Thursday, March 10, 2016

CAPITAL CONTROL IN INDONESIA: COULD IT BE?

Bismillaah,

Sejak krisis keuangan global 2008 terjadi peningkatan capital inflow ke Indonesia. Rasio kumulatif capital inflow terhadap PDB Indonesia periode 2009-2011 telah mencapai 11,6%, atau sudah melebihi Brazil ketika pertama kali menerapkan capital control (9,4% untuk periode 1992-94). Pada tahun 2012, sampai dengan triwulan III, capital inflow mencapai US$25 miliar atau 3,8% dari PDB, di mana 53% nya merupakan FDI.
Hal yang perlu mendapatkan perhatian adalah masuknya capital inflow ini ke investasi portofolio yang bersifat jangka pendek sehingga kelebihan likuiditas yang bersumber dari capital inflow lebih banyak masuk ke sektor keuangan bukan ke sektor riil. Indikatornya adalah peningkatan kepemilikan asing atas SBN yang mencapai rekor tertinggi sepanjang sejarah pada 6 Desember 2012 sebesar Rp 274,05 T atau 32,8% dari total kepemilikan. Sementara itu, kepemilikan saham oleh asing pada Desember 2012 mencapai Rp 1.503,32 T atau 54% dari total aset.
Peningkatan capital inflow yang besar akan berdampak terhadap apresiasi nilai tukar riil rupiah yang dapat mengancam neraca perdagangan karena penurunan daya saing ekspor. Di sisi lain, penguatan rupiah akan mendorong peningkatan impor karena penurunan harga barang impor. Dampak di atas dapat menyebabkan pelemahan fundamental ekonomi sehingga menjadi sumber kerentanan atau krisis. Selain itu, pembalikan atau penghentian tiba-tiba (sudden stop or reversal) capital inflow dapat mengganggu stabilitas sistem keuangan dan ekonomi makro.
IMF dalam publikasinya “The Liberalization and Management of Capital Flows: An Institutional View” Nov 2012 menyatakan bahwa arus modal memberikan potensi manfaat yang besar tetapi besaran dan volatilitasnya memunculkan tantangan kebijakan yang cukup sulit. Risiko ini bisa menjadi jauh lebih besar karena adanya celah infrastruktur keuangan dan kelembagaan. Oleh karena itu, liberalisasi arus modal perlu direncanakan dengan baik, pada waktu dan melalui fase yang tepat sehingga manfaatnya melebihi kelemahan ataupun risiko yang dihadapi. Dalam kondisi tertentu seperti ruang kebijakan ekonomi makro terbatas atau dampak kebijakan membutuhkan waktu yang lama, capital control dapat menjadi alat kebijakan yang tepat dan sebaiknya tidak digunakan sebagai pengganti kebijakan ekonomi makro.
Lebih lanjut, IMF menyebutkan beberapa kebijakan untuk mengelola capital inflow yang meliputi:
a.    Kebijakan ekonomi makro seperti stabilisasi nilai tukar, akumulasi cadangan devisa, penurunan suku bunga, dan pengetatan fiskal.
b.    Kebijakan prudential terhadap lembaga keuangan domestik yang tidak mendiskriminasi berdasarkan residensi seperti pembatasan posisi dan pinjaman valas di perbankan domestik serta rasio LTV.
c.    Kebijakan capital control yang mendiskriminasi antara residen dan bukan residen, antara lain melalui pajak.
Karakteristik capital control yang diterapkan di berbagai negara adalah:
a.    Asimetris, dalam arti dirancang lebih banyak untuk mencegah capital inflow, bukan mencegah capital outflow;
b.    Bersifat sementara.
Capital control yang efektif adalah yang bersifat sementara, dan memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a.    Terasa sebagai kendala bagi pelaku usaha, dan berpengaruh bagi penurunan tingkat suku bunga domestik.
b.    Pajak bagi capital inflow nilainya kecil relatif terhadap PDB. Sehingga ketergantungan penerimaan tidak pada pajak ini.
c.    Pengenaan pajak capital inflow harus optimal (tidak terlalu rendah atau tinggi.)
d.    Pengenaan pajak capital inflow juga harus tepat pada waktunya (tidak terus menerus dikenakan, dan penghapusannya tidak tertunda.)
Secara implisit Indonesia sebenarnya telah menerapkan capital control, khususnya melalui beberapa peraturan perbankan/moneter namun belum ada instrumen fiskal yang digunakan untuk menahan capital inflow. Untuk membatasi aliran portofolio dana asing masuk ke Indonesia, pemerintah dapat menerapkan pajak pembelian portofolio oleh asing dengan tarif pajak yang akan ditentukan kemudian.
Penerapan pajak pembelian ini hanya ditujukan atas instrumen portofolio, yaitu saham, obligasi dan pendapatan tetap lainnya. Pajak pembelian tidak dikenakan atas investasi langsung berupa PMA (FDI), dengan tujuan untuk mendorong dana asing masuk ke sektor riil. Perlu diingat bahwa capital inflow terutama dalam bentuk FDI masih sangat diperlukan untuk membiayai peningkatan defisit transaksi berjalan yang terjadi sejak triwulan IV 2011 dan diperkirakan terus berlanjut pada tahun-tahun berikutnya.
Mekanisme pelaksanaan dan pengawasannya harus sederhana, sehingga dapat efektif mengendalikan capital inflow serta memiliki efek yang signifikan dalam mengamankan kondisi makroekonomi. Berdasarkan benchmark Brazil (ketika pertama kali menerapkan capital control), maka perlu diterapkan pajak capital inflow sebesar 1%-2%.
Penerapan pajak capital inflow diterapkan sementara. Apabila pasar modal Indonesia kurang menguntungkan, dan aliran modal masuk sudah berkurang, maka penerapan pajak dihapuskan. Penentuan seberapa lama pajak capital inflow diterapkan dan kapan dihapuskan, harus dilakukan pada saat yang tepat, sehingga prosedur harus dibuat sesederhana mungkin.
Akan tetapi, pengenaan pajak atas transaksi pembelian investasi portofolio oleh investor asing belum ada payung hukumnya di Indonesia. Menurut UU PPh, PPh dikenakan atas suatu penghasilan, bukan atas suatu transaksi seperti transaksi pembelian.
Pasal 22 UU PPh berbicara tentang pemungutan PPh atas pembelian. Akan tetapi, pasal ini hanya berlaku untuk WP dalam negeri, dimana atas PPh Pasal 22 yang dipungut tersebut dapat dikreditkan di akhir tahun saat menghitung PPh terutangnya. PPh Pasal 22 ini bukan merupakan pajak atas pembelian, melainkan pemungutan PPh yang dihitung berdasarkan pembelian barang oleh WP yang atas pembelian tersebut dianggap dapat membuat penghasilan tertentu, sehingga dapat dilakukan pemungutan PPh. Kemudian, di akhir tahun dihitung berapa PPh yang sebenarnya terutang, dan atas PPh yang telah dipotong/dipungut termasuk PPh Pasal 22, dapat dikreditkan (sebagai pengurang) untuk menghitung PPh yang masih harus dibayar.
Pasal 4 ayat (2) UU PPh juga tidak dapat diterapkan untuk pengenaan pajak atas transaksi pembelian investasi portofolio oleh investor asing karena objek pajak yang dikenakan adalah penghasilan dari transaksi penjualan (bukan transaksi pembelian) saham pendiri atau non-pendiri. Hal yang sama juga berlaku untuk obligasi, karena objeknya adalah bunga obligasi bukan atas transaksi pembelian obligasi.
Sementara itu, PP No. 14/ 1997 tentang Perubahan atas PP No. 41/1994 tentang PPh atas Penghasilan dari Transaksi Penjualan Saham di Bursa Efek, mengatur pengenaan PPh final atas penghasilan dari transaksi penjualan saham di bursa Indonesia yang tidak membedakan ariff PPh atas penjualan saham yang dimiliki oleh WP Dalam Negeri maupun WP Luar Negeri.
Opsi lain adalah dengan mengenakan pemungutan/pemotongan pajak (witholding tax) atas capital gain dan pendapatan bunga atas kepemilikan asing surat utang (obligasi) pemerintah, perusahaan swasta dan bank sentral seperti yang dilakukan Thailand dengan tarif 15% atau Korea yang mengenakan tarif 14% atas obligasi pemerintah dan surat berharga bank sentral.
Kebijakan lain yang dapat digunakan untuk mengelola capital inflow adalah kebijakan pengenaan pajak atas penarikan utang luar negeri yang dilakukan swasta dengan memperhitungkan rasio utang terhadap modal (debt equity ratio).

No comments: