Sejak krisis keuangan global 2008 terjadi peningkatan capital inflow
ke Indonesia. Rasio kumulatif capital
inflow terhadap PDB Indonesia periode 2009-2011 telah mencapai 11,6%, atau sudah
melebihi Brazil ketika pertama kali menerapkan capital control (9,4% untuk periode 1992-94). Pada tahun 2012, sampai dengan triwulan III, capital inflow mencapai US$25 miliar
atau 3,8% dari PDB, di mana 53% nya merupakan FDI.
Hal
yang perlu mendapatkan perhatian adalah masuknya capital inflow ini ke investasi portofolio yang bersifat jangka
pendek sehingga kelebihan
likuiditas yang bersumber dari capital
inflow lebih banyak masuk
ke sektor keuangan bukan ke sektor riil.
Indikatornya adalah peningkatan
kepemilikan
asing atas SBN yang mencapai
rekor tertinggi sepanjang sejarah pada 6
Desember 2012 sebesar Rp 274,05 T atau
32,8% dari total kepemilikan. Sementara itu, kepemilikan saham oleh
asing pada Desember 2012 mencapai Rp 1.503,32 T atau 54% dari total aset.
Peningkatan capital inflow
yang besar akan berdampak terhadap apresiasi
nilai tukar riil rupiah yang dapat mengancam neraca perdagangan karena penurunan daya saing ekspor. Di sisi lain, penguatan rupiah akan
mendorong peningkatan impor karena
penurunan harga barang impor. Dampak
di atas dapat menyebabkan pelemahan fundamental ekonomi sehingga menjadi sumber
kerentanan atau krisis. Selain itu, pembalikan atau penghentian tiba-tiba (sudden stop or reversal) capital inflow dapat mengganggu
stabilitas sistem keuangan dan ekonomi makro.
IMF dalam publikasinya “The Liberalization and Management of Capital Flows: An Institutional
View” Nov 2012 menyatakan bahwa arus modal memberikan potensi manfaat yang
besar tetapi besaran dan volatilitasnya memunculkan tantangan kebijakan yang cukup
sulit. Risiko ini bisa menjadi jauh lebih
besar karena adanya celah infrastruktur keuangan dan kelembagaan. Oleh karena
itu, liberalisasi arus modal perlu direncanakan dengan baik, pada waktu dan
melalui fase yang tepat sehingga manfaatnya melebihi kelemahan
ataupun risiko yang dihadapi. Dalam
kondisi tertentu seperti ruang kebijakan ekonomi makro terbatas atau dampak
kebijakan membutuhkan waktu yang lama, capital
control dapat menjadi alat kebijakan yang tepat dan sebaiknya tidak
digunakan sebagai pengganti kebijakan ekonomi makro.
Lebih lanjut, IMF menyebutkan beberapa kebijakan
untuk mengelola capital inflow yang meliputi:
a.
Kebijakan ekonomi makro seperti stabilisasi nilai tukar,
akumulasi cadangan devisa, penurunan suku bunga, dan pengetatan fiskal.
b. Kebijakan
prudential terhadap lembaga keuangan domestik yang tidak mendiskriminasi
berdasarkan residensi seperti pembatasan posisi dan pinjaman valas di perbankan
domestik serta rasio LTV.
c. Kebijakan
capital control yang mendiskriminasi antara residen dan bukan residen,
antara lain melalui pajak.
Karakteristik capital
control yang diterapkan di berbagai negara adalah:
a. Asimetris, dalam arti dirancang lebih banyak untuk
mencegah capital inflow, bukan
mencegah capital outflow;
b. Bersifat sementara.
Capital
control yang efektif adalah yang
bersifat sementara, dan memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. Terasa sebagai kendala bagi pelaku usaha, dan berpengaruh
bagi penurunan tingkat suku bunga domestik.
b. Pajak bagi capital
inflow nilainya kecil relatif terhadap PDB. Sehingga ketergantungan
penerimaan tidak pada pajak ini.
c. Pengenaan pajak capital
inflow harus optimal (tidak terlalu rendah atau tinggi.)
d. Pengenaan pajak capital
inflow juga harus tepat pada waktunya (tidak terus menerus dikenakan, dan
penghapusannya tidak tertunda.)
Secara
implisit Indonesia sebenarnya telah menerapkan
capital control, khususnya melalui
beberapa peraturan perbankan/moneter namun
belum ada instrumen fiskal yang digunakan untuk menahan capital
inflow. Untuk membatasi aliran portofolio dana asing masuk ke
Indonesia, pemerintah dapat menerapkan pajak pembelian portofolio oleh asing
dengan tarif pajak yang akan ditentukan kemudian.
Penerapan
pajak pembelian ini hanya ditujukan atas instrumen portofolio, yaitu saham,
obligasi dan pendapatan tetap lainnya. Pajak pembelian tidak dikenakan atas
investasi langsung berupa PMA (FDI), dengan tujuan untuk mendorong dana asing
masuk ke sektor riil. Perlu diingat bahwa capital
inflow terutama dalam bentuk FDI masih sangat diperlukan untuk membiayai peningkatan defisit transaksi berjalan yang terjadi
sejak triwulan IV 2011 dan diperkirakan terus berlanjut pada tahun-tahun
berikutnya.
Mekanisme
pelaksanaan dan pengawasannya harus sederhana,
sehingga dapat efektif mengendalikan capital inflow serta memiliki efek yang signifikan dalam
mengamankan kondisi makroekonomi. Berdasarkan benchmark Brazil (ketika pertama kali menerapkan capital control), maka perlu diterapkan
pajak capital inflow sebesar 1%-2%.
Penerapan
pajak capital inflow diterapkan
sementara. Apabila pasar modal Indonesia kurang menguntungkan, dan aliran modal
masuk sudah berkurang, maka penerapan pajak dihapuskan. Penentuan seberapa lama
pajak capital inflow diterapkan dan
kapan dihapuskan, harus dilakukan pada saat yang tepat, sehingga prosedur harus
dibuat sesederhana mungkin.
Akan tetapi, pengenaan pajak atas transaksi pembelian
investasi portofolio oleh investor asing belum ada payung hukumnya di Indonesia. Menurut UU PPh,
PPh dikenakan atas suatu penghasilan, bukan atas suatu transaksi seperti transaksi
pembelian.
Pasal 22 UU PPh berbicara tentang pemungutan PPh atas
pembelian. Akan tetapi, pasal ini hanya berlaku untuk WP dalam negeri, dimana
atas PPh Pasal 22 yang dipungut tersebut dapat dikreditkan di akhir tahun saat
menghitung PPh terutangnya. PPh Pasal 22 ini bukan merupakan pajak atas
pembelian, melainkan pemungutan PPh yang dihitung berdasarkan pembelian barang
oleh WP yang atas pembelian tersebut dianggap dapat membuat penghasilan
tertentu, sehingga dapat dilakukan pemungutan PPh. Kemudian, di akhir tahun
dihitung berapa PPh yang sebenarnya terutang, dan atas PPh yang telah
dipotong/dipungut termasuk PPh Pasal 22, dapat dikreditkan (sebagai pengurang)
untuk menghitung PPh yang masih harus dibayar.
Pasal 4 ayat (2) UU PPh juga tidak dapat diterapkan untuk
pengenaan pajak atas transaksi pembelian investasi portofolio oleh investor
asing karena objek pajak yang dikenakan adalah penghasilan dari transaksi penjualan
(bukan transaksi pembelian) saham pendiri atau non-pendiri. Hal yang sama juga
berlaku untuk obligasi, karena objeknya adalah bunga obligasi bukan atas transaksi
pembelian obligasi.
Sementara itu, PP No. 14/ 1997 tentang Perubahan atas PP No. 41/1994 tentang PPh atas
Penghasilan dari Transaksi Penjualan Saham di Bursa Efek, mengatur pengenaan
PPh final atas penghasilan dari transaksi penjualan saham di bursa Indonesia yang tidak membedakan ariff PPh atas penjualan
saham yang dimiliki oleh WP Dalam Negeri maupun
WP
Luar Negeri.
Opsi lain
adalah dengan mengenakan
pemungutan/pemotongan pajak (witholding
tax) atas capital gain dan
pendapatan bunga atas kepemilikan asing surat utang (obligasi) pemerintah, perusahaan
swasta dan bank sentral seperti yang dilakukan Thailand dengan tarif 15% atau
Korea yang mengenakan tarif 14% atas obligasi pemerintah dan surat berharga
bank sentral.
Kebijakan lain yang
dapat digunakan untuk mengelola capital
inflow adalah kebijakan pengenaan pajak atas penarikan utang luar negeri
yang dilakukan swasta dengan memperhitungkan rasio utang terhadap modal (debt equity ratio).
No comments:
Post a Comment