Abstrak
Asumsi harga minyak mentah
Indonesia atau Indonesian Crude Price
yang biasa disingkat dengan ICP memegang peranan penting dalam pengelolaan
keuangan negara. Tulisan ini bertujuan untuk membuat model proyeksi harga minyak ICP bulanan. Metode yang digunakan adalah metode ekonometrik time series Box-Jenkin atau ARIMA (Autoregressive Integrated Moving Average).
Setelah mengikuti langkah-langkah metodologi Box-Jenkin, hasil estimasi menunjukkan bahwa model terbaik untuk proyeksi
harga minyak ICP bulanan adalah model ARIMA(1,2,1). Hasil proyeksi model ARIMA(1,2,1) dengan metode statis lebih akurat
dibandingkan metode dinamis dengan deviasi yang hanya 0,8%. Jika menggunakan
metode statis maka outlook
harga minyak ICP tahun 2014 akan berada pada kisaran US$106/barel –
US$108/barel. Rekomendasi kebijakan terkait
harga minyak adalah untuk menentukan asumsi harga minyak mentah Indonesia (ICP)
disarankan menggunakan model ARIMA(1,2,1). Model harga minyak ini memiliki
implikasi yang penting dalam pengelolaan keuangan negara yaitu model ARIMA ini
dapat membantu penetapan asumsi harga minyak ICP dan membantu merespon jika
terjadi gejolak harga minyak.
Kata kunci: harga minyak mentah Indonesia (ICP), Proyeksi, model
ARIMA, Box-Jenkin
Abstract
Indonesian crude oil price assumption, or
commonly abbreviated as ICP plays an important role in the management of state
finances. This paper aims to make an ICP projection model monthly. This paper
uses econometric methods time series Box-Jenkin or ARIMA (Autoregressive
Integrated Moving Average). After following the Box-Jenkin methodology,
estimation results indicate that the best model to forecast the monthly ICP is
ARIMA (1,2,1). Results projection ARIMA (1,2,1)
with a
static method is more accurate than the
dynamic method with a deviation of only 0.8%. If using the static method outlook for ICP in 2014 will be in the range of
US$106/barel - US$108/barel.
Policy recommendations related to the price of oil is to
determine the Indonesian crude oil price assumption (ICP) suggested using ARIMA
(1,2,1). The oil price models have important implications in the management of
state finances, namely the ARIMA model can help establish the assumption of ICP
and help respond in the event of oil price fluctuations.
Keywords: Indonesian Crude Price (ICP), Forecasting, ARIMA
model, Box-Jenkin
JEL Classifications: C22; C53; E37
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Proses
penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) merupakan proses yang
sangat penting dalam kegiatan perekonomian Indonesia. Penyusunan APBN
membutuhkan sejumlah asumsi ekonomi makro seperti pertumbuhan ekonomi, inflasi,
nilai tukar, suku bunga SPN, lifting migas, dan harga minyak mentah.
Asumsi-asumsi makro ini harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari DPR sebelum
pembahasan terkait dengan pos-pos yang dalam APBN seperti pendapatan, belanja
dan pembiayaan.
Untuk
asumsi harga minyak, acuan yang digunakan bukanlah harga minyak dunia seperti
WTI dan Brent melainkan harga minyak mentah Indonesia atau Indonesian Crude
Price (ICP). Besaran asumsi harga minyak ICP sangat penting karena digunakan
sebagai dasar dalam menghitung beberapa pos penting dalam APBN seperti
penerimaan migas, subsidi energi (BBM, listrik, BBN, LPG), dan Dana Bagi Hasil
Migas yang sangat dipengaruhi oleh harga minyak mentah Indonesia (ICP).
Penetapan
asumsi harga minyak ICP yang realistis, yaitu tidak jauh berbeda dengan angka
aktualnya, merupakan hal yang sangat penting karena ada risiko yang cukup besar
jika asumsi harga minyak yang digunakan dalam APBN jauh berbeda dengan
realisasinya yaitu berupa risiko penurunan pendapatan negara jika harga minyak
aktual lebih rendah dibandingkan asumsinya atau sebaliknya kenaikan belanja
negara jika harga minyak aktual melebihi asumsinya. Akibatnya adalah program
pemerintah yang telah direncanakan sebelumnya menjadi tidak tercapai yang pada
gilirannya dapat mempengaruhi perkembangan ekonomi nasional.
Selain
itu, dengan adanya Komite Asset Liability Management (ALM), kebutuhan proyeksi
ICP menjadi semakin penting karena manajemen kas pemerintah mengharuskan
dilakukan perencanaan kas yang meliputi proyeksi penerimaan, belanja, defisit
anggaran, pembiayaan, dan SilPA, yang membutuhkan proyeksi asumsi harga minyak bukan
hanya tahunan tapi juga bulanan bahkan mingguan.
Selama
ini Pemerintah mengalami kesulitan menetapkan angka asumsi harga minyak ICP
yang realistis. Hal ini dapat ditunjukkan dengan melihat perkembangan asumsi,
realisasi dan deviasi harga minyak Indonesia (ICP) yang disajikan pada Tabel 1.
Secara rata-rata asumsi harga minyak yang ditetapkan pada APBN dan APBN-P lebih
rendah dibandingkan realisasinya. Adapun persentase deviasi terhadap APBN masih
tinggi yaitu rata-rata sebesar 31%.
Tabel 1: Perkembangan Asumsi, Realisasi dan
Deviasi Harga Minyak Indonesia (ICP)
TA
|
APBN
|
APBN-P
|
Realisasi
|
Deviasi Realisasi
- APBN (US$)
|
Deviasi Realisasi
- APBN-P (US$)
|
Deviasi thd APBN
(%)
|
Deviasi thd
APBN-P (%)
|
2005
|
24
|
45
|
53
|
29
|
8
|
123
|
19
|
2006
|
57
|
64
|
64
|
7
|
0
|
13
|
0
|
2007
|
63
|
60
|
72
|
9
|
12
|
15
|
21
|
2008
|
60
|
95
|
97
|
37
|
2
|
62
|
2
|
2009
|
80
|
61
|
62
|
-18
|
1
|
-23
|
1
|
2010
|
65
|
80
|
79
|
14
|
-1
|
22
|
-1
|
2011
|
80
|
95
|
112
|
32
|
17
|
39
|
17
|
2012
|
90
|
105
|
113
|
23
|
8
|
25
|
7
|
2013
|
100
|
108
|
106
|
6
|
-2
|
6
|
-2
|
Sumber: Kementerian
Keuangan RI, diolah
Tingginya
deviasi ini dapat dimaklumi mengingat pergerakan harga minyak dipengaruhi oleh
banyak faktor baik yang bersifat fundamental seperti permintaan dan penawaran,
maupun yang bersifat non-fundamental seperti faktor geopolitik, spekulasi atau
cuaca. Semua faktor tersebut berada di luar kendali pemerintah Indonesia. Selain
itu, volatilitas atau gejolak harga minyak di pasar dunia relatif tinggi di
mana pada periode 2005-2013 volatilitas harga minyak mendekati 30 persen.
Volatilitas tahunan harga minyak bervariasi dengan volatilitas tertinggi
terjadi pada saat krisis keuangan global 2008 yang kemudian berangsur-angsur
turun di bawah 10 persen (Tabel 2). Volatilitas harga minyak yang tinggi pada
tahun 2008 disebabkan oleh selisih harga tertinggi dan harga terendah yang
cukup lebar mencapai di atas US$90/barel. Sebagai contoh harga minyak ICP
mencapai harga tertinggi pada Juli 2008 sebesar US$134,96/barel dan harga
terendah pada Desember 2008 sebesar US$38,45/barel.
Tabel 2: Volatilitas Harga Minyak (%)
2005
|
2006
|
2007
|
2008
|
2009
|
2010
|
2011
|
2012
|
2013
|
2005-2013
|
|
ICP
|
10.9
|
9.1
|
16.9
|
31.7
|
21.0
|
6.9
|
5.9
|
7.8
|
4.5
|
29.7
|
WTI
|
11.6
|
8.9
|
18.3
|
29.9
|
22.4
|
5.9
|
6.9
|
6.7
|
5.0
|
25.5
|
Brent
|
11.7
|
8.5
|
16.1
|
31.1
|
20.7
|
8.4
|
5.4
|
6.8
|
3.7
|
28.3
|
Sumber: Kementerian
ESDM, diolah
Untuk
membantu agar penetapan asumsi harga minyak ICP lebih akurat maka diperlukan
model ekonometrik yang mudah di-update
dan dijaga keberlangsungannya yaitu model ARIMA yang merupakan model univariat.
Pemilihan model ARIMA didasarkan pada pertimbangan bahwa model harga minyak ICP
dilakukan atas variabel harga minyak ICP itu sendiri dengan asumsi bahwa
variabel harga minyak ICP sangat dominan untuk menentukan harga minyak ICP itu
sendiri.
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, tulisan ini berusaha untuk menjawab bagaimana menyusun model ekonometrik runtut
waktu (time series) yang bersifat sederhana
(parsimonious) untuk memproyeksi
harga minyak ICP. Model yang sederhana ini akan lebih mudah dipahami, di-update dan dijaga keberlangsungannya serta
dapat mengestimasi parameter model dengan lebih cepat dan akurat sehingga lebih
berguna dalam proses pengambilan keputusan.
1.3.Tujuan Penulisan
Tulisan ini bertujuan untuk membuat
model proyeksi harga minyak ICP sebagai masukan dalam penentuan asumsi harga
minyak mentah Indonesia (ICP) pada RAPBN serta outlook harga minyak ICP dalam
rangka Komite ALM.
1.4. Metodologi
Tulisan ini
menggunakan pendekatan analisis ekonometrik runtut waktu karena kajian ini bertujuan untuk memproyeksi
harga minyak ICP yang merupakan data runtut waktu. Data yang digunakan adalah data sekunder dengan
teknik pengumpulan data melalui dokumentasi yang bersumber dari Kementerian
ESDM. Periode data yang
digunakan adalah periode Januari 2005 – Desember 2013.
II. KERANGKA TEORI
2.1. Harga Minyak Mentah Indonesia
Harga minyak mentah
Indonesia atau Indonesian Crude Price
(ICP) adalah harga rata-rata 50 jenis minyak mentah Indonesia di pasar dunia
yang ditetapkan setiap bulan. ICP digunakan sebagai asumsi harga minyak dalam
APBN untuk menentukan besaran penerimaan migas, subsidi energi, dan dana bagi
hasil minyak. Berdasarkan Keputusan
Menteri Energi dan Sumber Daya Material (ESDM) No. 2704 K/12/MEM/2013 tentang
Penetapan Formula Harga Minyak Mentah Indonesia, terdapat 52 jenis minyak
mentah Indonesia yang masing-masing mempunyai harga yang berbeda yang terbagi dalam
dua kelompok yaitu minyak mentah utama Indonesia (benchmark crude) dan minyak mentah Indonesia lainnya. Ada delapan
jenis minyak mentah utama Indonesia (SLC, Arjuna, Attaka, Cinta, Duri, Widuri,
Belida, dan Senipah Condensate)
dengan formula harga yang mengacu pada publikasi yang diterbitkan oleh lembaga
independen internasional RIM dan PLATT’S dengan formula ICP = 50% RIM + 50%
PLATT’S. Sementara itu, ada 44 jenis minyak mentah Indonesia lainnya yang
harganya dihitung berdasarkan formula yang mengacu pada delapan jenis minyak
mentah utama Indonesia.
2.2. Kajian Empiris Proyeksi Harga Komoditas
dengan ARIMA
Model ARIMA atau Autoregressive Integrated Moving Average
merupakan model yang umum digunakan dalam memperkirakan harga komoditas dan
tepat untuk memproyeksi harga jangka pendek, seperti satu minggu,satu bulan,
satu triwulan, satu tahun (Bal dan Yayar, 2006). Menurut Behmiri dan Manso (2013) model ARIMA merupakan model
proyeksi yang tepat untuk membuat proyeksi harga minyak dengan horizon jangka
pendek. Akan tetapi, untuk proyeksi dengan horizon waktu yang panjang, model
ARIMA bukan model yang tepat.
Bal
dan Yayar (2006) menggunakan data bulanan dari Januari 1994 s.d. Desember 2005
untuk membuat model proyeksi harga minyak bunga matahari. Bal dan Yayar (2006)
menemukan model yang tepat untuk memproyeksi harga minyak bunga matahari yaitu
model ARIMA(1,1,1).
Arshad dan Ghaffar (1986) menggunakan model ARIMA untuk
memproyeksi harga minyak mentah sawit (CPO). Dengan menggunakan data bulanan
harga minyak sawit dari tahun 1974 s.d. 1984, Arshad dan Ghaffar (1986)
memperoleh model yang tepat yaitu model ARIMA musiman (0,2,1)(0,1,1)6.
Arshad dan Ghaffar (1986) juga berpendapat bahwa model ARIMA lebih layak untuk
keperluan proyeksi jangka pendek.
Dengan menggunakan metodologi Box dan Jenkins, Akomolafe
dan Danladi (2013) berusaha membuat model proyeksi harga minyak mentah dengan
menggunakan data bulanan dari Januari 1993 s.d. Oktober 2012. Model yang
dinilai baik adalah model ARIMA(2,1,0).
Etuk (2013) memodelkan harga minyak mentah Nigeria (Bonny Light) dengan memasukkan faktor
musiman pada model ARIMA. Dengan menggunakan data bulanan 2006 s.d. 2011, model
ARIMA musiman untuk harga minyak mentah Nigeria merupakan hasil perkalian dari
dua bagian MA ber-order satu (yang pertama tidak musiman dan yang kedua musiman
12 bulan) dan bagian AR ber-order satu musiman 12 bulan atau dapat dinotasikan
sebagai (0,1,1)x(1,1,1)12.
Lee (2009) menggunakan data harian harga minyak WTI dari
2 Januari 1986 s.d. 30 September 2009 untuk membuat model proyeksi harga minyak
mentah. Dengan menggunakan metodologi Box-Jenkins, model proyeksi harga minyak
mentah yang tepat adalah model ARIMA(1,2,1).
Bosler (2010) memodelkan harga minyak dengan menggunakan
data triwulanan harga rata-rata F.O.B. (freight
on board) semua jenis minyak mentah yang diimpor Amerika Serikat. Bosler
(2010) menemukan dua model ARIMA yang cocok yaitu ARIMA(2,1,0) atau
ARIMA(4,1,0). Akan tetapi, kemampuan proyeksi model ARIMA(4,1,0) lebih baik
dibandingkan ARIMA(2,1,0).
Shabri (2013) membuat model ARIMA untuk harga minyak
mentah Brent dengan menggunakan data harian dari 20 Mei 1987 s.d. 30 September
2006. Dengan jumlah data yang besar, model ARIMA yang diperoleh adalah
ARIMA(7,1,6). Kemudian, Ahmed dan Shabri (2014) membuat model ARIMA untuk harga
minyak mentah WTI dengan data harian dari 1 Januari 1986 s.d. 30 September 2006.
2.3. Kerangka
Ekonometrika Time Series
2.3.1. Pentingnya Data Stasioner
Ekonometrik runtut waktu sangat menekankan pentingnya untuk
membedakan antara variabel stasioner dan non-stasioner. Variabel stasioner adalah
variabel yang tidak mengandung tren tetapi mengandung tren deterministik (tetap),
sedangkan variabel non-stasioner adalah variabel yang mengandung tren yang
bersifat stokastik (random) (Harris dan Sollis, 2003).
Variabel Yt dikatakan stasioner jika rata-rata, varians dan
kovarians-nya tetap konstan sepanjang waktu atau secara notasi adalah (Asteriou
dan Hall, 2007):
(a)
E (Yt)
= konstan untuk semua t;
(b)
Var (Yt)
= konstan untuk semua t;
(c)
Cov (Yt,
Yt+k) = konstan untuk semua t
dan k ≠ 0
Sebagian besar variabel runtut waktu
bersifat non-stasioner dan melakukan regresi pada variabel non-stasioner
menghasilkan regresi palsu (spurious
regression), yang berarti bahwa hasil regresi tidak memiliki arti ekonomi sama
sekali. Untuk membuat variabel menjadi stationer, kita harus menghilangkan
unsur tren dari data mentah dengan melakukan diferensi (differencing). Diferensi pertama (first differences) dari variabel Yt dinotasikan dengan:
Jika setelah dilakukan diferensi pertama variabel sudah
stasioner maka dikatakan terintegrasi oder satu atau I(1). Jika belum stasioner, maka perlu dilakukan
diferensi kedua (second differences)
sebagai berikut:
Jika sebuah variabel harus di-diferensi sebanyak d kali sebelum menjadi stasioner maka variabel
tersebut dikatakan terintegrasi (integrated)
orde d atau I(d) (Asteriou dan Hall,
2007).
2.3.2. ARIMA dan
Metodologi Box-Jenkin
Istilah
ARIMA merupakan kepanjangan dari AR = autoregressive,
I = integrated, dan MA = moving average. Model ARIMA(p, d, q) adalah model yang mengandung
unsur AR berupa p kelambangan (lag) dari dependen variabel, unsur I
berupa d proses diferensiasi agar data
menjadi stasioner, dan unsur MA berupa q
lag dari error term (Widarjono, 2005). Model ARIMA dikembangkan oleh Box dan
Jenkins pada tahun 1960-an (Vogelvang, 2005).
Persamaan
model AR(p) ditulis sebagai berikut:
Dimana Yt adalah variabel dependen; Yt-1, Yt-2, Yt-p
adalah kelambanan (lag) dari Yt; et adalah residual (kesalahan penganggu) dan p adalah tingkat AR.
Persamaan model MA(q)
ditulis sebagai berikut:
Dimana et adalah residual; et-1, et-2, et-q
adalah kelambanan (lag) dari et, dan q adalah tingkat MA.
Persamaan model ARMA(p,q) ditulis sebagai berikut:
Adapun
persamaan model ARIMA(p, d, q) dapat ditulis sebagai berikut:
Dimana d adalah orde
integrasi (I).
Perlu
dicatat bahwa model AR(p) harus
memenuhi kondisi stationeritas (stationarity)
dan model MA(q) harus memenuhi
kondisi invertibilitas (invertibility).
Kedua kondisi ini terpenuhi jika nilai absolut inverted roots AR maupun MA lebih kecil daripada satu (Diebold,
2007).
Metodologi Box-Jenkin meliputi empat tahapan
yaitu identifikasi model, estimasi parameter model, uji diagnosis, dan prediksi
(Widarjono, 2005). Tahap identifikasi model meliputi uji stasioner melalui correlogram dan pemilihan model ARIMA(p,
d, q). Uji stasioner dilakukan dengan
menggunakan uji statistik Ljung-Box (LB) dengan rumus sebagai berikut
(Widarjono, 2005):
di mana n = jumlah
sample, k = kelambanan (lag), dan ρk
= Autocorrelation Function (ACF) pada
kelambanan k.
Uji statistik LB
mengikuti distribusi chi squares
(χ2) dengan derajat kebebasan (degree
of freedom/df) sebesar m. Data
menunjukkan stasioner jika nilai statistik Ljung-Box lebih kecil daripada nilai
kritis statistik dari tabel distribusi chi squares (χ2) dan sebaliknya, data tidak stasioner
jika nilai statistik Ljung-Box lebih
besar daripada nilai kritis statistik dari tabel distribusi chi squares (χ2). Program
EViews 8 secara otomatis memberikan nilai statistik LB di mana Q-Stat pada correlogram yang dihasilkan dari program
EViews 8 merupakan nilai statistik LB. EViews 8 juga memberikan nilai
probabilitas statistik Ljung-Box.
Untuk
menentukan model ARIMA yang tepat digunakan correlogram
dengan melihat pola autocorrelation
function (ACF) dan partial autocorrelation
function (PACF) dengan pedoman yang disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3: Model ARMA Sesuai Pola ACF dan PACF
Model
|
Pola
ACF
|
Pola
PACF
|
White noise murni
|
Semua otokorelasi adalah nol
|
Semua parsial otokorelasi adalah nol
|
MA(1)
|
lonjakan positif tunggal pada lag 1
|
Peluruhan secara bergelombang atau eksponensial
|
AR(1)
|
Peluruhan secara bergelombang atau eksponensial
|
lonjakan positif tunggal pada lag 1
|
ARMA(1,1)
|
Peluruhan (secara bergelombang atau eksponensial) dimulai
pada lag 1
|
Peluruhan (secara bergelombang atau eksponensial) dimulai
pada lag 1
|
ARMA(p,q)
|
Peluruhan (secara bergelombang atau eksponensial) dimulai
pada lag q
|
Peluruhan (secara bergelombang atau eksponensial) dimulai
pada lag p
|
Sumber: Asteriou dan Hall, 2007
Setelah menentukan beberapa model ARIMA yang
akan dipakai, langkah selanjutnya adalah mengestimasi model ARIMA tersebut dan
kemudian memilih model terbaik berdasarkan kriteria goodness of fit yang meliputi signifikansi variabel independen dan
nilai koefisien determinasi (R2) (Widarjono, 2005). Akan tetapi,
Vogelvang (2005) berpendapat bahwa koefisien determinasi (R2) tidak
terlalu bermanfaat dalam pemilihan model runtut waktu. Vogelvang (2005)
menyarankan melihat kriteria informasi (information
criterion) dan daya proyeksi (forecasting
power) dalam pemilihan model runtut waktu. Kriteria informasi yang umum
digunakan adalah Akaike Information
Criterion (AIC) dan Schwarz
Information Criterion (SIC) dengan pedoman pemilihan modelnya adalah model
dengan varians sisa (residual variance)
yang terkecil (Vogelvang, 2005). Pemelihan model ARIMA dengan AIC dan SIC juga
disarankan oleh Diebold (2007) dan Brooks (2007).
Model ARIMA yang telah dipilih berdasarkan
kriteria tersebut di atas harus dilakukan uji diagnosis untuk melihat apakah
residual dari estimasi model ARIMA tersebut bersifat random (white noise). Jika residual bersifat
random maka tahap terakhir adalah melakukan evaluasi terhadap kemampuan
prediksi model tersebut. Program EViews 8 telah menyediakan empat indikator
untuk mengevaluasi daya prediksi yaitu Root
Mean Squared Error (RMSE), Mean
Absolute Error (MAE), Mean Absolute
Percentage Error (MAPE), dan Theil
Inequality Coefficient (Brooks, 2007).
III. HASIL
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
3.1. Deskripsi Data Harga Minyak ICP
Gambar 3 menunjukkan
perkembangan harga minyak mentah Indonesia (ICP), WTI dan Brent dari Januari
2005 s.d. Desember 2013. Pergerakan harga minyak ICP cenderung mengikuti pola
pergerakan minyak dunia terutama WTI dan Brent. Harga minyak mentah WTI
merupakan harga minyak mentah patokan di pasar Amerika Serikat dan menjadi
harga acuan minyak mentah dalam perdagangan dunia. Harga minyak mentah Brent
merupakan harga minyak mentah acuan yang dipakai oleh hampir dua pertiga negara
di dunia baik produsen minyak (Non OPEC) dan negara konsumen minyak mentah
dunia, seperti negara-negara OECD. Selama periode Januari 2005—Desember 2013,
harga minyak dunia WTI dan Brent mencapai harga tertingginya pada Juni 2008
dengan harga masing-masing sebesar US$133,6/barel dan US$139,3/barel sedangkan
harga minyak ICP mencapai titik tertinggi pada Juli 2008 dengan harga
US$135,0/barel. Hal yang sama terjadi pada saat harga minyak dunia mencapai
titik terendahnya pada Desember 2008 untuk Brent dengan harga US$41,8/barel dan
pada Februari 2009 untuk WTI dengan harga US$39,2/barel. Sementara itu, harga
minyak ICP mencapat titik terendahnya pada Desember 2008 dengan harga
US$38,5/barel. Pergerakan harga minyak yang bergejolak selama tahun 2008
disebabkan oleh adanya permintaan minyak yang tinggi akibat pertumbuhan ekonomi
global yang kuat sementara dari sisi penawaran mengalami keterbatasan
kapasitas. Ketika ekonomi global mulai melambat dan kemudian masuk ke dalam
resesi karena krisis keuangan global 2008, permintaan minyak dunia turun dengan
cepat sementara pasokan lebih lambat turunnya sehingga harga jatuh (Khan, 2009).
Gambar 1: Harga Minyak Mentah Indonesia (ICP),
WTI dan Brent (US$/barel)
Sumber: Kementerian
ESDM
Pergerakan harga minyak
ICP selama tahun 2005-2010 cenderung lebih dekat dengan pergerakan harga minyak
WTI dibanding dengan harga Brent. Selama periode 2005-2010 harga rata-rata ICP
adalah US$0,8/barel di bawah WTI dan
US$1,5/barel di bawah Brent.
Sementara itu, pergerakan harga minyak ICP selama tahun 2011-2013 cenderung
lebih dekat dengan pergerakan harga minyak Brent dibanding dengan harga WTI. Selama
periode tersebut harga rata-rata ICP adalah US$14,3/barel di atas WTI dan US$0,6/barel di bawah Brent (Gambar 2).
Gambar 2: Selisih Harga ICP dengan WTI dan
Brent
Sumber: Kementerian
ESDM, diolah
Gambar
3 menunjukkan histogram dan deskripsi statistik harga minyak ICP. Rata-rata
harga minyak ICP sebesar US$84.23/barel dan standar deviasi sebesar 25.1
menunjukkan tingkat volatilitas yang tinggi (30%). Statistik skewness sebesar
positif 0,08 menunjukkan distribusi data harga minyak ICP mendekati normal
dengan long right tail. Statistik
kurtosis data harga minyak ICP sebesar 1,8 atau kurang dari 3, yang menunjukkan
distribusi data yang relatif datar (platykurtic).
Statistik Jarque-Bera, uji statistik untuk menentukan data apakah data terdistribusi
normal, untuk data harga minyak ICP menunjukkan ditolaknya hipotesis distribusi
normal pada tingkat signifikan 1% tetapi tidak ditolak pada tingkat signifikan 5%.
Gambar 3: Histogram dan Statistik Harga Minyak
ICP
Sumber: EViews
3.2. Pengujian Stasionaritas Data
Model proyeksi ICP menggunakan data runtut
waktu sehingga harus dilakukan pengujian stasionaritas data yang bertujuan
untuk menghindari adanya spurious regression (regresi palsu). Gambar 4 menunjukkan
bahwa data ICP memiliki pola tidak stasioner karena memiliki tren naik.
Gambar
4: Perkembangan Harga Minyak ICP
Sumber: Kementerian ESDM
Untuk menentukan stasioner atau tidak
stationer data digunakan uji correlogram
sampai dengan lag 27. Panjang
kelambanan (lag) ini ditentukan
berdasarkan aturan main kasar (rule of
thumb) sebesar seperempat dari data runtut waktu yang ada (Widarjono,
2005). Correlogram ICP disajikan pada
Gambar 5 yang menunjukkan bahwa ACF mengalami penurunan linear dan pada PACF
menunjukkan adanya dua penurunan drastis (spike)
pada lag 1 dan lag 2. Uji koefisien ACF dan PACF secara serempak dari Ljung-Box
menunjukkan nilai statistik Ljung-Box sampai kelembanan 27 sebesar 493,55 lebih
besar dibandingkan nilai statistik chi
squares (χ2) dengan df sebesar 27 pada α = 5% adalah 40,1133
sehingga dapat disimpulkan bahwa data level ICP tidak stasioner.
Gambar 5: Correlogram Harga
Minyak ICP (Data Level)
Sumber: EViews
Untuk menentukan orde integrasi dan pada
orde berapa data ICP akan menjadi stasioner dilakukan diferensi pertama (first-difference) terlebih duhulu. Grafik
data runtut waktu diferensi pertama (first-difference)
ICP disajikan pada Gambar 6 yang menunjukkan adanya varians yang tidak konstan
pada tahun 2008.
Gambar
6: Grafik Harga Minyak ICP (Data Diferensi Pertama)
Sumber: EViews
Correlogram
dari diferensi pertama (first-difference)
ICP disajikan pada Gambar 7 yang masih menunjukkan adanya penurunan drastis (spike) pada ACF dan PACF lag 1. Uji koefisien ACF dan PACF secara
serempak dari Ljung-Box menunjukkan nilai statistik Ljung-Box sampai kelembanan
27 sebesar 59,433 lebih besar dibandingkan nilai statistik chi squares (χ2)
dengan df sebesar 27 pada α = 5% adalah 40,1133 sehingga dapat disimpulkan
bahwa diferensi pertama data ICP masih tidak stasioner.
Gambar
7: Correlogram Harga Minyak ICP (Data Diferensi Pertama)
Sumber: EViews
Hasil sebelumnya menunjukkan bahwa walaupun
telah dilakukan diferensi pertama, data masih tidak stasioner sehingga perlu
dilakukan diferensi kedua (second-difference).
Setelah dilakukan diferensi kedua, grafik data runtut waktu diferensi kedua ICP
menunjukkan varians yang relatif konstan (Gambar 8).
Gambar
8: Grafik Harga Minyak ICP (Data Diferensi Kedua)
Sumber: EViews
Correlogram
diferensi kedua data ICP disajikan pada Gambar 9. Uji koefisien ACF dan PACF
secara serempak dari Ljung-Box menunjukkan nilai statistik Ljung-Box sampai
kelembanan 27 sebesar 39,423 lebih kecil dibandingkan nilai statistik chi
squares (χ2) dengan df sebesar 27 pada α = 5% adalah 40,1133
sehingga dapat disimpulkan bahwa diferensi kedua data ICP telah stasioner
dengan orde integrasi 2 atau I(2).
Selanjutnya adalah menentukan model ARIMA
yang tepat. Correlogram diferensi
kedua data ICP menunjukkan adanya penurunan drastis (spike) pada lag 1 baik ACF maupun PACF. Pola seperti ini tidak
sesuai dengan yang disarankan pada Tabel 3 sehingga sangat sulit menentukan
model ARIMA yang tepat. Oleh karena itu, akan dilakukan perbandingan untuk
beberapa kombinasi model yang mungkin yaitu ARIMA(p, d, q) dengan d = 2 serta p
dan q kurang dari atau sama dengan 4, seperti yang disarankan oleh Diebold
(2007). Nilai AIC dan SIC untuk masing-masing model ARIMA disajikan pada Tabel 4.
Gambar
9: Correlogram Harga Minyak ICP (Data Diferensi Kedua)
Sumber: EViews
Tabel 4: Nilai AIC dan
SIC untuk Beberapa Kombinasi Model ARIMA
Model
|
AIC
|
SIC
|
Keterangan
|
ARIMA(1,2,0)
|
6.73
|
6.78
|
|
ARIMA(2,2,0)
|
6.74
|
6.82
|
|
ARIMA(3,2,0)
|
6.71
|
6.81
|
|
ARIMA(4,2,0)
|
6.72
|
6.85
|
|
ARIMA(0,2,1)
|
6.70
|
6.75
|
|
ARIMA(0,2,2)
|
6.56
|
6.64
|
|
ARIMA(0,2,3)
|
6.37
|
6.48
|
*
|
ARIMA(0,2,4)
|
6.40
|
6.53
|
|
ARIMA(1,2,1)
|
6.52
|
6.59
|
|
ARIMA(1,2,2)
|
6.54
|
6.64
|
|
ARIMA(1,2,3)
|
6.53
|
6.65
|
|
ARIMA(1,2,4)
|
6.55
|
6.70
|
|
ARIMA(2,2,1)
|
6.54
|
6.65
|
|
ARIMA(2,2,2)
|
6.42
|
6.54
|
*
|
ARIMA(2,2,3)
|
6.40
|
6.56
|
*
|
ARIMA(2,2,4)
|
6.44
|
6.62
|
*
|
ARIMA(3,2,1)
|
6.73
|
6.86
|
|
ARIMA(3,2,2)
|
6.55
|
6.71
|
|
ARIMA(3,2,3)
|
6.56
|
6.74
|
|
ARIMA(3,2,4)
|
6.59
|
6.80
|
|
ARIMA(4,2,1)
|
6.56
|
6.71
|
|
ARIMA(4,2,2)
|
6.55
|
6.71
|
|
ARIMA(4,2,3)
|
6.43
|
6.64
|
*
|
ARIMA(4,2,4)
|
6.46
|
6.69
|
*
|
*) Proses estimasi MA tidak memenuhi syarat invertibilitas
|
Sumber: EViews
Tabel 4 menunjukkan beberapa model ARIMA memiliki AIC dan SIC
yang kecil dibandingkan model ARIMA yang lain. Akan tetapi model tersebut
memiliki karakteristik di mana proses estimasi MA tidak memenuhi syarat invertibilitas
(nilai inverted MA roots lebih dari
satu) sehingga harus dikeluarkan. Model yang harus dikeluarkan adalah
ARIMA(0,2,3), ARIMA(2,2,2), ARIMA(2,2,3), ARIMA(2,2,4), ARIMA(4,2,3) dan
ARIMA(4,2,4). Setelah model ARIMA yang tidak memenuhi syarat invertibilitas dikeluarkan maka model ARIMA dengan AIC dan
SIC terkecil adalah model ARIMA(1,2,1) dengan AIC dan SIC masing-masing sebesar
6,52 dan 6,59.
Model ARIMA(1,2,1) dapat direpresentasikan sebagai
berikut:
Hasil estimasi model ARIMA(1,2,1) adalah
Dependent
Variable: D(ICP,2)
|
||||
Method:
Least Squares
|
||||
Date:
02/28/14 Time: 15:42
|
||||
Sample
(adjusted): 2005M04 2013M12
|
||||
Included
observations: 105 after adjustments
|
||||
Convergence
achieved after 19 iterations
|
||||
MA
Backcast: 2005M03
|
||||
Variable
|
Coefficient
|
Std. Error
|
t-Statistic
|
Prob.
|
C
|
0.003539
|
0.041286
|
0.085719
|
0.9319
|
AR(1)
|
0.463752
|
0.087849
|
5.278954
|
0.0000
|
MA(1)
|
-0.984866
|
0.014763
|
-66.71208
|
0.0000
|
R-squared
|
0.255192
|
Mean dependent var
|
-0.054762
|
|
Adjusted
R-squared
|
0.240588
|
S.D. dependent var
|
7.127965
|
|
S.E. of
regression
|
6.211611
|
Akaike info criterion
|
6.518873
|
|
Sum
squared resid
|
3935.579
|
Schwarz criterion
|
6.594700
|
|
Log
likelihood
|
-339.2408
|
Hannan-Quinn criter.
|
6.549600
|
|
F-statistic
|
17.47404
|
Durbin-Watson stat
|
1.955698
|
|
Prob(F-statistic)
|
0.000000
|
|||
Inverted
AR Roots
|
.46
|
|||
Inverted
MA Roots
|
.98
|
|||
Model ARIMA(1,2,1) harus dilakukan uji diagnosis untuk menentukan apakah model ini mampu menjelaskan data dengan baik. Uji diagnosis dilakukan dengan menguji apakah residual yang diperoleh bersifat random (white noise) (Widarjono, 2005).
Correlogram
residual disajikan pada Gambar 10. Uji koefisien ACF dan PACF secara serempak
dari Ljung-Box menunjukkan nilai statistik Ljung-Box sampai kelembanan 27
sebesar 24,727 lebih kecil dibandingkan nilai statistik chi squares (χ2)
dengan df sebesar 27 pada α = 5% adalah 40,1133 sehingga dapat disimpulkan
bahwa residual model ARIMA(1,2,1) adalah residual yang white noise.
Gambar 10: Correlogram
Residual Model ARIMA(1,2,1)
Sumber: EViews
Setelah dilakukan uji diagnosis, langkah selanjutnya
adalah melakukan uji prediksi. Uji prediksi dilakukan untuk periode di luar
sampel (out-of-sample forecast evaluation
period) yaitu periode Januari 2014 s.d. Mei 2014 baik dengan metode
proyeksi satu langkah ke depan (one-step-ahead
forecast) atau metode proyeksi statis maupun metode proyeksi banyak langkah
ke depan (multi-step-ahead forecast)
atau metode proyeksi dinamis. Hasil dan evaluasi proyeksi dinamis disajikan
pada Gambar 11. Hasil proyeksi relatif bagus karena masih berada di dalam interval
kepercayaan (confidence interval) +/-2S.E..
Kemampuan proyeksi cukup baik yang ditunjukkan oleh MAPE (Mean Absolute Percent Error) yang cukup kecil 4,5% yang menunjukkan
bahwa model yang dapat menjelaskan banyak variabilitas data out-sample. Kemudian koefisien Theil inequality sebesar 0,02 yang
relatif rendah. Selain itu, proporsi bias (bias
proportion) yang mengukur sejauh mana rata-rata proyeksi berbeda dengan
rata-rata data aktual bernilai cukup besar yaitu 0,93. Kemudian, proporsi
varians (variance proportion) yang mengukur
perbedaan antara variasi proyeksi dengan variasi data aktual juga bernilai
kecil yaitu 0,05. Terakhir adalah kesalahan proyeksi sisa yang terkumpul di
proporsi kovarians (covariance
proportions) dengan nilai 0.02.
Gambar
11: Hasil Metode Proyeksi Dinamis
Sumber: EViews
Sementara itu, hasil dan evaluasi metode proyeksi
statis disajikan pada Gambar 12. Hasil proyeksi relatif bagus karena masih
berada di dalam interval kepercayaan (confidence
interval) +/-2S.E.. Kemampuan proyeksi cukup baik yang ditunjukkan oleh
MAPE (Mean Absolute Percent Error)
yang cukup kecil 1,04% yang menunjukkan bahwa model yang dapat menjelaskan
banyak variabilitas data out-sample.
Kemudian koefisien Theil inequality
sebesar 0,007 yang relatif rendah. Selain itu, proporsi bias (bias proportion) yang mengukur sejauh
mana rata-rata proyeksi berbeda dengan rata-rata data aktual bernilai kecil
yaitu 0,28. Kemudian, proporsi varians (variance
proportion) yang mengukur perbedaan antara variasi proyeksi dengan variasi
data aktual juga bernilai kecil yaitu 0,24. Terakhir adalah kesalahan proyeksi
sisa yang terkumpul di proporsi kovarians (covariance
proportions) dengan nilai 0,48.
Gambar
12 Hasil Metode Proyeksi Statis
Sumber: EViews
Berdasarkan hasil dan evaluasi proyeksi yang disajikan pada
Gambar 11 dan Gambar 12 dan perhitungan deviasi yang disajikan pada Tabel 5 dapat
disimpulkan bahwa kinerja proyeksi metode proyeksi statis lebih akurat dibandingkan
metode proyeksi dinamis.
Tabel 5: Deviasi
Proyeksi dan Realisasi ICP Januari – Mei 2014
Dinamis
|
Statis
|
Realisasi
|
Deviasi Dinamis
(%)
|
Deviasi Statis
(%)
|
|
Jan-14
|
108.85
|
108.85
|
105.80
|
2.8
|
2.8
|
Feb-14
|
110.09
|
105.59
|
106.08
|
3.6
|
0.5
|
Mar-14
|
111.15
|
106.66
|
106.90
|
3.8
|
0.2
|
Apr-14
|
112.13
|
107.73
|
106.44
|
5.1
|
1.2
|
May-14
|
113.08
|
106.66
|
106.20
|
6.1
|
0.4
|
Rata-rata
|
111.06
|
107.10
|
106.28
|
4.3
|
0.8
|
Untuk mengetahui proyeksi atau outlook harga minyak ICP tahun 2014 dapat dilakukan dengan
memproyeksikan harga minyak bulanan sejak Januari 2014 sampai dengan Desember
2014 digunakan metode metode statis karena deviasi yang lebih kecil
dibandingkan metode dinamis. Hasil proyeksi dan perbandingannya dengan
realisasi disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6: Hasil
Proyeksi dan Realisasi ICP
Bulan
|
Proyeksi Statis
|
Realisasi
|
Realisasi + Proyeksi Jun-Des
|
Jan-14
|
108.85
|
105.80
|
105.80
|
Feb-14
|
105.59
|
106.08
|
106.08
|
Mar-14
|
106.66
|
106.90
|
106.90
|
Apr-14
|
107.73
|
106.44
|
106.44
|
May-14
|
106.66
|
106.20
|
106.20
|
Jun-14
|
106.52
|
106.52
|
|
Jul-14
|
107.10
|
107.10
|
|
Aug-14
|
107.80
|
107.80
|
|
Sep-14
|
108.56
|
108.56
|
|
Oct-14
|
109.35
|
109.35
|
|
Nov-14
|
110.15
|
110.15
|
|
Dec-14
|
110.97
|
110.97
|
|
Rata-rata 2014
|
107.99
|
106.28
|
107.65
|
Sumber: Kementerian ESDM dan EViews
Berdasarkan hasil proyeksi dan realisasi ICP pada Januari - Mei
2014 pada Tabel 5 maka diperoleh proyeksi harga minyak ICP rata-rata untuk
tahun 2014 akan berada pada rentang level US$106/barel - US$108/barel. Walaupun
outlook harga minyak ICP 2014 sebesar
US$106/barel – US$108/barel berada di atas angka asumsi APBN 2014 sebesar
US$105/barel atau di atas realisasi rata-rata harga minyak ICP Januari-Mei 2014
yang mencapai US$106,28/barel, angka outlook ini masih dapat diterima dengan
mengingat bahwa harga minyak memiliki volatilitas yang tinggi sehingga sangat
mungkin harga minyak ICP akan bergerak di atas atau di bawah angka outlook
serta hasil proyeksi yang diperoleh dari model ARIMA ini mengindikasikan tren
harga minyak ICP akan masih tinggi berada di atas US$100/barel (Gambar 13).
Gambar 13:
Perkembangan dan Proyeksi ICP (US$/barel)
Sumber: Kementerian ESDM dan EViews
IV. PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Asumsi harga minyak ICP
merupakan salah satu asumsi makro yang sangat penting dalam proses penyusunan
APBN. Untuk dapat membantu penentuan asumsi harga minyak ICP diperlukan suatu
model proyeksi harga minyak yang cukup handal dan mudah dipelihara. Dengan menggunakan
metode ekonometrik time series
Box-Jenkin, model terbaik adalah model
ARIMA(1,2,1).
Hasil proyeksi model ARIMA(1,2,1) dengan metode statis
lebih akurat dibandingkan metode dinamis berdasarkan hasil uji prediksi dan
besaran deviasi yang hanya 0,8%. Jika menggunakan metode statis maka outlook harga minyak ICP tahun 2014 akan
berada pada kisaran US$106/barel – US$108/barel.
4.2. Rekomendasi Kebijakan
Model
proyeksi harga minyak ICP ARIMA(1,2,1) dengan metode statis ini merupakan model
yang akurat karena deviasinya kecil sehingga model ini dapat digunakan untuk membantu
menetapkan asumsi harga minyak ICP dalam proses penyusunan APBN dan membantu
pengambil kebijakan dalam merespon terhadap gejolak (shock) harga minyak.
Hasil proyeksi atau outlook dari model ARIMA harus digunakan dengan
bijaksana. Sebelum menggunakan angka hasil proyeksi model ARIMA sebagai asumsi
harga minyak ICP, angka tersebut harus ditelaah terlebih dahulu berdasarkan
penilaian dan pertimbangan orang yang berpengalaman.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmed, Rana
Abdullah dan Shabri, Ani Bin (2014), “Daily Crude Oil Price Forecasting Model
Using ARIMA, Generalized Autoregressive Conditional Heteroscedastic and Support
Vector Machines,” American Journal of
Applied Sciences, 11(3), 425-432.
Akomolafe, K.
J. dan Danladi, Jonathan D. (2013), Modeling and Forecasting Crude Oil Price:
Implications for the Nigeria’s 2013 Budget Proposal, International Journal of Science and Research, 2(5), 445-448.
Arshad, Fatimah
Mohd. dan Ghaffar, Roslan A. (1986), Crude Palm Oil Price Forecasting:
Box-Jenkins Approach, Pertanika,
9(3), 359-367.
Asteriou,
Dimitrios dan Hall, Stephen G. (2007), “Applied
Econometrics: A Modern Approach,” Revised Edition, New York: Palgrave
Macmillan.
Bal, H. Sibel
Gulse, dan Yayar, Rustu (2006), Forecasting of Sunflower Oil Price in Turkey, Journal of Applied Sciences Research,
2(9), 572-578.
Behmiri, Niaz
Bashiri dan Manso, Jose R. Pires (2013), “Crude Oil Price Forecasting
Techniques: a Comprehensive Review of Literature,” Alternative Investment Analyst Review, 3(3), 30-48.
Bosler, Fabian
Torben (2010), Models for Oil Price
Prediction and Forecasting, Tesis Magister, Departemen Matematika dan
Statistik, San Diego State University.
Brooks, Chris
(2007), “Introductory Econometrics for
Finance” Cambridge: Cambridge University Press.
Diebold, Francis X. (2007), “Elements of Forecasting,” Fourth Edition, Ohio: Thomson
South-Western.
Etuk, Ette
Harrison (2013), Seasonal ARIMA Modelling of Nigerian Monthly Crude Oil Prices,
Asian Economic and Financial Review,
3(3), 333-340.
Harris, Richard dan Sollis, Robert (2003), “Applied Time Series Modelling and
Forecasting,” England: John Wiley & Sons.
Khan, Mohsin S. (2009), The 2008 Oil Price “Bubble”, Policy Brief, Peterson Institute for
International Economics.
Lee, Chee Nian
(2009), Application of ARIMA and GARCH
Models in Forecasting Crude Oil Prices, Tesis Magister, Fakultas Sains,
Universiti Teknologi Malaysia.
Shabri, Ani
(2013), “Crude Oil Forecasting with an Improved Model Based on Wavelet Transform
and Linear Regression Model,” 3rd International Conference on
Applied Mathematics and Pharmaceutical Sciences, 355-358.
Vogelvang, Ben
(2005), “Econometrics: Theory and
Application with EViews,” Harlow, England: Pearson Addison Wesley.
Widarjono, Agus (2005), “Ekonometrika: Teori dan Aplikasi untuk Ekonomi dan Bisnis,”
Yogyakarta: Ekonisia.
2 comments:
Misal, AIC terkecil pada model ARIMA(1,1,1) tetapi SC terkecil pada model ARIMA (1,1,2), model mana yang menjadi model terbaik? Terimakasih..
Bandingkan saja antara ARIMA(1,1,1) dan ARIMA(1,1,2) mana RMSE dan SE-nya yang terkecil. Kita pilih model yang RMSE dan SE-nya yang paling kecil.
Post a Comment