sumur baru dan meningkatkan
koordinasi antar instansi dan pemda. Adapun kebijakan untuk mengendalikan konsumsi BBM dilakukan dengan mengatur konsumen yang boleh/dilarang
memakai BBM bersubsidi, mengurangi subsidi BBM melalui pengaturan/penyesuaian
harga BBM bersubsidi, mempercepat pengembangan transportasi masal dalam rangka
membatasi penggunaan kendaraan pribadi, dan melakukan konversi/diversifikasi
BBM ke BBG yang diikuti dengan pengembangan kendaraan non-BBM dan
kewajiban menggunakan BBG untuk kendaraan tertentu seperti kendaraan angkutan
barang.
Beberapa kebijakan yang dapat diterapkan untuk mengurangi defisit neraca
jasa-jasa yang semakin melebar adalah dengan mengurangi arus keluar jasa transportasi melalui peningkatan daya
saing industri pelayaran nasional, antara lain melalui pembenahan infrastruktur pelabuhan di Indonesia, kewajiban bagi perusahaan BUMN
yang melakukan ekspor/impor untuk menggunakan kapal berbendara Indonesia, serta himbauan bagi perusahaan
kapal nasional untuk menerapkan tarif angkutan yang kompetitif (international rate).
Kebijakan untuk mengurangi defisit jasa asuransi adalah dengan meningkatkan
daya saing industri asuransi nasional untuk mendukung transaksi perdagangan internasional, antara lain melalui pembentukan suatu perusahaan reasuransi besar oleh
pemerintah Indonesia (BUMN) sehingga ketergantungan pada perusahaan reasuransi
asing dapat dikurangi serta defisit pada jasa asuransi dapat berkurang. Hal
ini didasarkan bahwa risiko
asuransi umum relatif bersifat flat, artinya dengan mudah dapat diperkirakan dan di-manage dengan baik. Kebijakan yang memberikan proteksi bagi kemajuan industri asuransi dalam
negeri, antara lain dengan mewajibkan perusahaan asuransi di Indonesia
menggunakan perusahaan reasuransi lokal (tidak hanya satu perusahaan reasuransi lokal saja sebagaimana dalam KMK No. 426/2003). Kemudian
pemerintah dapat menghimbau perusahaan domestik untuk menggunakan
asuransi lokal dalam seluruh transaksi perdagangan nasional maupun
internasional.
Adapun rekomendasi kebijakan untuk meningkatkan surplus neraca transfer
berjalan adalah dengan membenahi sistem
pengiriman TKI. Kemampuan dan keterampilan TKI yang akan ke luar negeri harus terus ditingkatkan sehingga bisa memperoleh
pendapatan yang lebih bagus. Kemudian, Pemerintah harus aktif melobi negara yang mempekerjakan TKI agar memberikan
penghasilan yang lebih baik serta memberikan perlindungan TKI sebagai pahlawan
devisa.
DAFTAR PUSTAKA
Ardiyanto, Ferry (2006), “Analysis of
Current Account Deficits and Fiscal Deficits in Indonesia: A VAR Approach,” Jurnal Keuangan Publik, Vol. 4, No. 2, 1
– 18.
Bank Indonesia (2008), Neraca
Pembayaran Indonesia dan Posisi Investasi Internasional Indonesia: Konsep,
Sumber Data , dan Metode, Jakarta.
Bank Indonesia (2013), Neraca Pembayaran Indonesia, dapat didownload
pada alamat http://www.bi.go.id/web/id/Publikasi/Neraca+Pembayaran+Indonesia/
Calderón, César, Alberto
Chong, dan Loayza, Norman (2000), “Determinants of Current Account Deficits in Developing Countries,” Policy Research Working Paper No. 2398,
Washington, DC, USA: World Bank.
Chinn, Menzie D. dan
Prasad, Eswar S. (2003), “Medium-term Determinants of Current Accounts in
Industrial and Developing Countries: An Empirical Exploration,” Journal of International Economics, 59,
47-76.
Goeltom, Miranda S. (2007), Essays in
Macroeconomic Policy: The Indonesian Experience, Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.
Handoko, Rudi (2010), Model Proyeksi Ekspor dan Impor—Volume dan Harga, Kajian Ekonomi dan Keuangan, Vol. 14, No. 3, 61-81.
Handoko, Rudi (2011), Analisis Kesinambungan Transaksi Berjalan: 1980-2010,
Kajian Ekonomi dan Keuangan, Vol. 15,
No. 2, 69-95.
Hidayat, Mohammad (2012), Kebijakan Penyediaan BBM dalam Rangka Mendukung Ketahanan Energi Nasional, Focus Group Discussion: Defisit Transaksi Berjalan dan
Kebijakan BBM, Badan Kebijakan Fiskal, Jakarta.
Hill, Hal (2000), The Indonesian Economy, 2nd
edition, Cambridge University Press.
Hofman, B., Zhao, M. and Ishihara, Y. (2007) ‗Asian Development Strategies:
China and Indonesia Compared‘, Bulletin
of Indonesian Economic Studies 43(2): 171-199
International Monetary
Fund (1996), Balance of Payments Textbook,
Washington, DC, USA: IMF.
Kementerian Perhubungan (2011), Statistik
Perhubungan Buku I Tahun 2011, Jakarta.
Mankiw, N. Gregory (2007), “Macroeconomics,”
Sixth Edition, New York: Worth Publishers.
Moreno-Brid, J.C. dan
Perez, E. (1999), Balance-of-Payments-Constrained Growth in Central
America: 1950-96, Journal of Post
Keynesian Economics, Fall, Vol. 22, No. 1, 131.
Nasution, Anwar (1999), “Recent Issues in the
Management of Macroeconomic Policies in Indonesia,” in Rising to the Challenge in Asia: A Study of Financial Markets: Volume 6
– Indonesia, Asian Development Bank.
Noor, Julian (2012), Focus Group
Discussion (FGD): Defisit
Neraca Jasa pada Transaksi Berjalan: Freight & Insurance serta Kebijakan
Terkait, AAUI (Asosiasi Asuransi Umum
Indonesia), Jakarta.
Pugno, Maurizio (1998), The Stability of
Thirlwall’s Model of Economic Growth and the Balance-of-Payements Constraint, Journal of Post Keynesian Economics,
Summer, Vol. 20, No. 4, 559.
Suroso, P.C. (1994), Perekonomian
Indonesia, Jakarta, Gramedia.
Thirlwall, A.P. (2001), The Relation
between the Warranted Growth Rate, the Natural Rate, and the Balance of
Payments Equilibirium Growth Rate, Journal
of Post Keynesian Economics, Fall, Vol. 24, No. 1, 81.
Turner, P. (1999), The Balance of
Payments Constraint and the Post 1973 Slowdown of Economic Growth in the G7
Economies, International Review of
Applied Economics, Vol. 13, No. 1, , 41.
[1] Pertumbuhan ekonomi mitra dagang utama Indonesia dihitung dari
pertumbuhan PDB (seasonally adjusted)
dari 13 negara yang dibobot
berdasarkan ekspor Indonesia ke negara-negara tersebut. Ke-13 negara tersebut
mencerminkan 81% total ekspor
Indonesia.
[2]
Dengan menggunakan pertumbuhan PDB riil Indonesia sebagai proksi permintaan
domestik, menurut Handoko (2010)
permintaan domestik cukup signifikan secara statistik mempengaruhi volume impor
di mana setiap 1% kenaikan
permintaan domestik, volume
impor Indonesia akan naik
sebesar 3,2%.
No comments:
Post a Comment