FACTORS AFFECTING INTERNATIONAL CAPITAL
FLOWS TO INDONESIAN GOVERNMENT SECURITIES
Abstract
The international capital flow into Indonesia plays an
important role for development finance instruments, especially Government
Securities (SBN) to finance the fiscal deficit. Based on the model of uncovered
interest parity, this study aimed to analyze factors affecting on international
capital flows to Government Securities (SBN). Methodology of the study is
quantitative approach based on time series model using secondary data. The
study results showed that the uncovered interest parity and financial market
stress have a statistically significant effect international capital flows to
SBN whereas fiscal policy is not statistically significant. The main
recommendation is that the government must maintain macroeconomic stability
through a credible economic policy.
Keywords: capital flow,
government securities, uncovered interest parity, exchange rate, non-deliverable
forward, credit default swap, financial stress, fiscal policy
Abstrak
Aliran
modal internasional yang masuk ke Indonesia berperan penting untuk pembiayaan
pembangunan terutama instrumen Surat Berharga Negara (SBN) untuk membiayai
defisit fiskal. Dengan menggunakan model paritas suku bunga tak terlindungi (uncovered interest parity), kajian ini
bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi aliran modal internasional
ke Surat Berharga Negara (SBN). Metodologi kajian dilakukan dengan pendekatan
analisis kuantitatif yaitu model regresi runtut waktu (time series) dengan menggunakan data sekunder. Hasil kajian
menunjukkan bahwa paritas suku bunga tak terlindungi dan tekanan pasar keuangan
berpengaruh signifikan terhadap aliran modal internasional ke SBN sedangkan
kebijakan fiskal tidak berpengaruh secara signifikan. Rekomendasi utama yang
dapat diberikan adalah pemerintah harus tetap menjaga stabilitas ekonomi makro
melalui kebijakan ekonomi yang kredibel.
Kata kunci: aliran modal, surat berharga negara, paritas suku bunga, nilai tukar, non-deliverable forward, credit default swap, tekanan keuangan,
kebijakan fiskal
JEL Classifications: F31, F32, H63, G01, G15
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia
sebagai negara dengan ekonomi terbuka (small
open economy) dan menganut rezim devisa bebas selalu terbuka terhadap
aliran masuk dan keluar modal internasional. Selain itu, Indonesia sebagai
negara berkembang membutuhkan sumber-sumber
pendanaan baik yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri untuk
membiayai kegiatan-kegiatan pembangunan yang membutuhkan dana besar seperti investasi
di bidang infrastruktur. Celah tabungan investasi (saving investment gap) yang cukup besar yaitu sekitar 3,0% PDB pada
tahun 2014 menunjukkan bahwa Indonesia masih membutuhkan sumber pendanaan dari
luar negeri untuk membiayai kegiatan investasinya (Grafik 1).
Sumber: Asian Development
Bank
Grafik 1 Tabungan dan Investasi
Indonesia (% dari PDB)
Kebutuhan akan sumber-sumber pembiayaan dari luar negeri diperoleh melalui aliran
modal internasional di Indonesia yang terdiri dari investasi langsung,
investasi portofolio dan investasi lainnya (Gambar 2). Aliran modal internasional
di Indonesia masih didominasi oleh investasi portofolio walaupun pasca krisis
keuangan global 2008-2009, proporsi investasi langsung dalam aliran modal internasional
mulai membesar. Sementara itu, investasi lainnya yang sebelum tahun 2008
mengalami defisit berbalik menjadi surplus.
Sumber:
Bank Indonesia
Gambar 2 Aliran Modal Luar Negeri
di Indonesia (US$ miliar)
Komposisi sumber pembiayaan sangat penting dalam menentukan kesinambungan
sumber pembiayaan tersebut. Aliran masuk modal internasional yang bersumber
dari investasi portofolio cenderung lebih tinggi volatilitasnya dibandingkan
dengan investasi langsung yang relatif lebih stabil. Kesinambungan sumber pembiayaan yang berasal dari investasi
portofolio cenderung lebih rentan dibandingkan investasi langsung karena
investasi portofolio yang bisa berbalik arah menjadi aliran keluar modal jika
kondisi pasar keuangan bergejolak atau yang biasa disebut dengan capital revesal. Namun demikian, peranan investasi portofolio semakin
penting dalam pembiayaan defisit transaksi berjalan yang terjadi sejak Q4-2011.
Grafik 3 menunjukkan basic balance
yang merupakan penjumlahan dari transaksi berjalan dan investasi langsung. Pada
Q4-2011 basic balance Indonesia masih
positif sebesar 0,4% PDB yang artinya pembiayaan defisit transaksi berjalan
masih dapat ditutupi oleh sumber pendanaan yang relatif stabil dari investasi
langsung. Setelah Q4-2011 basic balance
berubah menjadi negatif yang menunjukkan tidak cukupnya investasi langsung
untuk membiayai defisit transaksi berjalan sehingga dibutuhkan sumber
pembiayaan yang lain, yaitu investasi portofolio.
Sumber:
Bank Indonesia
Grafik 3 Basic Balance Indonesia (% dari PDB)
Kebutuhan
pembiayaan dalam bentuk investasi portofolio masih didominasi oleh instrumen
investasi berupa Surat Berharga Negara (SBN) (Tabel 1). Investor luar negeri (non-residen)
yang menanamkan uangnya pada instrumen investasi saham pada tahun 2014
meningkat lebih dari dua kali lipat dibandingkan tahun 2010, sedangkan untuk Sertifikat
Bank Indonesia (SBI), investor luar negeri cenderung untuk menjualnya.
Tabel 1 Aliran Modal Luar Negeri Portofolio (Rp triliun)
Saham
|
SBI
|
SBN
|
|
2010
|
22
|
11
|
88
|
2011
|
25
|
-47
|
27
|
2012
|
16
|
-7
|
48
|
2013
|
-21
|
3
|
53
|
2014
|
43
|
-2
|
138
|
Sumber: Bloomberg
Dominasi SBN
pada investasi portofolio juga ditunjukkan oleh persentase kepemilikan asing
atas instrumen SBN cenderung meningkat yaitu dari 19% pada Desember 2009
menjadi 38% pada Desember 2014 (Grafik 4). Aliran modal masuk ke SBN
berperan penting bagi kebijakan fiskal yaitu sebagai sumber pembiayaan APBN dan
dapat menurunkan biaya bunga penerbitan obligasi swasta (Abimanyu, 2011). Sebaliknya kepemilikan asing atas SBI menurun drastis
yaitu dari 17% pada Desember 2009 menjadi hanya 2% pada Desember 2014.
Penurunan kepemilikan asing yang cukup besar pada instrumen SBI disebabkan oleh
penerapan kebijakan minimum holding
period oleh Bank Indonesia yang mulai diterapkan pada Juni 2010.
Sumber: Bank Indonesia
Grafik 4 Persentase Kepemilikan Asing SBI dan SBN
Aliran masuk modal nonresiden bersih yang cukup besar
pada tahun 2014 yang mencapai US$43,6 miliar (lebih dari dua kali lipat tahun
2013) menimbulkan kekhawatiran potensi sudden
reversal terutama yang bersumber dari aliran masuk portofolio yang
cenderung bersifat jangka pendek dan tidak stabil. Selain itu, kekhawatiran
risiko pembalikan modal yang bersumber dari kenaikan suku bunga the Fed BI dapat
mengganggu kestabilan nilai tukar. Mewaspadai besarnya pengaruh
volatilitas aliran modal tersebut terhadap kondisi perekonomian Indonesia, Pemerintah
lebih memfokuskan kepada stabilisasi ekonomi makro yang didukung oleh defisit
fiskal yang tetap terjaga dalam kisaran yang aman.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, penulis ingin meneliti bagaimana dampak imbal hasil, nilai tukar, tekanan
pasar keuangan global dan kebijakan fiskal terhadap aliran modal asing ke Surat Berharga Negara
(SBN) yang kemudian memberikan kesimpulan dan rekomendasi sebagai bahan
masukan bagi perumusan kebijakan terkait aliran modal
luar negeri.
1.2. Permasalahan
Pokok
permasalahan dalam tulisan ini adalah apa
yang mendorong investor asing membeli aset-aset finansial Indonesia? Bagaimana
dampak imbal hasil, nilai tukar, tekanan pasar keuangan global serta kebijakan fiskal terhadap aliran modal ke Surat Berharga Negara (SBN)?
1.3.Tujuan
Tulisan
ini bertujuan untuk memaparkan dan menerangkan bagaimana
dampak imbal hasil, nilai tukar, tekanan pasar keuangan global serta kebijakan fiskal terhadap aliran modal ke Surat Berharga Negara (SBN).
1.4. Metodologi
Tulisan ini menggunakan pendekatan analisis kuantitatif yaitu
model regresi runtut waktu (time series) dengan
sumber datanya adalah data sekunder yang diperoleh melalui berbagai sumber
informasi seperti Bloomberg, CEIC dan melalui dokumentasi berupa laporan yang
diperoleh dari Bank Indonesia, Badan Pusat Statistik, dan Asia Development Bank (ADB).
II. LANDASAN
TEORI
2.1 Aliran Modal Non Residen
Atoyan
et.al. (2012) menyebut tiga faktor yang mempengaruhi aliran modal ke negara
berkembang (emerging countries) yaitu faktor pendorong (push factors), faktor penarik (pull
factors) dan faktor kebijakan makroekonomi (macroeconomic policy factors). Faktor pendorong antara lain suku
bunga yang rendah di negara-negara maju yang mendorong aliran modal ke
negara-negara berkembang. Faktor penarik antara lain imbal hasil yang tinggi di
negara-negara berkembang yang menarik aliran modal ke negara berkembang. Sementara itu, kebijakan makroekonomi dapat
berfungsi sebagai faktor penarik sekaligus faktor pengerem (brake factors) aliran modal ke negara
berkembang, antara lain kebijakan fiskal, moneter, nilai tukar, serta sektor
keuangan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Atoyan et.al. (2012) pada
19 negara Eropa yang sedang berkembang (emerging
Europe) untuk periode 2000-2007 bahwa defisit fiskal yang lebih rendah
berhubungan dengan aliran modal non residen yang lebih tinggi.
Penelitian yang dilakukan oleh Cerutti et. al. (2015) terhadap34 negara
berkembang di Amerika Latin, Asia, dan Eropa untuk periode 2001Q2-2013Q4
menunjukkan bawah faktor yang mendorong peningkatan aliran modal masuk ke
negara berkembang adalah perlambatan pertumbuhan ekonomi di negara maju,
berkurangnya ketidakpastian di pasar keuangan global, penurunan nilai tukar
efektif riil dolar AS, rendahnya imbal hasil di negara maju, dan rendahnya
ekspektasi suku bunga kebijakan di negara maju. Kemudian faktor yang menarik
aliran modal masuk ke negara berkembang adalah kenaikan harga komoditas,
pertumbuhan ekonomi di negara berkembang, dan tingginya imbal hasil di negara
berkembang.
Kim et. al. (2013) melakukan penelitian di Korea selama 1980-2010 tentang
aliran modal internasional ke Korea dimana faktor penarik aliran modal yang
secara signifikan dan positif mempengaruhi aliran modal portofolio adalah suku
bunga riil, indeks harga saham dan volatilitas nilai tukar. Dampak positif
volatilitas nilai tukar ini dikaitkan dengan potensi untuk memperoleh
keuntungan di pasar modal melalui pergerakan nilai tukar. Sementara itu, faktor
pendorongnya adalah tingkat pertumbuhan riil PDB dunia yang berdampak positif
dan signifikan sedangkan suku bunga riil dunia (degan proksi suku bunga Amerika
Serikat) berdampak negatif dan signifikan.
Menurut
Hendar (2012) investor asing masuk ke Indonesia karena investasi di pasar modal
Indonesia memberikan imbal hasil (yield)
yang menarik dan mereka pada umumnya menanamkannya pada instrumen saham dan
obligasi pemerintah. Hal ini tidak mengherankan karena obligasi pemerintah
Indonesia menawarkan imbal hasil tertinggi di antara negara-negara emerging market Asia (ADB, 2014). Selain
itu, menurut Gadanecz at al. (2014) apresiasi nilai tukar negara-negara emerging market terhadap dolar AS telah
menarik investor dunia untuk berinvestasi di obligasi berdenominasi mata uang
lokal negara-negara tersebut seperti yang terjadi antara tahun 2010 dan awal
tahun 2013. Kemudian, karena sifat aliran modal portofolio yang bergejolak (volatile) dan sangat dipengaruhi oleh
kondisi pasar keuangan global, tekanan keuangan (financial stress) yang terjadi di pasar keuangan global dapat
mendorong terjadinya aliran modal keluar dari negara-negara emerging market (Balakrishnan at al.
2009).
2.2 Uncovered Interest Parity
Menurut
Frankel (1988 & 1992) ada empat definisi mobilitas modal sempurna yaitu (i)
Kondisi Feldstein-Horioka: perubahan eksogen pada tingkat tabungan nasional dapat
dengan mudah didanai dari pinjaman luar negeri sehingga tidak berpengaruh pada
tingkat investasi, (ii) Paritas suku bunga riil (real interest parity): aliran modal internasional menyamakan suku
bunga riil antar negara, (iii) paritas suku bunga tidak terlindungi (uncovered interest parity): aliran modal
menyamakan ekspektasi tingkat pengembalian pada obligasi negara-negara,
terlepas dari paparan risiko nilai tukar, (iv) paritas suku bunga terlindungi (covered interest parity): aliran modal
menyamakan suku bunga antar negara jika dikontrakkan pada mata uang bersama.
Menurut Carbaugh (2008) investor membuat keputusan keuangannya dengan
membandingkan tingkat pengembalian investasi di dalam negeri dengan tingkat
pengembalian investasi di luar negeri. Jika tingkat pengembalian investasi di
luar negeri lebih besar dibandingkan di dalam negeri, investor akan memindahkan
dananya ke instrumen investasi di luar negeri (interest arbitrage). Yang harus diperhatikan adalah bahwa ketika
hasil investasi yang diperoleh di luar negeri dikonversikan ke mata uang
domestik, nilainya mungkin saja turun karena adanya perubahan pada nilai tukar.
Untuk mengatasi risiko nilai tukar ini, investor dapat menutupinya (cover) di pasar forward. Uncovered interest arbitrage
adalah kondisi dimana investor tidak dapat memperoleh instrumen untuk mengatasi
risiko nilai tukar. Pada kondisi ini, misalnya, imbal hasil ekstra investor
asing Amerika Serikat (AS) yang menginvestasikan dananya di Indonesia adalah
selisih imbal hasil di Indonesia dan AS yang disesuaikan dengan perubahan nilai
tukar rupiah, sebagai berikut:
Imbal Hasil Ekstra = (Imbal Hasil
Indonesia – Imbal Hasil AS) - % Depresiasi rupiah terhadap US$
atau
Imbal Hasil Ekstra = (Imbal Hasil
Indonesia – Imbal Hasil AS) + % Apresiasi rupiah terhadap US$
Menurut
Hadiwibowo (2011) hipotesa uncovered
interest parity (UIP) adalah hubungan antara suku bunga domestik (idt),
suku bunga luar negeri (ift) dan ekpektasi depresiasi nilai tukar (st+1/st):
.........................................................................(1)
Jika
persamaan (1) di-logaritma-kan maka menjadi:
............................................................................(2)
dimana
lrd adalah imbal hasil domestik, lrf adalah imbal hasil luar negeri dan lfx adalah ekspektasi depresiasi nilai
tukar.
Persamaan
(2) disusun ulang menjadi:
..................................................................................(3)
atau
............................................................................(4)
Menurut Leon dan Vega (2013), pada teori UIP, aliran modal (capital flows) akan cenderung sama
dengan ekspektasi tingkat pengembalian dengan mempertimbangkan biaya kesempatan
(opportunity cost) memegang aset yang
sejenis dalam mata uang yang berbeda. Berdasarkan persamaan (3) selisih suku
bunga (interest rate differential)
antara dua aset yang sejenis pada negara yang berbeda harus sama dengan
ekspektasi perubahan nilai tukar. Kemudian, jika kondisi paritas berlaku maka
persamaan (4) akan sama dengan nol. Akan tetapi jika persamaan (4) tidak nol
maka ada peluang untuk memperoleh imbal hasil ekstra (arbitrage). Selanjutnya persamaan (4) disebut persamaan UIP yang
akan digunakan sebagai variabel yang menentukan arah aliran modal internasional
ke/dari Indonesia. Jika UIP Indonesia positif maka modal internasional akan
mengalir masuk ke Indonesia (capital
inflow) dan sebaliknya jika UIP Indonesia sama dengan atau lebih rendah
dari nol maka modal internasional akan mengalir ke luar dari Indonesia (capital outflow).
2.3 Non-Deliverable Forwards (NDF)
Menurut
Ma at. al. (2004), non-deliverable
forwards (NDF) adalah produk derivatif nilai tukar yang diperdagangkan
di luar bursa atau over the counter yang bertujuan untuk alat lindung nilai (hedging) bagi investor asing atas risiko
mata uang lokal. NDF juga merupakan instrumen spekulatif bagi investor asing
untuk mengambil posisi mata uang lokal di luar negeri (offshore). Pada saat penyelesain kontrak, tidak ada penyerahan mata
uang yang mendasari kontrak NDF tersebut melainkan melalui pembayaran neto
dalam bentuk konversi ke dolar AS senilai selisih nilai tukar yang disetujui
beberapa bulan sebelumnya dengan nilai tukar aktual spot pada saat jatuh tempo.
Pasar NDF global cukup besar. Menurut McCauley at. al. (2014), perputaran NDF global per April 2013
mencapai US$127 miliar per hari. Perdagangan NDF mencerminkan 72% perdagangan
berjangka mata uang dunia dan 87% perdagangan mata uang berjangka yang
dilakukan di luar batas jurisdiksi mata uang (offshore). Ada tiga kondisi dimana pasar NDF akan terus tumbuh
lebih cepat dibandingkan pasar valuta asing jika 1) otoritas mencoba mengisolir
sistem finansial domestik dari perkembangan pasar global, 2) pasar valuta asing
berjangka domestik tidak berkembang atau 3) investor asing tidak memiliki akses
penuh ke pasar valuta asing berjangka domestik (McCauley at. al. 2014)
2.4 Credit Default Swap (CDS)
Menurut
IMF (2013) Credit default swap (CDS) adalah
alat untuk mengelola risiko kredit dan premi yang dibayarkan untuk proteksi
yang ditawarkan CDS pada umumnya digunakan sebagai indikator pasar dari risiko
kredit. Longstaff at. al. (2005) juga
menggunakan premi CDS sebagai alat untuk mengukur komponen gagal bayar (default) dari spread korporasi. Menurut Ika (2014) CDS adalah instrumen derivatif
yang mengalihkan risiko kredit atas instrumen utang ke pihak ketiga, dengan
harga tertentu/biaya asuransi (CDS spread).
Ada tiga indikasi yang dapat disimpulkan dari angka CDS yang tinggi yaitu 1)
risiko gagal bayar (default risk)
yang semakin besar dari lembaga keuangan penerbit instrumen utang, 2)
likuiditas perbankan yang semakin langka, dan 3) perbankan yang mengalami
tekanan (under stress) semakin
meningkat (Ika, 2014). Menurut Aizenman at. al. (2014) kenaikan angka CDS
mencerminkan ketidakpastian dan risiko yang lebih tinggi pada pasar obligasi
luar negeri (sovereign bond markets).
Menurut Hart dan Zingales (2011) CDS atas suatu utang adalah klaim asuransi
yang memberikan ganti rugi jika lembaga keuangan yang menerbitkan surat utang
mengalami kegagalan dan kreditur tidak dibayar penuh. Pasar CDS dapat digunakan
sebagai indikator utama (leading
indicator) tekanan keuangan (financial
stress). CDS adalah indikator risiko bahwa lembaga keuangan akan mengalami
kegagalan sehingga CDS dapat digunakan sebagai sistem peringatan dini (early warning system) yaitu jika CDS
melewati batas tertentu (threshold)
maka lembaga keuangan sedang mengalami masalah. Adapun CDS threshold yang digunakan Hart dan Zingales (2011) adalah harga
rata-rata CDS selama bulan sebelumnya yang melebihi 100 basis poin.
III. METODOLOGI
3.1 Alat Analisis
Berdasarkan
teori uncovered interest arbitrage
atau uncovered interest parity (UIP),
model persamaan aliran modal internasional ke SBN dapat disusun dengan menambah
variabel lain yang mempengaruhinya sebagai berikut:
..................(5)
Dimana
UIP103 dibentuk dari persamaan
berikut ini
.......................................................................................................................(6)
dimana
IND10Y adalah yield obligasi pemerintah RI tenor 10 tahun sebagai proksi imbal
hasil domestik, US10Y adalah yield obligasi pemerintah AS tenor 10
tahun sebagai proksi imbal hasil internasional dan NDF adalah non-deliverable
forwards rupiah tiga bulan di pasar keuangan Singapura sebagai proksi ekspektasi
depresiasi rupiah terhadap dolar AS.
DCDS210 adalah
variabel dummy untuk
menangkap dampak tekanan/gejolak pasar keuangan yang bersumber dari pergerakan indeks yang mencerminkan gejolak (volatility) pasar keuangan global dengan proksi yang digunakan adalah variabel
CDS Indonesia 10 tahun. Variabel DFISCAL
ditambahkan untuk melihat dampak kebijakan fiskal terhadap aliran modal internasional.
Sementara itu, variabel kelambanan (lag)
dari aliran modal internasional (lagged
dependent variable) ditambahkan dengan tujuan untuk melihat dampak aliran
modal internasional periode sebelumnya sehingga model menjadi dinamis dengan
syarat parameter/koefisien variabel kelambanan (β4) tersebut harus
lebih kecil dari 1 dan lebih besar dari/sama dengan 0 atau 0 ≤ β4
< 1 (Vogelvang, 2005).
3.2 Penentuan Threshold CDS
Penentuan
threshold CDS yang dapat menangkap
adanya tekanan pada pasar keuangan sehingga dapat mendorong adanya aliran modal
keluar dilakukan sebagai berikut:
1.
Sebagai acuan awal menggunakan CDS threshold
yang digunakan Hart dan Zingales (2011) sebesar 100 basis poin. Jika
menggunakan angka ini maka akan diperoleh episode tekanan keuangan yang relatif
banyak sehingga penulis menilai angka ini terlalu rendah.
2.
Acuan berikutnya adalah Himansyah (2009) yang menggunakan angka threshold sebesar rata-rata ditambah
dengan satu setengah sampai dengan tiga standar deviasi. Berdasarkan data CDS
Februari 2005 s.d. Desember 2014 diperoleh angka rata-rata CDS sebesar 269 dan
standar deviasi CDS sebesar 110. Jika ingin menggunakan angka threshold sebesar rata-rata ditambah
satu setengah standar deviasi maka diperoleh angka threshold sebesar 434. Jika angka threshold ini yang digunakan maka hanya satu kejadian tekanan
keuangan yang tertangkap yaitu krisis keuangan global (September 2008 s.d.
April 2009). Episode penting tekanan keuangan yang lainnya seperti awal krisis
kredit perumahan (subprime mortgage)
di AS yang tanda-tandanya sudah terlihat pada tahun 2007 dan krisis utang Eropa
(September 2011) serta kepanikan investor terhadap rencana the Fed untuk
menarik kebijakan quantative easing
(Fed tapering) pada Juni 2013 dan
Desember 2014 tidak tertangkap oleh angka threshold
ini.
3.
Penentuan threshold dilakukan
berdasarkan observasi terhadap data bulanan CDS dan aliran modal internasional
ke SBN sehingga diperoleh angka threshold
sebesar 210 (Grafik 5). Angka threshold
ini ternyata dapat menangkap semua peristiwa penting yang mempengaruhi
keputusan investor seperti tanda awal krisis kredit perumahan (subprime mortgage) di AS (2007), krisis
keuangan global (2008-2009), krisis utang Eropa (2011-2012) dan Fed tapering (2013 dan 2014).
Sumber:
Bloomberg
Grafik 5 Perkembangan CDS
Indonesia 10 tahun dan Aliran Modal Asing SBN
Threshold CDS yang telah ditentukan
sebesar 210 ini kemudian dikonversi menjadi indikator biner (binary) satu (1) untuk adanya tekanan
keuangan dan nol (0) untuk tidak adanya tekanan keuangan sehingga indikator
tekanan keuangan dinyatakan sebagai variabel dummy berikut ini:
3.3 Data
Data yang digunakan dalam
tulisan ini adalah data sekunder bulanan untuk periode Januari 2003 s.d. Desember 2014 yang meliputi:
1.
GFLOWUSD = Variabel aliran modal masuk internasional (capitalflow) menggunakan data aliran bersih (net flow) Surat Berharga Negara(SBN), bulanan, dalam miliar dolar AS, karena aliran modal internasional ke SBN menempati porsi yang
besar dibandingkan instrumen keuangan yang lain seperti saham atau SBI.
2.
UIP103 = Variabel Uncovered
Interest Parity (UIP) hasil dari persamaan (6) yang merupakan selisih
antara yield SBN tenor 10Y dan yield US T-Bond 10Y, dengan ekspektasi persentase
perubahan (apresiasi/depresiasi) nilai tukar rupiah terhadap dolar AS (dengan
menggunakan kurs referensi non-deliverable
forward/NDF, 3 bulan). Hal ini sebagai konsekuensi digunakannya data obligasi pemerintah maka selisih suku bunga yang digunakan adalah selisih
antara yield obligasi pemerintah
Indonesia dan AS yang bertenor 10 tahun.
3.
DCDS210 = Variabel dummy
untuk
menangkap dampak tekanan/gejolak pasar keuangan yang bersumber dari pergerakan indeks yang mencerminkan gejolak (volatility) pasar keuangan global yaitu CDS Indonesia 10 tahun dengan threshold
210 (di atas 210 menunjukkan adanya tekanan/krisis). Threshold ini juga dapat menangkap tekanan pada saat pengumunan
rencana Fed Tapering. Variabel
DCDS210 bernilai 1 jika CDS di atas 210 dan sebaliknya bernilai 0 jika CDS di
bawah 210.
4.
DFISCAL = Variabel kebijakan fiskal yang merupakan data realisasi
saldo surplus/defisit anggaran bulanan pada APBN (Rp triliun) yang bersumber
dari Buku Merah Kementerian Keuangan tentang Realisasi APBN.
3.4 Uji Akar Unit
Sebagian
besar data ekonomi bersifat tidak stasioner atau mengandung unsur tren sehingga
model ekonometrik yang menggunakan data runtut waktu (time series) berisiko menghasilkan regresi yang bersifat lancung (spurious) atau regresi yang tidak
bermakna ekonomi. Untuk menghindarinya maka perlu dilakukan pengujian akar unit
(unit root test) untuk mengetahui
apakah data runtut waktu tersebut stasioner atau tidak stasioner (mengandung
akar unit). Uji akar unit yang digunakan pada tulisan ini adalah uji Augmented
Dickey-Fuller (ADF) dimana jika nilai statistik ADF lebih kecil (lebih negatif)
dibandingkan dengan nilai kritis maka hipotesis nil (null hypothesis) bahwa variabel tidak stasioner ditolak (Harris dan
Sollis, 2003).
IV. HASIL DAN ANALISIS
4.1 Uji Akar
Unit
Tabel 2 menunjukkan
hasil uji akar unit yang menunjukkan bahwa nilai statistik ADF variabel-variabel
GLOWUSD, UIP103 dan DFISCAL lebih kecil dibandingkan dengan nilai kritisnya
sehingga dapat kita katakan bahwa variabel-variabel dimaksud adalah stasioner
pada tingkat signifikansi sebesar 1% tanpa perlu dilakukan diferensi pertama (first differenced) untuk membuatnya
stasioner sehingga dapat dilakukan regresi pada tingkat level.
Tabel 2 Uji Akar Unit Augmented Dicky Fuller (ADF) dalam
Level
Intercept
|
|||||
Variabel
|
Nilai ADF
|
Nilai Kritis MacKinnon
|
Keterangan
|
||
1%
|
5%
|
10%
|
|||
GFLOWUSD
|
-9.324923
|
-3.476472
|
-2.881685
|
-2.577591
|
Stasioner
di 1%
|
UIP103
|
-4.559194
|
-3.478911
|
-2.882748
|
-2.578158
|
Stasioner
di 1%
|
DFISCAL
|
-5.884039
|
-3.478189
|
-2.882433
|
-2.577990
|
Stasioner
di 1%
|
Trend
& intercept
|
|||||
GFLOWUSD
|
-9.901962
|
-4.023506
|
-3.441552
|
-3.145341
|
Stasioner
di 1%
|
UIP103
|
-5.186449
|
-4.026942
|
-3.443201
|
-3.146309
|
Stasioner
di 1%
|
DFISCAL
|
-5.995642
|
-4.025924
|
-3.442712
|
-3.146022
|
Stasioner
di 1%
|
Tanpa trend & intercept
|
|||||
GFLOWUSD
|
-8.156042
|
-2.581233
|
-1.943074
|
-1.615231
|
Stasioner
di 1%
|
UIP103
|
-1.606160
|
-2.582204
|
-1.943210
|
-1.615145
|
Stasioner
di 1%
|
DFISCAL
|
-5.855531
|
-2.581827
|
-1.943157
|
-1.615178
|
Stasioner di 1%
|
Sumber: Hasil olahan EViews
4.2 Hasil dan Analisis Regresi
Model
Hasil regresi dari persamaan model aliran modal
nonresiden sebagai berikut:
GFLOWUSD = 0.269 +
0.065*UIP103 - 0.504*DCDS210 + 0.215*GFLOWUSD(-1) - 0.002*DFISCAL
(0.097) (0.000) (0.001) (0.014) (0.316)
n =
119, R2 = 0.25, nilai
dalam tanda kurung adalah nilai p-value
Koefisien determinasi (R2)
sebesar 0.25 menunjukkan bawah 25% variasi variabel dependen (GFLOWUSD)
dijelaskan oleh variasi variabel-variabel independen (UIP103, DCDS210,
GFLOWUSD(-1) dan DFISCAL. Hal ini
berarti 75% variasi GFLOWUSD tidak dapat dijelaskan oleh model. Hal ini adalah
wajar mengingat sangat banyak sekali faktor-faktor yang mempengaruhi variasi
aliran modal internasional ke SBN yang merupakan jenis investasi portofolio
yang bersifat jangka pendek (hot money)
dan cenderung bergejolak (volatile).
Faktor-faktor lain yang belum masuk ke dalam model yang dapat mempengaruhi
aliran modal internasional ke SBN antara lain adalah saldo transaksi berjalan,
inflasi, pertumbuhan ekonomi, indeks harga saham, harga komoditas, utang luar
negeri, cadangan devisa, perkembangan pasar keuangan, keterbukaan ekonomi,
kondisi politik. Semua faktor tersebut telah tercakup dalam variabel εt
yang merupakan error term.
4.3 Uji Autokorelasi
Uji
autokorelasi dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat korelasi antara satu
residual dengan residual yang lain pada estimator ordinary least square (OLS). Jika terdapat autokorelasi maka
estimator OLS tidak lagi memiliki varian yang minimum (Widarjono, 2005). Berdasar
uji Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test (lihat Lampiran) nilai Chi
square hitung (Obs*R-squared) adalah sebesar 3.043 dan nilai probabilitas Chi
square adalah sebesar 0.2183. Model tidak terdapat masalah autokorelasi karena
tingkat signifikansi α lebih besar dari 10% yaitu 22% sehingga kita tidak
menolak hipotesis nol tidak adanya serial
correlation (autokorelasi).
4.4 Uji Heteroskedastisitas (Heteroskedasticity)
Uji
heteroskedastisitas dilakukan untuk mengetahui apakah varian residual adalah
konstan atau homokedastisitas (homocedasticity).
Jika varian residual tidak konstan (heteroskedastisitas) maka estimator OLS
tidak lagi memiliki varian yang minimum (Widarjono, 2005). (Berdasar uji White
(lihat Lampiran) nilai Chi square hitung sebesar 9.3379 sedangkan nilai kritis
Chi squares pada α = 5% dengan df = 7 adalah 14.0671 sehingga nilai Chi square
hitung lebih kecil dibandingkan nilai kritis
Chi square maka kita tidak menolak hipotesis nol adanya homokedastisitas atau
dengan kata lain bahwa model tidak menderita masalah heteroskedastisitas.
Kesimpulan ini juga dapat dilihat dari nilai probabilitas 0.2293 atau pada α =
22.93% yang berarti menolak hipotesis nol.
4.5 Analisis
Variabel
UIP103 berpengaruh signifikan terhadap GFLOWUSD dengan tingkat signifikansi α =
1% dan bertanda positif sesuai dengan perkiraan yaitu jika UIP positif maka
modal internasional akan mengalir masuk (capital
inflow) dan sebaliknya jika UIP sama dengan atau lebih rendah dari nol maka
modal internasional akan mengalir ke luar (capital
outflow). Ada dua kemungkinan yang dapat mendorong UIP bernilai negatif
yaitu pertama, jika yield SBN tenor
10Y lebih kecil dibandingkan dengan yield
US T-Bond 10Y (Tabel 4 dan 5 pada t2) dan kedua, jika ekspektasi depresiasi
nilai tukar rupiah terhadap dolar AS lebih besar dibandingkan dengan selisih yield, seperti yang dapat dilihat pada
Tabel 6 pada t5.
Tabel 3 Uncovered
Interest Parity (UIP): Baseline
Waktu
|
IND10Y
|
US10Y
|
NDF
|
% Dep (Apr)
|
UIP
|
t1
|
12443
|
||||
t2
|
6.91
|
2.01
|
13034
|
4.75
|
0.15
|
t3
|
9.87
|
2.21
|
13723
|
5.29
|
2.37
|
t4
|
9.92
|
2.43
|
13986
|
1.92
|
5.57
|
t5
|
7.28
|
2.62
|
14221
|
1.68
|
2.98
|
Tabel 4 Uncovered
Interest Parity (UIP): IND10Y < US10Y
Waktu
|
IND10Y
|
US10Y
|
NDF
|
% Dep (Apr)
|
UIP
|
t1
|
12443
|
||||
t2
|
2.0
|
2.01
|
13034
|
4.75
|
-4.76
|
t3
|
9.87
|
2.21
|
13723
|
5.29
|
2.37
|
t4
|
9.92
|
2.43
|
13986
|
1.92
|
5.57
|
t5
|
7.28
|
2.62
|
14221
|
1.68
|
2.98
|
Tabel 5 Uncovered
Interest Parity (UIP): US10Y > IND10Y
Waktu
|
IND10Y
|
US10Y
|
NDF
|
% Dep (Apr)
|
UIP
|
t1
|
12443
|
||||
t2
|
6.91
|
7.0
|
13034
|
4.75
|
-4.84
|
t3
|
9.87
|
2.21
|
13723
|
5.29
|
2.37
|
t4
|
9.92
|
2.43
|
13986
|
1.92
|
5.57
|
t5
|
7.28
|
2.62
|
14221
|
1.68
|
2.98
|
Tabel 6 Uncovered
Interest Parity (UIP): Depresiasi > Selisih Yield
Waktu
|
IND10Y
|
US10Y
|
NDF
|
% Dep (Apr)
|
UIP
|
t1
|
12443
|
||||
t2
|
6.91
|
2.01
|
13034
|
4.75
|
0.15
|
t3
|
9.87
|
2.21
|
13723
|
5.29
|
2.37
|
t4
|
9.92
|
2.43
|
13986
|
1.92
|
5.57
|
t5
|
7.28
|
2.62
|
14728
|
5.31
|
-0.65
|
Ada beberapa episode di mana UIP bernilai negatif bersamaan dengan adanya
aliran modal keluar yaitu Oktober 2008 (Krisis Keuangan Global), September 2011
dan Mei 2012 (Krisis Utang Eropa) serta Agustus 2013 (Fed Tapering). Pada episode tersebut nilai CDS berada di atas threshold 210 yang menunjukkan adanya tekanan/gejolak
di pasar keuangan.
Variabel DCDS210 berpengaruh signifikan terhadap GFLOWUSD dengan tingkat
signifikansi α = 1% dengan tanda negatif yang bermakna bahwa jika CDS berada di
atas 210 maka akan terjadi aliran modal keluar (capital outflow). Nila koefisien variabel DCDS210 cukup besar
dimana jika CDS melewati threshold
210 maka akan terjadi aliran modal keluar sebesar US$0.5 miliar. Hal ini
dikonfirmasi dengan kejadian selama pengumuman Fed Tapering oleh Gubernur The Fed, Bernanke, yaitu pada Maret 2013
dimana CDS mengalami kenaikan dari 196 (Februari 2013) menjadi 232, pada Mei, Juni
dan Agustus 2013 yang meningkat dari 193 (April 2013) menjadi masing-masing 243,
276 dan 323 serta pada Desember 2014 yang mengalami peningkatan dari 201
(November 2014) menjadi 230. Kenaikan
CDS tersebut juga diikuti perlambatan aliran modal masuk bersih (net inflow) pada Mei 2013 (Rp3,23
triliun) dibandingkan dengan April 2013 (Rp20,04 triliun). Perlambatan ini
kemudian diikuti dengan aliran modal keluar bersih (net outflow) yang cukup besar pada Juni 2013 sebesar Rp40,01
triliun atau setara US$4 miliar dan pada Agustus 2013 senilai Rp7,36 triliun
atau setara US$0.7 miliar akibat dampak
pengumuman rencana Fed Tapering.
Aliran keluar bersih juga terjadi pada Desember 2014 sebesar Rp30,89 triliun
atau setara US$2,5 miliar karena kekhawatiran investor terhadap rencana
pemberlakuan kebijakan ketat The Fed.
Kemudian, variabel kelambanan (lag)
GFLOWUSD, yang mencerminkan unsur dinamis model, berpengaruh signifikan dengan
tingkat signifikansi α = 5% dengan tanda positif sehingga dapat meminimalkan
dampak negatif dari adanya shok (shock).
Parameter/koefisien GLOWUSD(-1) sebesar 0.215 telah memenuhi syarat 0 ≤ β <
1 sehingga pengaruhnya tidak akan meledak. Menurut Vogelvang (2005) kita dapat
menghitung mean lag dengan rumus
sehingga diperoleh
yang berarti rata-rata waktu yang
diperlukan untuk melakukan penyesuaian atas shok yang berasal dari variabel
eksogen terhadap variabel GFLOWUSD adalah 0.3 bulan atau 8 hari.
Sementara itu, pengaruh variabel DFISCAL, yang merupakan proksi kebijakan
fiskal, tidak signifikan namun dengan tanda negatif yang sesuai harapan. Dampak
kebijakan fiskal terhadap aliran modal portofolio non residen yang tidak
signifikan ini dapat disebabkan oleh kedisiplinan Pemerintah yang tetap menjaga
defisit fiskal dalam kisaran yang aman di bawah 3% dari PDB sehingga investor
asing melihat kebijakan fiskal tetap kredibel (sustainable). Namun demikian, tanda negatif pada koefisien DFISCAL menunjukkan
bahwa kebijakan fiskal yang ekspansif (defisit fiskal) dapat mendorong berkurangnya
aliran modal masuk karena kebijakan defisit fiskal dapat memberikan sinyal
kepada investor bahwa kebijakan fiskal tidak kredibel (unsustainable) sehingga dapat mendorong investor asing menarik
investasinya. Sebagai kompensasi agar
investor internasional tertarik untuk menanamkan modalnya pada intrumen SBN
maka imbal hasil (yield) SBN harus
naik. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Baldacci dan Kumar
(2010).
Sebelum penerapan kebijakan penghapusan subsidi BBM Premium dan subsidi
tetap BBM Solar pada Desember 2014, Pemerintah seolah-olah tersandera dengan
beban subsidi BBM yang mencapai ratusan triliun rupiah setiap tahunnya sehingga
setiap ada kenaikan harga minyak dunia dan depresiasi nilai tukar rupiah
terhadap dolar AS timbul kekhawatiran bahwa defisit fiskal akan membengkak
mendekati 3% dari PDB yang dapat menganggu kesinambungan fiskal (fiscal sustainability) dalam
melaksanakan program-program pembangunan. Reformasi kebijakan fiskal yang
dilaksanakan sejak APBN-P 2015 yang meliputi sisi pendapatan, belanja dan
pembiayaan diharapkan mampu mempertahankan kebijakan fiskal yang kredibel untuk
mendukung program-program pembangunan.
IV. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN
Beberapa
hal penting yang dapat disimpulkan dari analisis di atas adalah bahwa paritas
suku bunga tak terlindungi (uncovered
interest rate) atau UIP dan credit
default swap (CDS) berpengaruh sangat signifikan terhadap aliran modal
asing yang masuk ke instrumen surat berharga negara (SBN). Yang perlu mendapat
perhatian adalah unsur-unsur yang membentuk UIP yang terdiri dari selisih suku
bunga domestik dan internasional serta ekspektasi nilai tukar rupiah terhadap
dolar AS yang harus tetap terjaga bernilai positif agar aliran modal asing
tetap masuk baik melalui kebijakan ekonomi yang kredibel maupun penyesuaian
imbal hasil menurut nilai pasar. Kemudian pengaruh negatif dari gejolak pasar
keuangan dengan proksi CDS harus menjadi
perhatian khusus. Kedua hal tersebut semakin menekankan pada pentingnya peran
pemerintah dalam menjaga stabilitas ekonomi makro melalui kebijakan ekonominya
yang kredibel sehingga dapat mempertahankan kepercayaan pasar. Sementara itu,
walaupun pengaruh kebijakan fiskal dengan proksi saldo surplus/defisit APBN
tidak signifikan tetap menjadi catatan penting karena tanda negatif para
parameter/koefisien yang berarti kebijakan fiskal yang tidak kredibel (unsustainable) dapat mempengaruhi
kepercayaan (confidence) investor
untuk berinvestasi di Indonesia.
Rekomendasi
kebijakan yang dapat diberikan adalah menyadari pentingnya aliran masuk modal internasional
ke SBN sebagai sumber pembiayaan APBN dalam rangka mendorong percepatan
pertumbuhan ekonomi, Pemerintah harus dapat mengelolanya sedemikian rupa
sehingga dapat disalurkan ke sektor-sektor yang produktif seperti pembangunan
infrastruktur. Kemudian karena dampak
gejolak pasar keuangan yang cukup besar terhadap aliran modal perlu mendapat
perhatian mengingat porsi kepemilikan asing dipasar SBN saat ini mencapai 37%.
Hal ini mengkhawatirkan karena idealnya kepemilikan asing dalam SBN tidak
melebihi 30% untuk mencegah kerentanan ekonomi apabila terjadi aliran modal
keluar (capital outflow). Pemerintah
harus menyiapkan strategi dan instrumen yang dapat mengelola risiko pembalikan
modal (capital reversal) misalnya
dengan tetap menjaga stabilitas ekonomi makro atau menekan rasio kepemilikan
asing dengan mendorong investor lokal. Indonesia perlu segera memperdalam pasar
keuangan (financial deepening) dengan
melakukan diversifikasi produk-produk keuangan yang akan mendorong investor
domestik untuk berinvestasi ke produk-produk tersebut.
Terkait dengan instrumen fiskal yang dapat digunakan
untuk pengelolaan aliran modal internasional (capital flow management), ada dua instrumen yang dapat digunakan
yaitu pajak atas capital inflow dan
kebijakan debt equity rati (DER). Instrumen
pajak atas capital inflow belum dapat
diterapkan karena belum ada aturannya dalam perundang-undangan perpajakan yang
berlaku. Kebijakan DER sudah ada payung hukumnya dalam perundang-undangan
perpajakan yang berlaku namun demikian perlu dilakukan kajian yang mendalam.
Selain itu, ide penerapan kebijakan minimum holding period pada instrumen SBN perlu dilakukan kajian
yang mendalam karena selain akan mendorong peningkatan imbal hasil (yield) juga dapat mempengaruhi
kepercayaan investor asing terhadap instrumen investasi SBN yang pada akhirnya
dapat mengganggu sumber pembiayaan bagi program pembangunan. Hal ini berbeda
dengan instrumen SBI yang telah digunakan investor asing sebagai alat spekulasi/carry trade sehingga kebijakan minimum holding period dapat sukses
diterapkan pada SBI. Oleh karena itu, instrumen SBN selain sebagi sumber
pembiayaan defisit fiskal juga sebagai instrumen investasi (fundamental bukan
spekulasi) sehingga tidak tepat untuk menerapkan kebijakan minimum holding period.
Yang perlu mendapat perhatian saat
ini adalah antisipasi naiknya suku bunga Amerika Serikat dengan konsekuensi
premium risiko Indonesia akan meningkat dan nilai tukar rupiah akan melemah
sehingga ada risiko menghambat pertumbuhan ekonomi nasional yang bersumber dari
ketidakpastian pasar keuangan dunia. Namun demikian, ketahanan Indonesia
terhadap gejolak pasar keuangan semakin membaik melakui kebijakan ekonomi yang
kredibel dan juga penyesuaian imbal
hasil obligasi menurut nilai pasar,
DAFTAR ACUAN
Abimanyu,
Anggito (2011), Refleksi dan Gagasan
Kebijakan Fiskal, PT Gramedia Pustaka Utama: Jakarta
Aizenman,
Joshua, Mahir Binici, dan Michael M. Hutchison (2015), The Transmission of
Federal Reserve Tapering News to Emerging Financial Markets, NBER Working Paper No. 19980, National
Bureau of Economic Research: Cambridge.
Asian
Development Bank (ADB) (2014), Asia Bond
Monitor – November 2014, Mandaluyong City, Philippines: Asian Development Bank.
Atoyan,
Ruben, Albert Jaeger dan Dustin Smith (2012), The Pre-Crisis Capital Flow Surge
to Emerging Europe: Did Countercyclical Fiscal Policy Make a Difference? IMF Working Waper WP/12/222,
International Monetary Fund: Washington.
Baldacci,
Emanuele dan Monmohan S. Kumar (2010), Fiscal Deficits, Public Debt, and
Sovereign Bond Yields, IMF Working Paper
WP/10/184, International Monetary Fund: Washington.
Balakrishnan,
Ravi, Stephan Danninger, Selim Elekdag, dan Irina Tytell (2009), The
Transmission of Financial Stress from Advanced to Emerging Economies, IMF Working Paper WP/09/133,
International Monetary Fund: Washington.
Carbaugh,
Robert J. (2008), International Economics,
11th Edition, Thomson South-Western: Ohio.
Cerutti,
Eugenio, Stijn Claessaens dan Damien Puy (2015), Push Factors and Capital Flows
to Emerging Markets: Why Knowing Your Lender Matters More Than Fundamentals, IMF Working Paper WP/15/127,
International Monetary Fund: Washington.
Frankel,
Jeffrey (1988), International Capital Mobility and Exchange Rate Volatility,
dalam International Payments Imbalances
in the 1980’s, Editor N. Fielele, Federal Reserve Bank of Boston, 163-188.
Frankel,
Jeffrey (1992), Measuring International Capital Mobility: A Review, The American Economic Review, Vol. 82,
No. 2, 197-202.
Gadanecz,
Blaise, Ken Miyajima dan Chang Shu (2014), Exchange Rate Risk and Local
Currency Sovereign Bond Yields in Emerging Markets, BIS Working Papers No. 474, Bank for International Settlements:
Basel.
Hadiwibowo,
Yuniarto (2011), Uncovered Interest Parity and Monetary Policy Freedom in
Countries with the Highest Degree of Financial Openness, International Journal of Economics and Finance, Vol. 3, No. 1,
77-83
Harris,
Richard dan Robert Sollis (2003), Applied
Time Series Modelling and Forecasting, John Wiley & Sons: England.
Hart,
Oliver dan Luigi Zingales (2011), A New Capital Regulation for Large Financial
Institutions, American Law and Economics
Review, Vol. 13, No. 2, 453–490.
Hendar
(2012), Fiscal Policy, Public Debt Management and Government Bond Markets in
Indonesia, BIS Papers No. 67,
199-203.
Ika,
Syahrir (2014), Subprime Mortgage Crisis,
Mengguncang Ekonomi Dunia Cara Indonesia untuk Bertahan, Nagamedia:
Jakarta.
Imansyah, Muhammad Handry (2009), Krisis
Keuangan di Indonesia: Dapatkah Diramalkan? PT Elex Media Komputindo:
Jakarta.
International
Monetary Fund (IMF) (2013) Chapter 2: A New Look at the Role of Sovereign
Credit Default Swap, dalam Global
Financial Stability Report April 2013, 57-92
Kim,
Soyoung, Sunghyun Kim dan Yoonseok Choi (2013), Determinants of Internasional
Capital Flows in Korea: Push vs. Pull Factors, Korean and the World Economy, Vol. 14, No. 3, 447-474.
Leon,
Jorge dan Melissa Vega (2013), What is Driving the Capital Inflows to Costa
Rica? Risk Premium and Interest Rate Differentials, Munich Personal RePEc Archive (MPRA) Paper No. 592515.
Longstaff,
Francis A., Sanjay Mithal dan Eric Neis
(2005), Source Corporate Yield Spreads: Default Risk or Liquidity? New Evidence
from the Credit Default Swap Market, The
Journal of Finance,Vol. 60, No. 5, 2213-2253.
Ma,
Guonan, Corrinne Ho dan Robert McCauley (2004), The Markets for Non-Deliverable
Forwards in Asian Currencies, BIS
Quarterly Review, Juni, 81-94.
McCauley,
Robert, Chang Shu dan Guonan Ma (2014), Non-Deliverable Forwards: 2013 and
Beyond, BIS Quarterly Review, Maret,
75-88.
Vogelvang,
Ben (2005), Econometrics: Theory and
Applications with EViews, Pearson Education Limited: Harlow, England.
Widarjono,
Agus (2005), Ekonometrika: Teori dan
Aplikasi untuk Ekonomi dan Bisnis, Ekonisia: Yogyakarta.
LAMPIRAN
Hasil Regresi:
Dependent Variable:
GFLOWUSD
|
||||
Method: Least Squares
|
||||
Sample (adjusted):
2005M02 2014M12
|
||||
Included
observations: 119 after adjustments
|
||||
Variable
|
Coefficient
|
Std. Error
|
t-Statistic
|
Prob.
|
C
|
0.269078
|
0.160825
|
1.673106
|
0.0970
|
UIP103
|
0.065119
|
0.015221
|
4.278159
|
0.0000
|
DCDS210
|
-0.504148
|
0.143841
|
-3.504897
|
0.0007
|
GFLOWUSD(-1)
|
0.214947
|
0.086499
|
2.484969
|
0.0144
|
DFISCAL
|
-0.001965
|
0.001952
|
-1.006478
|
0.3163
|
R-squared
|
0.245300
|
Mean
dependent var
|
0.374706
|
|
Adjusted R-squared
|
0.218819
|
S.D.
dependent var
|
0.797498
|
|
S.E. of regression
|
0.704864
|
Akaike
info criterion
|
2.179485
|
|
Sum squared resid
|
56.63899
|
Schwarz
criterion
|
2.296255
|
|
Log likelihood
|
-124.6794
|
F-statistic
|
9.263354
|
|
Durbin-Watson stat
|
1.858404
|
Prob(F-statistic)
|
0.000002
|
|
Sumber: Hasil olahan EViews
Hasil uji Autokorelasi (Serial Correlation):
Breusch-Godfrey
Serial Correlation LM Test:
|
||||
F-statistic
|
1.469586
|
Probability
|
0.234422
|
|
Obs*R-squared
|
3.043014
|
Probability
|
0.218383
|
|
Test Equation:
|
||||
Dependent Variable:
RESID
|
||||
Method: Least Squares
|
||||
Presample missing
value lagged residuals set to zero.
|
||||
Variable
|
Coefficient
|
Std. Error
|
t-Statistic
|
Prob.
|
C
|
0.101238
|
0.181880
|
0.556619
|
0.5789
|
UIP103
|
0.002601
|
0.015249
|
0.170564
|
0.8649
|
DCDS210
|
-0.059253
|
0.149796
|
-0.395560
|
0.6932
|
GFLOWUSD(-1)
|
-0.199454
|
0.180070
|
-1.107645
|
0.2704
|
DFISCAL
|
0.000562
|
0.001973
|
0.284705
|
0.7764
|
RESID(-1)
|
0.228956
|
0.201819
|
1.134463
|
0.2590
|
RESID(-2)
|
0.154554
|
0.103364
|
1.495242
|
0.1377
|
R-squared
|
0.025572
|
Mean
dependent var
|
-5.22E-17
|
|
Adjusted R-squared
|
-0.026630
|
S.D.
dependent var
|
0.692814
|
|
S.E. of regression
|
0.701978
|
Akaike
info criterion
|
2.187194
|
|
Sum squared resid
|
55.19065
|
Schwarz
criterion
|
2.350672
|
|
Log likelihood
|
-123.1381
|
F-statistic
|
0.489862
|
|
Durbin-Watson stat
|
1.999130
|
Prob(F-statistic)
|
0.814764
|
|
Sumber: Hasil olahan EViews
Hasil Uji Heteroskedastisitas (Heteroskedasticity):
White
Heteroskedasticity Test:
|
||||
F-statistic
|
1.350266
|
Probability
|
0.233681
|
|
Obs*R-squared
|
9.337935
|
Probability
|
0.229296
|
|
Test Equation:
|
||||
Dependent Variable:
RESID^2
|
||||
Method: Least Squares
|
||||
Sample: 2005M02
2014M12
|
||||
Included
observations: 119
|
||||
Variable
|
Coefficient
|
Std. Error
|
t-Statistic
|
Prob.
|
C
|
0.614028
|
0.232004
|
2.646628
|
0.0093
|
UIP103
|
-0.085561
|
0.032046
|
-2.669898
|
0.0087
|
UIP103^2
|
0.004218
|
0.001900
|
2.219675
|
0.0285
|
DCDS210
|
0.122742
|
0.193179
|
0.635379
|
0.5265
|
GFLOWUSD(-1)
|
0.072204
|
0.117081
|
0.616706
|
0.5387
|
GFLOWUSD(-1)^2
|
0.008650
|
0.064239
|
0.134646
|
0.8931
|
DFISCAL
|
-0.001955
|
0.003306
|
-0.591514
|
0.5554
|
DFISCAL^2
|
9.19E-06
|
2.69E-05
|
0.341708
|
0.7332
|
R-squared
|
0.078470
|
Mean
dependent var
|
0.475958
|
|
Adjusted R-squared
|
0.020356
|
S.D.
dependent var
|
0.942161
|
|
S.E. of regression
|
0.932522
|
Akaike
info criterion
|
2.763013
|
|
Sum squared resid
|
96.52538
|
Schwarz
criterion
|
2.949845
|
|
Log likelihood
|
-156.3993
|
F-statistic
|
1.350266
|
|
Durbin-Watson stat
|
1.981782
|
Prob(F-statistic)
|
0.233681
|
|
Sumber: Hasil olahan EViews
No comments:
Post a Comment